Kota sudah banya berubah seiring dengan berubahnya pola masyarakat, yang awalnya masyarakat sederhana kemudian berubah menjadi masyarakat milenium tanpa berfikir terhadap masyarakat lainnya. Desa juga mengalami perubahan tetapi dengan waktu yang cukup lama, karena kesederhanaan dan rasa gotong royong masih sangat kuat ditambah dengan adat yang masih mengikat semakin memberikan pengaruh yang cukup kuat. Realitas ini cukup penulis rasakan ketika bermain ke desa dengan di kota sangat kontras.
Kembali lagi ke lebaran desa. Setelah selesai bersih makam, doa bersama dan makan bersama selesai, kembalilah seluruh warga ke rumah masing-masing untuk "open house". Diwaktu inilah apa yang diharapkan setiap tahun terwujud, bagaimana tidak? Open house ini memberikan akses untuk masyarakat antar tetangga dan desa untuk saling mengunjungi. Karena meskipun di rumah hanya ada 3 orang, ketika lebaran desa ini bisa 10 orang anggota keluarga lain desa dan yang dari kota berkumpul. Mereka berkumpul layaknya hari raya Idul Fitri tanpa ada rasa marah, karena lokasi yang berjauhan dan komunikasi yang jarang.
Uniknya disini adalah penulis mendapatkan kesempatan yang cukup luar biasa disini, karena bisa merasakan langsung bercengkerama dengan keluarga pemilik rumah. Padahal biasanya warga yang datang akan ditemui pemilik lantas menikmati hidangan yag sudah ada di meja. Hidangan yang disediakan disetiap rumah hampir mirip, jadi jangan heran dengan hidanganya. Tapi kalau dirasakan lebih jauh memiliki perbedaan yang cukup dibidang rasa masakan.
Jangan kaget apabila sehari penuh kalian diminta untuk bercengkerama, karena ya seperti itulah kehangatan dari warga desa. Dan apabila kalian berpapasan dengan warga desa dijalan kampung jangan sungkan untuk megatakan "monggo pak/buk/mas"atau "mari bakak/ibuk/mas" pasti mereka menjawab dan senyum. Ketika dipersilahkan untuk makan atau ambil apapun jangan sungkan untuk mengambil.
Lebaran desa ini setiap desa di satu kecamatan di Cepogo memiliki waktu yang berbeda disesuaikan dengan kesepakatan warga, tetapi tetap saja semua desa merayakanya menjelang puasa ramadhan. Di tahun 2018 ini dilaksanakan sekitar tangga 1 Mei 2018 dalam tanggal nasional, akan tetapi dalam kalender Jawa terhitung tanggal 15 bulan Ruwah. Setiap desa memiliki aturan yang berbeda yang harus dihormati warga dan warga pendatang, jadi bijaklah untuk bercengkerama dengan warga desa. Masyarakat desa sangat terbuka bahkan menerima masuka, menariknya lagi adalah mereka menganggap warga pendatang meskipun sudah lama kenal layaknya tamu.
Penutup
Sebagai penutup tulisan diatas seputar Sadranan ini, penulis berharap "Tolong terima apapun yang ada"silahkan untuk direnungkan, maksud penulis adalah apapun yang kalian saksikan ataupun terima "Trimo wae, wis".You can see and find the answer by yourself.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H