Mohon tunggu...
Ibnu Rustamadji
Ibnu Rustamadji Mohon Tunggu... Freelance -

Seorang anak desa yang senang mencoba hal-hal baru, meskipun harus mengalami apapun yang harus dialami.

Selanjutnya

Tutup

Trip

Mekti Desa, Sarana Interospeksi Diri dan Silaturahmi

9 April 2018   21:28 Diperbarui: 9 April 2018   22:08 420
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pendahuluan

Bulan suci Ramadhan akan segera datang, dan momentum yang selalu ditunggu oleh warga kota besar pun ikut datang. Momen ini tidak dapat dilepaskan dari tradisi Jawa yang masih mengakar dalam masyarakat Jawa, terutama Jawa Tengah yang berada di bawah kaki gunung. Ada yang menganggap sebagai "Bakdhan e deso"atau "Lebarannya desa",karena berkaitan dengan silaturahminya antar warga desa. Bahkan berbeda desa dan jarak yang jauhpun akan ditempuh, demi silaturahmi yang harus dipertahankan. 

Tradisi lebaran desa ini lantas tidak menyuarakan takbir layaknya hari raya Idul Fitri, tetapi cukup hanya doa bersama di makam sesepuh desa dan melakukan bersih desa sebelumnya. Jangan kaget meskipun berada di desa, seperti itulah tradisi yang disebut lebaran desa. Desa-desa yang mengadakan lebaran biasanya berada di kaki gunung.

Sadranan dan Sarana Silaturahmi Manusia-Manusia dan dengan Yang Maha Kuasa.

Salah satu desa di kaki gunung Merapi di Boyolali yang merayakan lebaran desa, contohnya adalah Desa Clolo Cepogo Boyolali. Kenapa penulis mengambil lokasi tersebut? Keramahan warga dan pemilik rumah yang sering Penulis singgahi menjadi salah satu alasannya. Penulis sempat diijinkan untuk menginap semalam, sepulang mengantar teman ke Gunung Merapi. Saran saya, jangan pernah sungkan untuk menjalin komunikasi meskipun kita tidak fasih berbahasa Jawa halus.

Sadranan atau dalam bahasa Sansekerta"Sraddha" yang berarti keyakinan dan dalam bahasa Jawa berarti "Ruwah Syakban", dalam masyarakat Jawa lebih dikenal sebagai bersih desa dan bersih makam leluhur desa, tujuannya adalah untuk memperingati bulan suci Ramadhan dan kenduri di makam leluhur. Dalam rangkaian acara adat yang dilaksanakan, semalam sebelum bersih desa dan bersih makam, bekal yang akan dibawa menuju makam dipersiapkan oleh setiap kepala keluarga. Bekal ini berupa jajanan tradisional.

                                                                 Antusiasme warga untuk menghadiri lebaran desa, terlihat anak-anak pun turut ikut serta.

dokpri
dokpri
                                              Dapat dikatakan apabila berada di sekitaran makam sesepuh desa ketika sadranan, kulinernyalah yang diburu.

Bekal tersebut kemudian dibawa oleh warga menuju makam, ada yang berjalan kaki dengan membawa 3 nampan, ada juga yang menggunakan mobil. Setelah sampai di makam, jajanan tersebut tidak langsung dibuka, warga melakukan bersih makam dan doa bersama lebih dulu. Doa bersama biasanya dipimpin yang dituakan di desa, tidak perlu mubalig dengan segala persyaratannya cukup dari masyarakat.

Setelah dilakukan doa bersama barulah jajanan tersebut dibagikan ke seluruh warga, karena dari warga, oleh warga kembali ke warga. Mungkin slogan itu yang cocok untuk menggambarkan apa yang terjadi di sana, makanan ini kemudian dimakan bersama-sama di lokasi acara. Menurut penulis apa yang terjadi disana adalah gambaran alami mengenai adat dan istiadat yang masih dipertahankan di jaman "now". Bagaimana tidak, kondisi geografis desa yang cukup jauh dari kota juga memberikan dampak langsung terhadap masyarakatnya.

dokpri
dokpri
                                                                                       Jajanan tradisional, siap untuk disantap bersama seluruh warga desa.

Kota sudah banya berubah seiring dengan berubahnya pola masyarakat, yang awalnya masyarakat sederhana kemudian berubah menjadi masyarakat milenium tanpa berfikir terhadap masyarakat lainnya. Desa juga mengalami perubahan tetapi dengan waktu yang cukup lama, karena kesederhanaan dan rasa gotong royong masih sangat kuat ditambah dengan adat yang masih mengikat semakin memberikan pengaruh yang cukup kuat. Realitas ini cukup penulis rasakan ketika bermain ke desa dengan di kota sangat kontras.

Kembali lagi ke lebaran desa. Setelah selesai bersih makam, doa bersama dan makan bersama selesai, kembalilah seluruh warga ke rumah masing-masing untuk "open house". Diwaktu inilah apa yang diharapkan setiap tahun terwujud, bagaimana tidak? Open house ini memberikan akses untuk masyarakat antar tetangga dan desa untuk saling mengunjungi. Karena meskipun di rumah hanya ada 3 orang, ketika lebaran desa ini bisa 10 orang anggota keluarga lain desa dan yang dari kota berkumpul. Mereka berkumpul layaknya hari raya Idul Fitri tanpa ada rasa marah, karena lokasi yang berjauhan dan komunikasi yang jarang.

Uniknya disini adalah penulis mendapatkan kesempatan yang cukup luar biasa disini, karena bisa merasakan langsung bercengkerama dengan keluarga pemilik rumah. Padahal biasanya warga yang datang akan ditemui pemilik lantas menikmati hidangan yag sudah ada di meja. Hidangan yang disediakan disetiap rumah hampir mirip, jadi jangan heran dengan hidanganya. Tapi kalau dirasakan lebih jauh memiliki perbedaan yang cukup dibidang rasa masakan.

dokpri
dokpri
                                                                  Hidangan berupa jajanan tradisional, sekalgus makanan ringan seperti halnya lebaran Idul Fitri.

Jangan kaget apabila sehari penuh kalian diminta untuk bercengkerama, karena ya seperti itulah kehangatan dari warga desa. Dan apabila kalian berpapasan dengan warga desa dijalan kampung jangan sungkan untuk megatakan "monggo pak/buk/mas"atau "mari bakak/ibuk/mas" pasti mereka menjawab dan senyum. Ketika dipersilahkan untuk makan atau ambil apapun jangan sungkan untuk mengambil.

Lebaran desa ini setiap desa di satu kecamatan di Cepogo memiliki waktu yang berbeda disesuaikan dengan kesepakatan warga, tetapi tetap saja semua desa merayakanya menjelang puasa ramadhan. Di tahun 2018 ini dilaksanakan sekitar tangga 1 Mei 2018 dalam tanggal nasional, akan tetapi dalam kalender Jawa terhitung tanggal 15 bulan Ruwah. Setiap desa memiliki aturan yang berbeda yang harus dihormati warga dan warga pendatang, jadi bijaklah untuk bercengkerama dengan warga desa. Masyarakat desa sangat terbuka bahkan menerima masuka, menariknya lagi adalah mereka menganggap warga pendatang meskipun sudah lama kenal layaknya tamu.

Penutup

Sebagai penutup tulisan diatas seputar Sadranan ini, penulis berharap "Tolong terima apapun yang ada"silahkan untuk direnungkan, maksud penulis adalah apapun yang kalian saksikan ataupun terima "Trimo wae, wis".You can see and find the answer by yourself.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun