Di era ini kita sedang berada dalam genggaman konsep penjara panoptikon, yang sebenarnya segala aktivitas kita sedang di awasi , semua data pencarian, penelusuran dalam cyberspace  memiliki riwayat masing-masing yang tanpa kita sadari telah menjadi jejak digital, artinya segala aktivitas kita sebagai masyarakat sedang dibayang-bayangi oleh negara.Â
Alih-alih mencoba merepresentasikan negara sebagai tangan Tuhan yang siap memberikan konsekuensi dari setiap catatan amal atau kriminal masyarakat baik itu secara realitas sosial maupun dalam virtual.Â
Akhirnya ada semacam ketakutan yang membayang-bayangi masyarakat untuk mengekpresikan diri, tindakan represif tidak hanya di dunia nyata, melainkan sudah bergeser ke dunia maya dengan berbagai dalih hukumnya. Kenyataan ini harus diterimah, karena mengkritik bisa berpotensi dimaknai sebagai pencemaran nama baik atau bahkan penghinaan terhadap pemerintah dan jajarannya yang bisa berakibat bui.Â
Ditambah kasus pemblokiran dari Kominfo untuk setiap aplikasi yang belum terdaftar di PSE ( penyelenggara sistem elektronik ) , diketahui bahwa akhir-akhir ini polemik pemblokiran cukup menjadi perhatian,Â
salah satu hal yang paling menakutkan dan perlu di waspadai bahkan wajib dicurigai adalah data yang kemudian akan dimasukkan dalam setiap aplikasi yang sudah mendaftar ke PSE, ini semakin mempertegas bahwa kita sedang dalam genggaman negara, yang sewaktu-waktu bisa dimanfaatkan bahkan memudahkan untuk mendeteksi siapa saja yang melanggar dan melawan petahana secara terstruktur.
Wajar saja masyarakat perlu curiga terkait berbagai pemblokiran, aktivis kampus misalnya yang selalu menjadi sasaran. Sosial media yang kemudian mereka punya seketika bisa teretas tanpa aba-aba. Media sosial semakin membunuh demokrasi dengan menghadirkan berbagai regulasi dan kepatuhan dalam ruang virtual.Â
Hal ini sejalan dengan anggapan segala aktivitas kita sedang di pantau oleh Tuhan yang mengetahui segala perbuatan manusia, yang berdosa akan mendapat catatan perbutannya, dan yang patuh akan mendapatkan pahala, kira-kira seperti itu.Â
Menguatnya otoritarianisme digital ini semakin kuat dengan adanya cyber police atau polisi virtual. Menurut Damar Juniarto dari Safe.net bahwa kehadiran itu semua  dapat menjadi situasi yang mengkhawatirkan, panopticon digital tidak hanya sebagai pengawas di ruang virtual, melainkan sensor maya bahkan sampai pemutusan jaringan internet.Â
Majunya berbagai teknologi sudah menjadi alat produksi dalam demokrasi dimana data dan prediksinya menjadi komoditas.Â
Noam Chomsky menyebutkan bahwa targetnya sebagai manufacture consent alias menciptakan sistem di mana warganya menjadi patuh, consenting alias permisif tanpa mempertanyakan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H