Pendahuluan
Bulan suci Ramadhan akan segera datang, dan momentum yang selalu ditunggu oleh warga kota besar pun ikut datang. Momen ini tidak dapat dilepaskan dari tradisi Jawa yang masih mengakar dalam masyarakat Jawa, terutama Jawa Tengah yang berada di bawah kaki gunung. Ada yang menganggap sebagai "Bakdhan e deso"atau "Lebarannya desa",karena berkaitan dengan silaturahminya antar warga desa. Bahkan berbeda desa dan jarak yang jauhpun akan ditempuh, demi silaturahmi yang harus dipertahankan.Â
Tradisi lebaran desa ini lantas tidak menyuarakan takbir layaknya hari raya Idul Fitri, tetapi cukup hanya doa bersama di makam sesepuh desa dan melakukan bersih desa sebelumnya. Jangan kaget meskipun berada di desa, seperti itulah tradisi yang disebut lebaran desa. Desa-desa yang mengadakan lebaran biasanya berada di kaki gunung.
Sadranan dan Sarana Silaturahmi Manusia-Manusia dan dengan Yang Maha Kuasa.
Salah satu desa di kaki gunung Merapi di Boyolali yang merayakan lebaran desa, contohnya adalah Desa Clolo Cepogo Boyolali. Kenapa penulis mengambil lokasi tersebut? Keramahan warga dan pemilik rumah yang sering Penulis singgahi menjadi salah satu alasannya. Penulis sempat diijinkan untuk menginap semalam, sepulang mengantar teman ke Gunung Merapi. Saran saya, jangan pernah sungkan untuk menjalin komunikasi meskipun kita tidak fasih berbahasa Jawa halus.
Sadranan atau dalam bahasa Sansekerta"Sraddha" yang berarti keyakinan dan dalam bahasa Jawa berarti "Ruwah Syakban", dalam masyarakat Jawa lebih dikenal sebagai bersih desa dan bersih makam leluhur desa, tujuannya adalah untuk memperingati bulan suci Ramadhan dan kenduri di makam leluhur. Dalam rangkaian acara adat yang dilaksanakan, semalam sebelum bersih desa dan bersih makam, bekal yang akan dibawa menuju makam dipersiapkan oleh setiap kepala keluarga. Bekal ini berupa jajanan tradisional.
                                 Antusiasme warga untuk menghadiri lebaran desa, terlihat anak-anak pun turut ikut serta.
Bekal tersebut kemudian dibawa oleh warga menuju makam, ada yang berjalan kaki dengan membawa 3 nampan, ada juga yang menggunakan mobil. Setelah sampai di makam, jajanan tersebut tidak langsung dibuka, warga melakukan bersih makam dan doa bersama lebih dulu. Doa bersama biasanya dipimpin yang dituakan di desa, tidak perlu mubalig dengan segala persyaratannya cukup dari masyarakat.
Setelah dilakukan doa bersama barulah jajanan tersebut dibagikan ke seluruh warga, karena dari warga, oleh warga kembali ke warga. Mungkin slogan itu yang cocok untuk menggambarkan apa yang terjadi di sana, makanan ini kemudian dimakan bersama-sama di lokasi acara. Menurut penulis apa yang terjadi disana adalah gambaran alami mengenai adat dan istiadat yang masih dipertahankan di jaman "now". Bagaimana tidak, kondisi geografis desa yang cukup jauh dari kota juga memberikan dampak langsung terhadap masyarakatnya.