Mohon tunggu...
Ibnu Khafidz Arrozaq
Ibnu Khafidz Arrozaq Mohon Tunggu... Mahasiswa - Saya adalah seorang mahasiswa strata 1 ilmu hukum di Universitas Islam Sultan Agung Semarang. Saat ini saya juga aktif dalam kegiatan pers mahasiswa dengan menulis berbagai artikel dan opini terkait dengan isu yang tengah berkembang di masyarakat.

Hobi saya adalah membaca dan menulis, bagi saya menulis merupakan obat paling mujarab bagi seseorang yang merasa kesepian. Dengan menulis pula wawasan keilmuan kita menjadi bertambah.

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Problematika Hak Pekerja di Indonesia dan Larangan Karyawati Mengenakan Jilbab

26 September 2022   22:46 Diperbarui: 27 September 2022   15:55 1125
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Penulis :

1. Ibnu Khafidz Arrozaq (Mahasiswa S1 Ilmu Hukum Universitas Islam Sultan Agung Semarang)

2. Dr. Ira Alia Maerani, S.H., M. H. (Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Sultan Agung Semarang) 

Opini – Tulisan ini saya awali dengan beberapa fakta mengenai pekerja di Indonesia. Di tahun 2021, Kementerian Ketenagakerjaan Republik Indonesia mencatat 72.983 pekerja dari 4.156 perusahaan di Indonesia diputus hubungan kerjanya. Ratusan ribu pekerja kehilangan pekerjaannya, sedangkan jutaan orang lainnya menunggu kapan mereka akan mendapatkan pekerjaan. Angka-angka di atas belum seberapa, Kemenaker merilis ada 29,4 juta pekerja yang terdampak pandemi, mulai dari mereka yang kehilangan pekerjaan, upahnya dikurangi, jam kerja mereka dibatasi, atau bentuk lainnya yang tentu merugikan banyak pekerja di Indonesia. Hal ini tidak hanya terjadi di Indonesia, sebab hampir semua negara juga mengalaminya. Namun jauh sebelum pandemi terjadi, hak-hak pekerja di Indonesia memang merupakan hal yang sulit untuk dipenuhi. Bisa kita lihat, masih banyak pekerja yang tidak mendapatkan haknya, baik itu karena keengganan perusahaan untuk memenuhi ataupun kelalaian pemerintah dalam mengawasi.

Hak-hak pekerja secara umum terdiri atas : pemenuhan upah, kondisi kerja yang aman dan sehat, penghidupan yang layak, adanya jaminan hak sosial, memperjuangkan hak pekerja melalui serikat pekerja, menuntut haknya jika dilanggar tanpa kekerasan, serta serangkaian hak-hak lainnya yang wajib dipenuhi perusahaan dan pemerintah. Namun, di Indonesia sendiri masih banyak perusahaan yang tidak terlalu memperhatikan hak para pekerjanya, sehingga seringkali hak-hak pekerja di atas tidak dipenuhi secara maksimal.

Salah satu contoh hak pekerja yang kerap kali tidak dipenuhi oleh perusahaan ialah upah kerja. Beberapa perusahaan ataupun jenis badan usaha lainnya seringkali kedapatan tidak membayar upah pekerjanya sesuai aturan. Kebutuhan hidup yang besar di suatu kota tentu juga harus diimbangi dengan pendapatan yang layak guna pemenuhan kebutuhan hidup. Namun yang terjadi ialah pemenuhan hak akan gaji dan upah bagi pekerja masih banyak yang tidak maksimal. Masih berkaitan dengan upah, pesangon bagi karyawan yang diputus hubungan kerjanya oleh perusahaan juga seringkali tidak dibayarkan. Berkaca dari kondisi saat pandemi Covid-19 dimana banyak perusahaan serentak mem-PHK ratusan karyawannya karena kondisi finansial mereka yang tidak stabil, namun perusahaan tersebut cukup lama dalam memproses pencairan pesangon, bahkan banyak diantaranya yang tidak memberikan pesangon. Padahal pesangon merupakan salah satu beban perusahaan yang harus dibayarkan kepada karyawan yang di-PHK oleh mereka. Hal ini diatur dalam Pasal 156 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Dalam pasal ini disebutkan “Dalam hal terjadi pemutusan hubungan kerja, pengusaha diwajibkan membayar uang pesangon dan atau uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak yang seharusnya diterima.”

Tidak hanya berhenti pada permasalahan upah saja, perjanjian kerja juga kerap menjadi permasalahan bagi pekerja dan perusahaan. Perjanjian kerja pada dasarnya dibuat sebagai acuan mengenai setiap hak dan kewajiban dari pekerja dan perusahaan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Namun pada pelaksanaannya, perjanjian kerja ini seringkali menimbulkan masalah. Pekerja merupakan subjek yang rentan dilanggar haknya.

Dalam Perjanjian Kerja misalnya, sering timbul masalah antara pemberi kerja dengan para pekerja terkait dengan isi kontrak yang diperjanjikan. Beberapa masalah tersebut antara lain :

1. Permasalahan Gaji yang Rendah

Beberapa pemberi pekerjaan terkadang memberi upah kepada pekerja dengan jumlah yang tidak wajar yaitu nominal upah yang terlalu kecil. Hal tersebut tentu saja tidak sesuai dengan undang-undang yang berlaku, selain itu juga bertentangan dengan prinsip kemanusiaan. Padahal sudah jelas bahwa dalam Pasal 88 Ayat 1 Undang-Undang Ketenagakerjaan menjelaskan bahwa “Setiap pekerja/buruh berhak memperoleh penghasilan yang memenuhi penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”.

2. Perusahaan Seringkali Tidak Memberikan Jaminan Kesehatan dan Ketenagakerjaan Bagi Pekerja

Perusahaan yang nakal sangat sering mengabaikan jaminan sosial para pekerjanya. Apalagi jika para karyawannya berstatus pegawai kontrak. Belum maksimalnya payung hukum yang mengatur dengan jelas perihal hak-hak pegawai kontrak terkadang menimbulkan masalah yang merugikan para pekerja. Padahal jaminan kesehatan dan jaminan ketenagakerjaan merupakan instrumen yang penting bagi pekerja jika sewaktu-waktu mereka mengalami musibah. Apalagi pada umumnya pekerja kontrak yang tidak mendapatkan jaminan sosial ini umumnya bekerja pada sektor industri yang rentan dan berisiko.

3. Tuntutan dan Aturan yang Diberi Perusahaan Terkadang Memaksa Pekerja Melanggar Norma Agama

Poin ketiga ini memang tidak banyak terjadi. Namun terkadang, perusahaan secara tidak sadar memaksa para pekerjanya untuk melanggar apa yang selama ini menjadi pegangan bagi para karyawannya. Pekerjaan di bidang pemasaran dan entertainment adalah dua bidang pekerjaan yang kerap memerintahkan para karyawatinya untuk mengenakan pakaian terbuka termasuk adanya larangan bagi karyawati memakai hijab. Alasan pemberi kerja melakukan hal ini tentu demi mendongkrak penjualan produk mereka dengan menjadikan para karyawati sebagai sales promotion girls. Perusahaan menilai wanita cantik dengan lekuk badan dan bentuk fisik yang bagus akan menarik perhatian konsumen, namun sebenarnya beberapa karyawati justru merasa risih dengan permintaan perusahaan yang seperti demikian, karena pada dasarnya mereka merasa kurang nyaman dan takut akan risiko yang mereka akan dapatkan. Banyak kasus pelecehan seksual yang menimpa para pekerja wanita di sektor ini, sebab kondisi pekerjaan mereka ditambah lingkungan kerja yang terkadang tidak baik juga dapat mengundang orang lain untuk berbuat kejahatan.

Permasalahan pekerja di Indonesia tidak berhenti di sini, masih banyak permasalahan lain yang hingga saat ini masih dialami jutaan pekerja di Indonesia. Ironi ini jika dijelaskan mungkin akan membutuhkan waktu yang lama untuk menyusunnya. Selain ketiga permasalahan pokok pekerja di Indonesia seperti di atas, masih banyak rentetan masalah-masalah pekerja salah satunya ialah terkait dengan keselamatan kerja.

Jika kita berbicara mengenai keselamatan kerja, beberapa sektor industri seperti pertambangan, industri yang mengandalkan penggunaan mesin, maupun industri dengan skala kecil sering mengabaikan protokol keselamatan kerja bagi pegawainya. Sangat sering sekali kita mendengar berita pekerja yang meninggal akibat tertimpa longsor di pertambangan bawah tanah, atau pekerja yang meninggal dunia akibat tersengat arus listrik. Hal ini terjadi karena beberapa faktor yang tidak diperhatikan oleh pemberi kerja dan pemerintah melalui lembaga pengawas. Faktor tersebut antara lain :

  • Protokol keselamatan kerja yang disediakan oleh pemberi kerja (perusahaan) kurang memadai dalam menjamin keselamatan pekerja
  • Lingkungan kerja yang tidak aman dan kurang sehat
  • Kelaikan mesin produksi yang digunakan tidak lagi sesuai standar yang ditetapkan pemerintah, sehingga terkadang mesin-mesin ini justru membahayakan pekerjanya ketika digunakan
  • Kurangnya pengawasan dari pemerintah terkait dengan keselamatan kerja, sehingga banyak perusahaan abai akan keselamatan dan kesehatan para pekerjanya
  • Kurang tegasnya sanksi yang diberikan oleh pemerintah kepada perusahaan yang membandel, ditambah regulasi mengenai keselamatan kerja juga kurang ditegakkan secara konsisten.

dokumen pribadi
dokumen pribadi

Atas berbagai permasalahan tadi, seharusnya pemerintah sebagai pengawas dan pembuat kebijakan dapat terus bekerja mengawasi setiap perusahaan agar mematuhi semua aturan yang telah dibuat, sehingga setiap hak pekerja dapat mereka penuhi. Selain itu sanksi bagi perusahaan yang membandel dengan tidak memenuhi hak para pekerjanya juga harus dipertegas agar keselamatan dan kesejahteraan setiap pekerja dapat dijamin oleh perusahaan. Bagi perusahaan, mereka harus mematuhi aturan yang berlaku, mulai dari aturan mengenai upah, keselamatan bekerja, perjanjian kerja, dan segala aturan strategis lainnya agar hak para pekerjanya dapat terpenuhi sehingga keuntungan secara kolektif pun dapat dicapai bersama.

Larangan Memakai Hijab Bagi Pekerja di Beberapa Tempat

Isu terkait dengan perusahaan yang melarang karyawatinya memakai hijab beberapa waktu belakangan kembali menyeruak. Pegawai yang diterima bekerja di beberapa perusahaan tersebut diperintahkan untuk mulai melepas atribut keagamaannya itu selama bekerja di kantor. Pegawai yang merasa tidak punya pilihan lagi terpaksa untuk mengikuti kemauan perusahaan tersebut.

Dilansir dari beberapa portal berita, perusahaan sering kedapatan melarang pegawainya untuk memakai hijab dengan alasan gaya berpakaian sudah diatur perusahaan. Namun sebenarnya mengenai hal tersebut, negara sudah mengaturnya secara rinci dalam Pasal 5 Undang-Undang Ketenagakerjaan yang berbunyi “Setiap tenaga kerja memiliki kesempatan yang sama tanpa diskriminasi untuk memperoleh pekerjaan” dan pasal 6 Undang-Undang Ketenagakerjaan yang berbunyi “Setiap pekerja/buruh berhak memperoleh perlakuan yang sama tanpa diskriminasi dari pengusaha.” Kedua pasal ini pada intinya melarang perusahaan untuk melakukan diskriminasi kepada pekerja, pegawai, dan atau buruhnya dengan diskriminasi berdasarkan ras, agama, suku, budaya, dan lain sebagainya. Selain itu, hijab yang dikenakan perempuan merupakan pilihan mereka karena mereka ingin mendekatkan diri kepada Tuhannya sekaligus untuk memenuhi kewajiban mereka sebagai makhluk Allah SWT yang beriman dan bertaqwa. Sehingga perusahaan tidak bisa secara semena-mena melarang pegawai ataupun calon pegawai mereka untuk melepas jilbab dengan alasan apapun.

Selain dengan alasan tadi, larangan penggunaan hijab oleh perusahaan juga bertentangan dengan prinsip hak asasi manusia. Pada dasarnya manusia memiliki serangkaian hak asasi yang wajib dihormati oleh setiap orang, negara, dan juga hukum demi martabat dan kemuliaannya. Sehingga pelarangan pegawai wanita untuk memakai hijab sudah tentu melanggar hak asasi manusia. Seperti dijelaskan dalam Pasal 28E ayat (1) dan (2) serta dalam Pasal 22 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, yang mana pada kedua pasal tersebut maknanya sama, yaitu menjamin kebebasan setiap orang untuk menganut kepercayaan masing-masing, serta memberikan kemerdekaan kepada setiap orang atas ajaran yang dianutnya. Selanjutnya dalam Pasal 4 Undang-Undang Hak Asasi Manusia juga dijelaskan bahwasannya hak asasi manusia merupakan instrumen kemanusiaan yang tidak boleh dikurangi sama sekali apapun bentuk dan takarannya. Hal tersebut juga termasuk hak bagi para pekerja untuk memakai jilbab dan pakaian yang menutup aurat di tempat kerja. Pada prinsipnya, selagi jilbab dan pakaian yang digunakan oleh para pekerja tidak menghalangi mobilitas mereka dalam menjalankan pekerjaan maka seharusnya tidak ada masalah untuk itu.

Bagi seorang muslimah yang taat, memakai jilbab hingga menutup bagian dada merupakan sebuah kewajiban yang harus dijalankan sebagai bakti mereka kepada Allah SWT. Hal ini didasarkan atas firman Allah SWT dalam QS. An-Nur ayat 31 :

"Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau Saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara lelaki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita islam, atau budak- budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, Hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung." (QS An-Nur : 31)

Terkait dengan pelarangan penggunaan jilbab, kasus seperti ini pernah terjadi di Makassar, Sulawesi Selatan, dimana 7 perusahaan dilaporkan melarang pegawainya untuk memakai jilbab. Selain itu, kasus serupa baru-baru ini juga terjadi di Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat, dimana 16 karyawati sebuah perusahaan pembuat polybag memutuskan mogok kerja karena diduga mereka dilarang oleh perusahaan untuk bekerja dengan mengenakan jilbab. Laporan terkait dengan kasus seperti ini jelas berpotensi melanggar pasal 5 dan 6 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Selain itu pelarangan pemakaian hijab seperti ini juga merupakan bentuk lain dari diskriminasi terhadap pekerja yang tentunya sangat bertentangan dengan prinsip-prinsip dalam hukum ketenagakerjaan.

Jika kita menelisik jauh ke depan, sebenarnya hijab dan pakaian muslimah bukanlah penghalang bahu seorang wanita untuk tetap tampil cantik. Di zaman yang semakin maju dengan mode fashion yang semakin beragama, banyak sekali model pakaian muslim yang cantik namun tetap sesuai dengan syariat agama islam. Oleh sebab itu, sudah seharusnya bagi setiap perusahaan untuk membebaskan pegawai ataupun pekerjanya untuk tetap memakai hijab. Selagi apa yang mereka pakai tidak mengganggu kinerja pegawai tentu hal ini bukanlah masalah. Negara sudah mengatur secara jelas bahwa tidak boleh ada diskriminasi dalam bentuk apapun di setiap perusahaan atau lingkungan kerja, oleh sebab itulah akan lebih baik jika setiap perusahaan mulai mengatur ulang regulasi berpakaian bagi karyawan dan karyawatinya agar pekerja juga merasa nyaman dan aman selama melakukan pekerjaan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun