Mohon tunggu...
Anggi Azzuhri
Anggi Azzuhri Mohon Tunggu... Penulis - Islamic Studies Research Fellow and Freelance Writer

Sebagai alumni Qatar Foundation yang punya visi "Innovation, Breakthrough, Discovery", saya berusaha untuk memenuhi visi ini. Langkah yang saya lakukan adalah dengan menjadi seorang penulis lepas dan membangkitkan semangat literasi pada orang Indonesia.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Posibilitas Terjemah Al Quran: Apakah Mungkin Al Quran Diterjemahkan?

4 November 2020   19:56 Diperbarui: 4 November 2020   20:05 311
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sementara Matr tidak memiliki arti spesifik, sehingga Al-Qur'an pun menggunakan kata ini ketika menjelaskan Hujan batu dari sijjil kepada pasukan Gajah disurah Al-fiil. Jika kita melihat ke bahasa Indonesia, apakah ada kosakata yang menjelaskan fenomena "turunnya sesuatu dari langit" selain kata hujan? Pada akhirnya terjemahan justru membuat pembaca tidak tahu "apa yang sedang disampaikan Al-Qur'an".

Toshihiko Izutsu memperkuat hal ini dalam pembukaan bukunya God and Man in the Qur'an. Menurut Izutsu, kata الجهل sering dipahami dalam bahasa inggris dengan kata ignorance, hal ini menurutnya aneh karena ignorance adalah sebuah ke-alpaan manusia dari pengetahuan dan rasa ingin tahu, sementara orang-orang jahili punya pengetahuan yang bagus saat itu. Jika diteliti lebih jauh secara semantik, Jahl justru bermakna "tidak punya kebijaksanaan dan kelembutan" sebagai antonim dari kata الحلم Hilm. Bisa disimpulkan disini, permasalahan alih Bahasa Al-Qur'an tidak hanya terjadi pada bahasa Indonesia, tapi juga bahasa-bahasa lainnya bahkan bahasa Ibrani yang notabenenya serumpun dengan bahasa Arab.

Lalu kembali ke pertanyaan besarnya, mungkinkah Al-Qur'an diterjemahkan? lalu bolehkan?

Pertanyaan soal hukum terjemah pada dasarnya terkesan sia-sia lantaran terjemahan Al-Qur'an sudah beredar luas dan punya dampak positif. Sangat tidak relevan untuk menyatakan bahwa ini dilarang dan seluruh terjemahan harus dicabut.

Tapi pertanyaan soal "mungkinkah?" masih menjadi masalah besar. Tetapi Abul Qasim Az-Zarqani dan Husein Abdoul Raof memberikan sebuah jawaban yang memuaskan. 

Pertama, perlu disepakati bahwa terjemahan adalah sebuah tafsir yang menggunakan bahasa selain bahasa Arab. Kenapa bisa demikian? karena Tafsir pada dasarnya adalah usaha memahami Al-Qur'an dari segi dilalah, hukum, dan hikam (persoalan ini sudah saya bahas ditulisan sebelumnya). 

Tidak ada keharusan Tafsir harus berbahasa Arab, walaupun kenyataannya hanya Bahasa Arab yang bisa menjelaskan Al-Qur'an secara komprehensif. Dengan begini, maka proses menterjemahkan akan menggunakan metode-metode tafsir, hanya saja format hasilnya nanti bukanlah berbentuk analisa semantik tetapi komunikatif. Jika pernah membaca Tafsir Jalalayn maka akan mudah diimajinasikan bagaimana formatnya.

Kedua, teks terjemahan tidak akan pernah punya status yang sama dengan teks asli. Karena teks terjemahan punya kekurangan yang banyak dan akan selalu direvisi jika dibutuhkan. Jika saja statusnya dianggap sama, maka terjemahan yang paling awal tidak akan boleh direvisi, dikritik, dimodifikasi sebagaimana Al-Qur'an yang tidak akan mungkin dimodifikasi. 

Hal ini nantinya akan membedakan antara Bible dan Al-Quran, lantaran seluruh Bible yang beredar hari ini adalah terjemahan otoritatif sehingga teks aslinya tidak berfungsi lagi.

Ketiga, terjemahan harus bersifat ma'nawi (contextual) bukan lafzi (textual), selain karena tidak mungkin mengalih bahasakan Al-Qur'an secara tekstual (artinya diterjemahkan sebagaimana tata-letak kosakata dalam sebuah ayat), terjemahan kontekstual akan lebih mudah dipahami.

Keempat, teks terjemahan hanya sebuah teks tamhidi atau introductory, bukan teks final untuk memahami Al-Qur'an. Artinya, saat membaca terjemah, pembaca tidak boleh meyakini bahwa inilah yang dimaksudkan Al-Qur'an, apalagi melahirkan pemahaman baru berdasarkan terjemahan. Hussein Abdoul Raof justru mewajibkan Tafsir Lughawi dipelajari sebelum membaca terjemahan Al-Qur'an.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun