Hasilnya 34 pemain Timnas Inggris di Piala Dunia 1998, 2002, dan 2006 ditemukan. 18 di antara mereka (Darius Vassel, John Terry, Alan Shearer, David Seaman, Paul Scholes, Wayne Rooney, Merson, Steve McManaman, Paul Ince, Emile Heskey, Steven Gerrard, Robbie Fowler, Tony Adams, David Batty, David Beckham, Campbell, Ferdinand, Stewart Downing, dan Ashley Cole) adalah anak dari buruh manual, baik terdidik maupun tak terdidik.
Dua pemain (Graeme Le Saux, dan Joe Cole) anak dari pengusaha buah dan sayur, satu pemain (Darren Anderton) anak dari pengusaha jasa pindah rumah--belakangan gagal dan beralih jadi sopir taksi.
Kemudian hanya ada empat pemain (Jermaine Jenas, Frank Lampard, David Mills, dan Michael Owen) yang ayahnya berkecimpung di dunia sepakbola, serta lima pemain (Petr Crouch, David James, Rob Lee, Gareth Southgate, dan The Walcott) yang ayahnya bekerja dalam sebuah profesi dengan menuntut tingkat pendidikan, setidaknya di atas usia 16.
Paling mengejutkan, dalam penelitan itu, ditemukan bahwa sebagian dari para ayah mereka tidak hadir dalam keluarga ketika si anak (pemain Inggris) dibesarkan.
Ketergantungan persepakbolaan Inggris pada kelas buruh sebenarnya tidak berpengaruh di masa lampau. Pasalnya, sebagian orang Inggris pada akhir era 1980-an 70 persennya adalah kelas buruh; berhenti mengenyam pendidikan sebelum usia 16 dan beralih ke lapangan pekerjaan menjadi pekerja kasar.
Meski perlahan, dunia kerja dan industri di Inggris terus mengalami perubahan. Saat ini 70 persen orang Inggris masih bersekolah hingga lewat usia 16, dan 40 persen di antaranya memasuki jenjang pendidikan tinggi.
Akan tetapi, disayangkan, perubahan itu tak kunjung diikuti oleh persepakbolaan Inggris yang masih mengandalkan kelas buruh sebagai talentanya.
Kebiasaan ini justru semakin menghambat perkembangan tim nasional Inggris. Setidaknya, hingga akhir 1990-an sepak bola Inggris masih diwarnai oleh kelas buruh, yang tanpa disadari, menurut Simon dan Stefan dalam bukunya itu, cukup merusak akibat sebagian kultur mereka.
Misalnya, kentang dan sosis adalah menu utama dalam pola makan keseharian mereka dan memandang minum minuman keras adalah hobi.
"Mungkin saja pada generas-generasi terdahulu kebiasaan minum-minum memang merasuk dari budaya kelas pekerja tradisional, asal dari banyak pemain Inggris," ungkap Sir Alex Ferguson dalam otobiografinya.
"Kebanyakan dari mereka memegang pandangan bahwa jika mereka diwajibkan membanting tulang seharian penuh di pabrik atau tambang batu bara, maka mereka berhak istirahat sambil meneguk beberapa gelas minuman keras," katanya.