"Sepak bola adalah sebuah permainan yang Anda mainkan dengan menggunakan kepala." - Johan Cruyff
14 November lalu, Tim Nasional Inggris menjalani laga lanjutan kualifikasi Piala Eropa 2020 menghadapi Montenegro dengan berkesudahan 7-0 untuk kemenangan Harry Kane dkk., di Wembley Stadium, Inggris. Yang menarik, laga itu bertepatan pertandingan ke-1.000 Timnas Inggris dari berbagai ajang dan kompetisi.
Tapi dari seluruh pertandingan yang ada, justru pertandingan melawan Jerman pada 1938, mungkin, menjadi momen paling ogah untuk dikenang.
14 Mei 1938. Lebih dari seratus ribu penggemar sepak bola berkumpul di Stadion Olympic, Berlin, Jerman.
Mereka menanti pertandingan antara Jerman vs Inggris dalam laga persahabatan akhir musim. Tetapi, laga ini berbeda dengan pertandingan-pertandingan lainnya.
Laga ini agak tak lazim. Di sudut stadion dan tribun penonton, bendera berlambang swastika berkibar-kibar oleh angin sore waktu itu. Atau mungkin justru mungkin sengaja dikibar-kibarkan oleh penonton.
Agak berbeda lainnya adalah, sesaat pluit pertandingan berbunyi, para penggawa Timnas Inggris melakukan hormat a la Nazi. Kita tahu, waktu itu Adolf Hitler dan Partai Nazi begitu teramat berkuasa.
Namun yang membuat para pemain Inggris melakukan hormat a la Nazi tersebut bukan karena instruksi atau intimidasi para pemimpin Nazi. Melainkan, para pemain dengan polosnya mengikuti gerakan para penonton dan skuat Jerman dalam melakukan penghormatan ketika lagu kebangsaan Jerman dinyanyikan. Atas peristiwa itu skuat Inggris dan federasi dikritik habis-habisan.
Sebagai federasi, FA tak bergeming. Melalui sekretarisnya, Stanley Rous, menyampaikan, "Para pemain tidak keberatan untuk melakukan penghormatan Nazi."
Kendati begitu, salah seorang pemain Timnas Inggris yang kedapatan melakukan hormat a la Nazi, membantahnya. Ialah Stanley Matthews.
Matthews mengungkapkan kalau dirinya begitu marah bila melihat foto/video itu terpampang. Dan mengingat begitu malu mengingat peristiwa tersebut.
Laga ke-1.000 bukanlah perjalanan sebentar. Memainkan seribu pertandingan dari berbagai ajang dan kompetisi internasional tentu adalah sejarah yang amat panjang untuk ditulis. Selain memang karena tim tersebut sudah melewati berbagai generasi.
Tetapi, pertanyaannya adalah inginkah Timnas Inggris dituliskan sejarahnya dalam momentum seribu laga itu?
Musabab pertanyaan itu muncul lantaran Inggris tak punya sejarah oke dalam urusan merebut trofi. Berbeda, misalnya, dengan liga domestiknya.
Sudah jaminan kalau Liga Inggris adalah liga paling mentereng di dunia. Para pemain terbaik dan termahal ada di sana. Taipan-taipan dunia pun sibuk mengguyur klub-klub di sana dengan uang hingga kuyup. Tetapi ceritanya berbeda bila berbicara Tim Nasional Inggris di kancah internasional, yang prestasinya tak kunjung berkilau.
Timnas Inggris terakhir kali menjuarai Piala Dunia adalah pada 1966. Ketika itu mereka berhasil keluar sebagai juara setelah mengalahkan Jerman Barat di final.
Pada momen itu, The Three Lions, julukan Timnas Inggris, harus berterima kasih kepada Geoff Hurst lantaran catatan trigolnya dalam laga yang digelar di Wembley Stadium, 30 Juli, 1966, silam.
Terima kasih kepada Hurst, adalah terima kasih terakhir kalinya. Sebab, sejak itu Timnas Inggris tak pernah lagi mencicipi manisnya juara kompetisi sepak bola antarnegara paling bergengsi sejagad. Jangankan juara, final pun tak kunjung dirasakannya kembali. Paling bagus prestasi Timnas Inggris adalah semifinal.
Para penggemar hingga pundit mulai mencari dalih atas prestasi Timnas Inggris. Padatnya kompetisi Liga Inggris adalah yang paling sering dijadikan 'kambing hitam' -atau paling bisa diterima dengan akal sehat-- sehingga para pemain kelelahan saat menjalani kompetisi internasional.
Pendapat seperti itu sah-sah saja disuarakan. Namun, Simon Kuper dan Stefan Szymanski, dalam bukunya berjudul Soccernomics, memiliki pendapat berbeda.
Simon dan Stegan menilai permasalahan dalam persepakbolaan Inggris lebih karena para pemain Timnas Inggris didominasi oleh kelompok sosial tertentu, dan semakin mengerucut kepada kelas pekerja atau buruh -bahkan hampir menutup kesempatan bagi masyarakat kelas menengah di Inggris.
Dalam buku itu, keduanya melakukan penelitian -dibantu oleh John Boyle bersama Dan Kuper-- yang kemudian mengategorikan kelas buruh melalui pencarian informasi tentang pekerjaan ayah dari para pemain Timnas Inggris di Piala Dunia 1998, 2002, dan 2006 berdasarkan otobiografi dan profil para pemain.
Hasilnya 34 pemain Timnas Inggris di Piala Dunia 1998, 2002, dan 2006 ditemukan. 18 di antara mereka (Darius Vassel, John Terry, Alan Shearer, David Seaman, Paul Scholes, Wayne Rooney, Merson, Steve McManaman, Paul Ince, Emile Heskey, Steven Gerrard, Robbie Fowler, Tony Adams, David Batty, David Beckham, Campbell, Ferdinand, Stewart Downing, dan Ashley Cole) adalah anak dari buruh manual, baik terdidik maupun tak terdidik.
Dua pemain (Graeme Le Saux, dan Joe Cole) anak dari pengusaha buah dan sayur, satu pemain (Darren Anderton) anak dari pengusaha jasa pindah rumah--belakangan gagal dan beralih jadi sopir taksi.
Kemudian hanya ada empat pemain (Jermaine Jenas, Frank Lampard, David Mills, dan Michael Owen) yang ayahnya berkecimpung di dunia sepakbola, serta lima pemain (Petr Crouch, David James, Rob Lee, Gareth Southgate, dan The Walcott) yang ayahnya bekerja dalam sebuah profesi dengan menuntut tingkat pendidikan, setidaknya di atas usia 16.
Paling mengejutkan, dalam penelitan itu, ditemukan bahwa sebagian dari para ayah mereka tidak hadir dalam keluarga ketika si anak (pemain Inggris) dibesarkan.
Ketergantungan persepakbolaan Inggris pada kelas buruh sebenarnya tidak berpengaruh di masa lampau. Pasalnya, sebagian orang Inggris pada akhir era 1980-an 70 persennya adalah kelas buruh; berhenti mengenyam pendidikan sebelum usia 16 dan beralih ke lapangan pekerjaan menjadi pekerja kasar.
Meski perlahan, dunia kerja dan industri di Inggris terus mengalami perubahan. Saat ini 70 persen orang Inggris masih bersekolah hingga lewat usia 16, dan 40 persen di antaranya memasuki jenjang pendidikan tinggi.
Akan tetapi, disayangkan, perubahan itu tak kunjung diikuti oleh persepakbolaan Inggris yang masih mengandalkan kelas buruh sebagai talentanya.
Kebiasaan ini justru semakin menghambat perkembangan tim nasional Inggris. Setidaknya, hingga akhir 1990-an sepak bola Inggris masih diwarnai oleh kelas buruh, yang tanpa disadari, menurut Simon dan Stefan dalam bukunya itu, cukup merusak akibat sebagian kultur mereka.
Misalnya, kentang dan sosis adalah menu utama dalam pola makan keseharian mereka dan memandang minum minuman keras adalah hobi.
"Mungkin saja pada generas-generasi terdahulu kebiasaan minum-minum memang merasuk dari budaya kelas pekerja tradisional, asal dari banyak pemain Inggris," ungkap Sir Alex Ferguson dalam otobiografinya.
"Kebanyakan dari mereka memegang pandangan bahwa jika mereka diwajibkan membanting tulang seharian penuh di pabrik atau tambang batu bara, maka mereka berhak istirahat sambil meneguk beberapa gelas minuman keras," katanya.
"Hal lain yang juga mendarah daging pada diri mereka adalah pandangan bahwa Sabtu malam adalah akhir dari hari-hari, dan karenanya adalah saat yang baik untuk 'gila-gilaan'," imbuh Ferguson.
Permasalahan lainnya, para kaum buruh memandang bahwa sepakbola adalah sesuatu kegiatan yang bisa dipelajari sembari melakukannya, ketimbang dipelajari dengan bimbingan para pendidik yang menyandang ijazah, dalam hal ini adalah pelatih sepak bola. Dengan kata lain, mereka antipendidikan.
Kebanyakan pemain Inggris saat ini masih tidak melanjutkan sekolah setelah berumur 16. Karena mereka yakin, dengan cara itu mereka dapat berkonsentrasi penuh pada profesi yang akan atau sedang digelutinya. Parahnya, cara pikir demikian begitu mengakar dengan sangat kuat.
Seorang pengurus badan sepakbola nasional Inggris, yang mencoba mempopulerkan berbagai kursus pelatihan kepada klub-klub Inggris mengatakan upaya itu sebagai, "Sebuah omong kosong baru karangan anak-anak sekolah: mereka mendapat aib bila mengikuti pendidikan," katanya seperti mengutip tulisan Simon Kuper dan Stefan Szymanski dalam bukunya berjudul Soccernomics.
Ia juga mengungkapan, bahwa "pelatihan" dan "taktik dianggap sebagai kata-kata memalukan. "Dan orang-orang itu akan berkata, 'Permasalahan sepakbola dewasa ini adalah terlalu banyak pelatihan'," ungkpanya.
Fakta di atas benar adanya. Stuart Ford, yang pada usia 17 pernah bermain mewakili Inggris di kejuaraan internasional tingkat SMA, akhirnya meninggalkan impiannya menjadi pemain sepakbola profesional tingkat sekolah menenagah atas lantaran tak tahan mendapat ejekan dan dikucilkan oleh rekan dan pelatihnya yang tidak terdidik karena Stuart berasal dari keluarga menengah.
"Saya sering sekali diejek sebagai anak sekolahan priyayi atau karena pemahaman saya yang buruk tentang gaya jalanan. Itu baru dari kalangan manajemen tim saya," ujarnya.
Melihat fakta tersebut, menurut Simon dan Stefan, sebenarnya para pemain sepakbola tidaklah sedemikian sibuk sehingga mereka tidak punya waktu untuk pendidikan. Marcus Rashford contohnya.
Rashford masih bisa bersekolah sambil menekuni profesinya sebagai pemain Manchester United.
Sebagai mana kita pernah tahu bahwa Rashford masih tetap menjalani ujian pelajaran sekolah seusai dirinya melakoni laga bersama Setan Merah kala menghadapi Manchester City atau Arsenal, misalnya.
Bahkan, dilansir The Sun, menurut sumbernya, pemain 19 tahun ini masih bisa mendapatkan nilai 9 di kelasnya.
"Marcus pemain berkepala dingin. Baginya, pendidikan amatlah penting," kata sumber itu.
Harus disadari bahwa sepakbola dan pendidikan adalah suatu hal yang masih berkesinambungan. Dan, mungkin, itu yang belum dijalankan oleh persepakbolaan Inggris.
Rasanya para rata-rata pemain Timnas Inggris perlu memegang kata-kata Johan Cruyff dengan matang dan masak, yakni:
"Sepakbola adalah sebuah permainan yang Anda mainkan dengan menggunakan kepala."
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H