Para konglomerat dunia tak pernah segan untuk menggelontorkan uang mereka demi membeli dan membangun sebuah klub. Nilainya sangatlah fantastis. Tetapi faktanya sepakbola bukanlah industri tepat-tepat amat untuk berbisnis.
Sepakbola bukanlah bisnis yang menguntungkan, tetapi juga buruk. Siapa saja yang pernah menghabiskan waktu di dalam sepakbola pasti segera mengetahui bahwa, sebagaimana halnya minyak adalah bagian inti dari bisnis migas, maka ketololan adalah bagian dari bisnis sepakbola. Hal itu tampak jelas ketika sepakbola berhadapan dengan berbagai industri lain. Biasanya orang-orang di sepakbola selalu dikelabui karena orang-orang dari industri lain jauh lebih mengerti cara berbisnis.
Mengutip Soccernomics, pada tahun 1997, Peter Kenyon, ketika itu direktur utama perusahaan Umbro, mengundang beberapa tamu untuk menonton sebuah pertandingan Piala Eropa yang dimainkan Chelsea --klub yang akhirnya ia nahkodai beberapa tahun kemudian. Setelah pertandingan usai, Kenyon membawa para tamunya bersantap malam. Sambil menikmati santapannya ia bercerita tentang bagaimana industri busana olahraga dulu memperlakukan klub-klub sepakbola.
Dikisahkannya, klub-klub besar Liga Inggris biasanya rela merogoh kocek untuk membayar perusahaan-perusahaan seperti tempat Kenyon bekerja, Umbro, Â untuk memasok seragam dan berbagai pernak-pernik lainnya bagi tim. "Jelas itu sebuah keuntungan besar bagi perusahaan: dibayar dan promosi gratis; logo mereka terpampang di sana-sini, ke sana-ke mari, di tubuh pemain," kata Kenyon. Jadi, perusahaan-perusahaan dibayar untuk mengiklankan diri mereka sendiri.
Baru pada 1980-an klub-klub sepakbola Inggris mengetahui bahwa segala macam pernak-pernik atau merchandise sebenarnya memiliki nilai jual. Para tim akhirnya berhenti membayar, dan berbuat sebaliknya.
Selain merchandise, urusan stadion juga tak pernah digarap secara serius oleh para klub. Baru pada awal 1990-an banyak tim yang sadar apabila stadion diurus dengan baik, seperti renovasi, peremajaan, dan penambahan kapasitas bangku penonton ternyata dapat menghasilkan pendapatan lebih.
Tak sampai di situ, era jahiliyah dalam bisnis sepakbola masih berlanjut, kali ini dari sisi hak siar. Masih di periode yang sama, pengusaha media ternama, Rupert Murdoch mendatangi klub-klub Liga Inggris menawarkan untuk menyiarkan pertandingan di televisi. Alih-alih menerima guna menambah pundi-pundi uang, para klub justru menolak keras usul dan tawaran tersebut. Alasannya, takut tiket pertandingan mereka tak lagi laku terjual.
Barulah pada 1992 Murdoch berhak memiliki lisensi hak siar pertandingan Liga Inggris. Ketika itu Murdoch hanya perlu membayar sekitar 115 juta USD per musim kompetisi. Dan kini, nilai itu sudah bertambah 10 kali lipat lebih.
Bisnis yang kecil
Sepakbola, di belahan manapun dan terutama Liga Inggris, kian kemari terus berbenah. Sehingga, seperti kita tahu, sepakbola menjadi salah satu olahraga paling komersil, dan menempatkan dirinya sebagai olahraga paling populer di dunia. Namun apakah benar sepakbola adalah bisnis yang menguntungkan?
Perusahaan konsultan manajemen Deloitte setiap tahun membuat daftar peringkat klub-klub terkaya di dunia yang diberi judul "Football Money League". Di tahun 2009 Real Madrid menjadi klub terkaya seantero bumi dengan pendapatan kotor mencapai 475 juta USD, disusul Manchester United dengan nilai 422 juta USD.
Tiga tahun berselang Real Madrid masih menjadi klub terkaya dengan 540,7 juta USD, dan Manchester United dengan nilai 440,3 juta USD.
Namun di tahun lalu Manchester United sukses menggeser singgasana Madrid sebagai pemuncak daftar tim dengan pendapatan terbesar di dunia. Kekayaan Setan Merah mencapai 826,6 juta USD. Tim terkaya selanjutnya ditempati Barcelona diurutan kedua dengan kekayaan 744 juta USD dan Real Madrid 743,9 juta Euro. Ketiga klub punya persamaan, yakni sisi komersial menjadi penyumbang pendapatan terbesar, sisanya dari hak siar dan tiket pertandingan.
Berbagai gemerlapnya bisnis sepakbola dan besarnya pendapatan dari tim-tim itu tadi rupanya masih tak seberapa dengan perusahaan-perusahaan yang nyaris tak terdengar. Titanium Metals atau TIMET, misalnya. Mungkin hanya segelintir orang pernah mendengar nama perusahaan yang didirikan 1950 ini. Wajar, TIMET merupakan perushahaan kecil di antara perusahaan-perusahaan publik di Amerika yang terdafar dalam indeks S&P 500 --indeks pasar saham Amerika.
Di tahun 2008 TIMET berhasil menghasilkan laba kotor mencapai 1,5 miliar USD. Sekali lagi, TIMET bukan perusahaan besar. Bandingkan dengan pendapatan kotor raksasa minyak Exxon, dalam S&P 500, pendapatan kotornya 400 kali lebih banyak ketimbang TIMET.
Perbandingan lainnya, masih di tahun sama, rata-rata klub di Liga Inggris --sebagai liga paling populer di dunia-- menghasilkan pendapatan rata-rata 150 juta USD, sedangkan toko outlet di Inggris, Teco, punya pendapatan mencapai 100 juta USD. Tetapi total itu baru dihitung dari 20 cabang besar dan kecil Teco --yang notabene punya 600 cabang outlet.
nb: Tulisan ini diambil dari blog pribadi dan sudah banyak penggubahan.
sumber: Soccernomics, Deloitte
sumber gambar: independent.co.uk.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H