Indonesia sebagai negara yang multikultural  terdiri 275,77 juta jiwa, menurut badan pusat statistika Indonesia memiliki 1.340 suku, dan dari data kemendikbud Indonesia memiliki 718 bahasa daerah. Angka ini menunjukan bahwa penduduk Indonesia sangat beragam berikut budaya dan agama yang di miliki setiap jiwa. Hal ini juga memperjelas bahwa dari jutaan penduduk yang ada menjadi konsekuensi akan berbagai perbedaan.Â
Untuk mengatur jutaan jiwa diperlukan aturan yang mengikat seluruh masyarakat, baik hukum adat maupun hukum agama dan tentunya hukum negara yakni UUD 1945 yang wajib di taati.Â
Dalam mengatur tingkah laku masyarakat Negara merumuskan berbagai aturan yang tertuang dalam kontitusi , misalnya pasal 27 ayat 3 UU ITE yang berbunyi "Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan penghinaan atau pencemaran nama baik".Â
Berbagai regulasi dari kompleksitas sebagai warga negara telah diatur dalam konstitusi , bagi mereka yang melanggar tentu akan mendapatkan konsekuensi baik berupa penjara dan juga denda.
Pada pertengahan abad ke-18, seorang filsuf Inggris Jeremy Bentham, mengunjungi saudaranya, Samuel yang  bekerja di Rusia sebagai seorang pengawas para buruh pabrik.Â
Suatu hari dia duduk di pos yang letaknya berada di tengah-tengah pabrik. Pekerjaan Samuel ini memberikan inspirasi kepada Bentham untuk membuat konsep tentang penjara Panopticon. Panopticon diartikan dapat melihat segalanya, merupakan sebuah konsep tentang penjara yang berbentuk silinder.Â
Di pusat silinder itu ada menara yang punya jendela dengan kaca satu arah yang menghadap ke sisi dalam silinder. Dinding silinder terdiri atas sel-sel yang satu jendelanya menghadap ke dalam dan jendela lainnya menghadap keluar untuk mendapat cahaya matahari.Â
Ada beberapa hal yang perlu diketahui dari adanya konsep penjara panoptikon. Pertama pengawas yang berada di menara bisa melihat para tahanan. Akan tetapi, tidak demikian sebaliknya.Â
Asumsinya, pengawas bisa mengawasi ke berbagai arah tanpa diketahui. Kedua, tahanan bisa terlihat terus dari arah dalam silinder. Ketiga, tahanan bisa berasumsi ia terus diawasi oleh pengawas yang tak bisa ia lihat. Konsekuensinya, para tahanan akan terus mendisiplinkan dirinya sendiri agar tidak dihukum oleh pengawas yang terus memantau.Â
Konsep yang dikemukakan pada pertengahan abad ke-18 ini menjadi dasar filosofis dari pengawasan.Â
Foucault menjelaskan bahwa konsep panoptikon yang sebelumnya dikemukakan oleh Bentham merupakan penginterpretasian dari unsur kekuasaan yang diaplikasikan ke dalam fungsi pengawasan. Para narapidana yang terkurung akan selalu merasa bahwa dirinya sedang diawasi ketika melihat ke arah menara di tengah-tengah kompleks penjara.
Di era ini kita sedang berada dalam genggaman konsep penjara panoptikon, yang sebenarnya segala aktivitas kita sedang di awasi , semua data pencarian, penelusuran dalam cyberspace  memiliki riwayat masing-masing yang tanpa kita sadari telah menjadi jejak digital, artinya segala aktivitas kita sebagai masyarakat sedang dibayang-bayangi oleh negara.Â
Alih-alih mencoba merepresentasikan negara sebagai tangan Tuhan yang siap memberikan konsekuensi dari setiap catatan amal atau kriminal masyarakat baik itu secara realitas sosial maupun dalam virtual.Â
Akhirnya ada semacam ketakutan yang membayang-bayangi masyarakat untuk mengekpresikan diri, tindakan represif tidak hanya di dunia nyata, melainkan sudah bergeser ke dunia maya dengan berbagai dalih hukumnya. Kenyataan ini harus diterimah, karena mengkritik bisa berpotensi dimaknai sebagai pencemaran nama baik atau bahkan penghinaan terhadap pemerintah dan jajarannya yang bisa berakibat bui.Â
Ditambah kasus pemblokiran dari Kominfo untuk setiap aplikasi yang belum terdaftar di PSE ( penyelenggara sistem elektronik ) , diketahui bahwa akhir-akhir ini polemik pemblokiran cukup menjadi perhatian,Â
salah satu hal yang paling menakutkan dan perlu di waspadai bahkan wajib dicurigai adalah data yang kemudian akan dimasukkan dalam setiap aplikasi yang sudah mendaftar ke PSE, ini semakin mempertegas bahwa kita sedang dalam genggaman negara, yang sewaktu-waktu bisa dimanfaatkan bahkan memudahkan untuk mendeteksi siapa saja yang melanggar dan melawan petahana secara terstruktur.
Wajar saja masyarakat perlu curiga terkait berbagai pemblokiran, aktivis kampus misalnya yang selalu menjadi sasaran. Sosial media yang kemudian mereka punya seketika bisa teretas tanpa aba-aba. Media sosial semakin membunuh demokrasi dengan menghadirkan berbagai regulasi dan kepatuhan dalam ruang virtual.Â
Hal ini sejalan dengan anggapan segala aktivitas kita sedang di pantau oleh Tuhan yang mengetahui segala perbuatan manusia, yang berdosa akan mendapat catatan perbutannya, dan yang patuh akan mendapatkan pahala, kira-kira seperti itu.Â
Menguatnya otoritarianisme digital ini semakin kuat dengan adanya cyber police atau polisi virtual. Menurut Damar Juniarto dari Safe.net bahwa kehadiran itu semua  dapat menjadi situasi yang mengkhawatirkan, panopticon digital tidak hanya sebagai pengawas di ruang virtual, melainkan sensor maya bahkan sampai pemutusan jaringan internet.Â
Majunya berbagai teknologi sudah menjadi alat produksi dalam demokrasi dimana data dan prediksinya menjadi komoditas.Â
Noam Chomsky menyebutkan bahwa targetnya sebagai manufacture consent alias menciptakan sistem di mana warganya menjadi patuh, consenting alias permisif tanpa mempertanyakan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H