Lanang (bukan nama sebenarnya) melipat kedua tangannya di depan dada. Kepalanya tertunduk. Di sebelahnya, Wadon (juga bukan nama sebenarnya) memberondong pertanyaan kepada Lanang. Telunjuk jari kanannya tegas mengarah ke arah wajah Lanang. Malam itu, Lanang diduga 'main serong' dengan perempuan lain.
Lanang jelas membantah. Ia sudah tak bisa berkata-kata. Sekalipun menjawab iya hanya bisa menyebut "enggak". Segala argumen bantahannya sudah ia keluarkan.
Dan Wadon jelas tak percaya. Ia merasa masih ada yang disembunyikan dari laki-laki yang sudah menemaninya selama delapan tahun itu.
Malam itu saya berada di antara keduanya. 'Status' saya sebagai saksi. Jelas tak itu bukan kondisi menyenangkan. Keduanya adalah teman saya. Sedari mahasiswa ingusan di bangku kuliah.
Menjadi saksi bak buah simalakama. Andai saya menceritakan semuanya, saya akan dituduh menjadi pembela Lanang. Bila itu terjadi, jelas posisi Wadon tertekan dan merasa kalah. Pada ujungnya, saya takut, Wadon meminta cerai.
Sebab, Lanang memang tidak melakukan perselingkuhan. Tapi, ia tak berbohong kalau ada niatan. Merasa tak dihargai, begitu dalih Lanang kepada saya dua minggu sebelum malam itu.
Bila saya menitikberatkan pembelaan untuk Wadon, maka Lanang tak akan segan-segan 'menendang' saya jauh-jauh. Dan mungkin tak ada lagi pertemenan.
Kalau saya bela keduanya, sudah pasti disebut tak punya pendirian dan tak akan menyelesaikan permasalahan. Ah, sial sekali saya ini.
Padahal, persoalannya memang ada di kedua manusia ini.
Sejak dulu, hubungan keduanya jarang berjalan baik-baik saja. Penilaian saya tak lebih karena persoalan komunikasi. Lanang lebih suka menyembunyikan perasaan, permasalahan, atau keadaannya.
Lanang merasa tak perlu menceritakan semuanya kepada Wadon. Karena memang Lanang merasa bisa menyelesaikannya sendiri.