Mohon tunggu...
Anggi Azzuhri
Anggi Azzuhri Mohon Tunggu... Penulis - Islamic Studies Research Fellow and Freelance Writer

Sebagai alumni Qatar Foundation yang punya visi "Innovation, Breakthrough, Discovery", saya berusaha untuk memenuhi visi ini. Langkah yang saya lakukan adalah dengan menjadi seorang penulis lepas dan membangkitkan semangat literasi pada orang Indonesia.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Posibilitas Terjemah Al Quran: Apakah Mungkin Al Quran Diterjemahkan?

4 November 2020   19:56 Diperbarui: 4 November 2020   20:05 311
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Persoalan kebolehan dan posibilitas menterjemahkan Al-Qur'an pada dasarnya bukanlah hal baru. Sejak masa Rasulullah SAW, menyampaikan isi Al-Qur'an dengan bahasa selain bahasa Arab sudah menjadi sebuah pertanyaan besar yang tidak punya jawaban otoratif dari Rasulullah SAW. Satu-satunya Hadits berkaitan dengan terjemah Al-Qur'an bersifat mursal dimana Rasulullah sendiri tidak berucap apapun pada Hadits itu. 

Riwayat tersebut disebutkan oleh Ibn Katsir dalam kitab sejarah Al-bidayah wa an-Nihayah, riwayat ini seputar percakapan antara Ja'far bin Abi thalib dan Malik Najasyi Al Habasyi (radhiyallahu 'anhum) ketika Ja'far membacakan surah Maryam kepada Najasy. Tentunya terjadi proses terjemah dalam percakapan antara mereka. 

Riwayat lainnya dicatat oleh Imam An-Nawawi dalam Majmu' syarah al-Muhadzzab, ketika Salman Al-Farisi diminta oleh sebagian kaum untuk menyampaikan surah Al-Fatihah dalam bahasa Persia, dan Salman Al-Farisi menuliskannya, namun soal lengkap atau tidaknya masih spekulatif. Abul Qasim Az-Zarqani juga menyebutkan hal ini dalam Manahilul 'Irfan begitu pula Al-Alusi dalam Tafsirnya.

Abu Hanifah membolehkan membaca Al-Qur'an dalam shalat dengan selain bahasa Arab sebagai rukhsah. Perlu dicatat disini, ketentuan yang diberikan Imam Hanafi adalah sebuah rukhsah sehingga tidak bisa dijustifikasikan bahwa perbuatan ini legal dilakukan pada kondisi selain shalat.

Diskusi soal kebolehan bahkan kemungkinan untuk menterjemahkan Al-Qur'an tetap berlangsung hingga hari ini. Semuanya bermuara pada posibilitas mengalihkan bahasa suatu ungkapan tanpa mengubah esensi pemahaman yang diinginkan si pembicara/penulis, dan status Bahasa Arab yang digunakan oleh Al-Qur'an. Perlu diingat, bahwa Nash Al-Qur'an punya karakteristik linguistik yang berbeda dari bahasa Arab biasa. Jika bahasa Arab non-Quran terkesan sulit diterjemahkan secara utuh ke bahasa lain, apalagi Al-Qur'an sendiri. 

Abul Qasim Az-Zarqani, Syaikhul Islam Mustafa Sabri, Toshihiko Izutsu dan Fazlur Rahman memandang Al-Qur'an itu tidak bisa diterjemahkan karena hasil terjemahan akan kehilangan beberapa makna yang dikandung oleh teks asli, dan memahami makna itu hanya bisa diperoleh dengan menggunakan bahasa Arab. 

Sebaliknya, Sheikh Mustafa Maraghi, Hussein Abdoul Raof dan Mohammad Abdel Haleem menyatakan Al-Qur'an mungkin diterjemahkan, tetapi secara ma'nawi bukan lafzhi. Selayang pandang mereka semua --bahkan saya meyakini seluruh ulama-- menganggap bahwa Al-Qur'an hanya bisa dipahami secara sempurna dengan bahasa Arab, mengalihkannya ke bahasa lain akan menyebabkan hilangnya makna-makna krusial. Mereka hanya berbeda detail kecil (akan dijelaskan selanjutnya).

Sebelum itu, apa itu terjemah?

Terjemah bisa dipahami sebagai usaha pengalihan bahasa dengan tujuan teks terjemahan punya kualitas yang sama dengan teks asli dari segi semantik, struktur, style, dan makna(Eugene Nida) atau kualitas yang mendekati teks asli (Basil Hatem). Disini terdapat dua perbedaan yang sangat berpengaruh. Kualitas yang sama dengan teks asli, bermakna bahwa teks terjemahan bisa menggeser teks asli dari segi otoritas. Dengan kata lain Al-Qur'an terjemahan bisa menggeser Al-Qur'an asli sebagai sumber utama ajaran Islam, tentu saja hal ini berefek fatal. 

Lagipun, misi memproduksi teks terjemahan yang selevel dengan teks asli itu adalah mission impossible. Sebagai contoh, it's tipping down adalah sebuah ungkapan yang lazim digunakan oleh Londoners ketika hujan yang sangat lebat terjadi secara tiba-tiba. Ketika dialih bahasakan ke bahasa Indonesia, ungkapan ini menjadi "Hari ini sedang tumpah". Tanpa perlu saya jelaskan, pendengar pasti sudah tau kerancuan ungkapan ini, plus lagi orang Indonesia belum pernah mengalami kejadian serupa (atau sangat jarang).

Kondisinya akan lebih terlihat mustahil jika berkaitan dengan perpindahan dari Bahasa Arab ke Bahasa Indonesia. Al-Qur'an menggunakan kata الغيث dan المطر untuk merujuk pada fenomena alam ketika sesuatu turun dari langit. Tetapi, Ghaits selalu digunakan pada kondisi positif sehingga dimaknai hujan yang berisi ni'mah. 

Sementara Matr tidak memiliki arti spesifik, sehingga Al-Qur'an pun menggunakan kata ini ketika menjelaskan Hujan batu dari sijjil kepada pasukan Gajah disurah Al-fiil. Jika kita melihat ke bahasa Indonesia, apakah ada kosakata yang menjelaskan fenomena "turunnya sesuatu dari langit" selain kata hujan? Pada akhirnya terjemahan justru membuat pembaca tidak tahu "apa yang sedang disampaikan Al-Qur'an".

Toshihiko Izutsu memperkuat hal ini dalam pembukaan bukunya God and Man in the Qur'an. Menurut Izutsu, kata الجهل sering dipahami dalam bahasa inggris dengan kata ignorance, hal ini menurutnya aneh karena ignorance adalah sebuah ke-alpaan manusia dari pengetahuan dan rasa ingin tahu, sementara orang-orang jahili punya pengetahuan yang bagus saat itu. Jika diteliti lebih jauh secara semantik, Jahl justru bermakna "tidak punya kebijaksanaan dan kelembutan" sebagai antonim dari kata الحلم Hilm. Bisa disimpulkan disini, permasalahan alih Bahasa Al-Qur'an tidak hanya terjadi pada bahasa Indonesia, tapi juga bahasa-bahasa lainnya bahkan bahasa Ibrani yang notabenenya serumpun dengan bahasa Arab.

Lalu kembali ke pertanyaan besarnya, mungkinkah Al-Qur'an diterjemahkan? lalu bolehkan?

Pertanyaan soal hukum terjemah pada dasarnya terkesan sia-sia lantaran terjemahan Al-Qur'an sudah beredar luas dan punya dampak positif. Sangat tidak relevan untuk menyatakan bahwa ini dilarang dan seluruh terjemahan harus dicabut.

Tapi pertanyaan soal "mungkinkah?" masih menjadi masalah besar. Tetapi Abul Qasim Az-Zarqani dan Husein Abdoul Raof memberikan sebuah jawaban yang memuaskan. 

Pertama, perlu disepakati bahwa terjemahan adalah sebuah tafsir yang menggunakan bahasa selain bahasa Arab. Kenapa bisa demikian? karena Tafsir pada dasarnya adalah usaha memahami Al-Qur'an dari segi dilalah, hukum, dan hikam (persoalan ini sudah saya bahas ditulisan sebelumnya). 

Tidak ada keharusan Tafsir harus berbahasa Arab, walaupun kenyataannya hanya Bahasa Arab yang bisa menjelaskan Al-Qur'an secara komprehensif. Dengan begini, maka proses menterjemahkan akan menggunakan metode-metode tafsir, hanya saja format hasilnya nanti bukanlah berbentuk analisa semantik tetapi komunikatif. Jika pernah membaca Tafsir Jalalayn maka akan mudah diimajinasikan bagaimana formatnya.

Kedua, teks terjemahan tidak akan pernah punya status yang sama dengan teks asli. Karena teks terjemahan punya kekurangan yang banyak dan akan selalu direvisi jika dibutuhkan. Jika saja statusnya dianggap sama, maka terjemahan yang paling awal tidak akan boleh direvisi, dikritik, dimodifikasi sebagaimana Al-Qur'an yang tidak akan mungkin dimodifikasi. 

Hal ini nantinya akan membedakan antara Bible dan Al-Quran, lantaran seluruh Bible yang beredar hari ini adalah terjemahan otoritatif sehingga teks aslinya tidak berfungsi lagi.

Ketiga, terjemahan harus bersifat ma'nawi (contextual) bukan lafzi (textual), selain karena tidak mungkin mengalih bahasakan Al-Qur'an secara tekstual (artinya diterjemahkan sebagaimana tata-letak kosakata dalam sebuah ayat), terjemahan kontekstual akan lebih mudah dipahami.

Keempat, teks terjemahan hanya sebuah teks tamhidi atau introductory, bukan teks final untuk memahami Al-Qur'an. Artinya, saat membaca terjemah, pembaca tidak boleh meyakini bahwa inilah yang dimaksudkan Al-Qur'an, apalagi melahirkan pemahaman baru berdasarkan terjemahan. Hussein Abdoul Raof justru mewajibkan Tafsir Lughawi dipelajari sebelum membaca terjemahan Al-Qur'an.

Az-Zarqani (rahimahullah) menyatakan dalam Manahilul 'Irfan hanya terjemahan ma'nawi saja yang dibolehkan. Jikapun kita melihat ke mayoritas teks terjemahan Al-Qur'an akan ditemukan bahwa mereka adalah terjemah ma'nawi. Terjemah Lafzhi sering terjadi dalam non-text translation seperti saat ceramah dimana beberapa penceramah yang menterjemahkan Al-Qur'an secara Lafzhi. Begitupun mereka yang sangat suka mempolitisasi pemahaman Al-Qur'an.

Tapi permasalahan tentang hukum terjemahan secara Fiqh dan Maqasid akan dibahas pada tulisan lainnya. Jika ada pertanyaan dan komentar silakan cantumkan dibawah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun