rakyat) banggakan dari Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) saat ini? Catatan buruk, sumpah serapah, kritik yang membangun, makian yang terpendam dan keputusasaan yang mulai klimaks bertubi diposkan ke lembaga legislatif itu, tapi toh telinga mereka yang mengisi lembaga DPR masih tersumbat dari aspirasi rakyat banyak.Â
Hal apa lagi yang kita (Adakah yang salah dengan lembaganya? Adakah yang salah dengan sistem pemerintahan yang memungkin DPR tidak perlu ada jika memang tidak selayaknya menjadi DPR? Dan atau kah oknum-oknumnya yang bermasalah? Atau sudahkah selayaknya mencari dan mengganti sistem pemerintahan baru? Konklusi sikap rakyat pun akhirnya mulai mengarah pada krisis kepercayaan pada anggota DPR, hingga puncak klimaksnya (mungkin suatu saat) akan diam mengunci pemberian mandatnya.
Sering kita sebutkan bahwa, anggota DPR adalah wakil dan pembantu rakyat, itu sebabnya jabatan tersebut diperoleh dari rakyat. Untuk apa? Tentu tidak lain dan tidak bukan untuk menjaga hak-hak kedaulatan rakyat. Dalam konstitusi disebutkan bahwa kedaulatan berada ditangan rakyat dan dijalankan berdasarkan UUD. Hal itu masih dalam konsep abstrak, tentu konkritisasinya adalah adanya dewan perwakilan rakyat. Perlu ditegaskan bahwa pengisian kekuasaan di legislatif adalah bentuk perwakilan, pemegang kekuasaan sebenarnya adalah rakyat itu sendiri.
Kita tidak memungkiri bahwa secara konstitusi bahwa tugas dan fungsi DPR adalah untuk legislasi (legislation), mengawasi (controling) dan penganggaran (budgeting), hal ini memang sangat penting dalam kestabilan dan keseimbangan (chek and balance) jalannya roda pemerintahan yang menganut sistem trias politica (non pemisahan murni seperti yang disebutkan teori Montesquieu).Â
Akan tetapi pelu disadari bahwa sejatinya DPR adalah pelaksana tugas menjalankan kedaulatan rakyat salah satunya lewat proses legislasi yang pro rakyat, bukan pro pada pihak eksekutif yang seharusnya melayani rakyat. Agak aneh memang bahwasanya pihak eksekutif (Presiden hingga jajarannya) di Indonesia ini diistimewakan seperti dalam negara monarki.
Legislasi yang Buruk
Ada satu hal yang paling diamati dan dikritik oleh publik saat ini, yaitu terkait proses legislasi skala nasional di dalam lembaga DPR. Publik memberi catatan buruk pada mereka. Di berbagai media dan pengamat pemerintahan, hukum dan politik meragukan kemampuan dan kualitas anggota-anggota DPR saat ini. Saya menilai bahwa DPR saat ini seperti pepatah mengatakan: kacang lupa akan kulitnya. Mereka lupa pada rakyat yang memberi mandat padanya.
Sebagaimana yang dilansir dalam akun resmi instagram hukum online (22/6/2022), yang mengutip dari penilaian Titi Anggraini (anggota Perludem) menyebutkan bahwa, kinerja DPR periode saat ini dalam legislasi justru makin buruk, padahal lima belas persen dari seluruh anggota DPR RI berpendidikan ilmu hukum. Pihak Hukumonline sendiri mencatat bahwa setidaknya ada 89 lulusan hukum dari 575 anggota DPR RI.
Secara penilaian berdasarkan faktanya, menurut Anggraini, saat ini makin banyak undang-undang yang disahkan oleh anggota DPR RI tapi ditolak oleh publik. Proses legislasinya buruk karana semakin jauh dari keterbukaan, partisipasi masyarakat, dan asas akuntabilitas. Salain apa yang disampaikannya tersebut, sudah menjadi rahasia umum beberapa tahun ini pengesahan sebuah Undang-undang disahkan secara kilat (seperti UU IKN), bahkan disahkan padahal menyalahi UU PPP (sebelum perubahan) seperti UU Ciptaker yang pada akhirnya digugat (judicial review) kemudian MK membatalkan UU tersebut dengan bersyarat (inkonstitusional bersyarat) selama dua tahun untuk memperbaiki. Ini fenomena yang cukup aneh. MK sendiri tampaknya tidak konsisten untuk menegakkan konstitusi yang katanya lembaga itu (MK) sebagai the guardian of constitution (benteng konstitusi).
Senada dengan anggota Perludem tersebut, sangat menarik dan jelas apa yang ditulis Bivitri Susanti selaku pakar Hukum Tata Negara dari STHI Jentera, (Kompas, 7/7/2022). Dalam proses legislasi yang dilaksanakan DPR masih jauh dari proses legislasi yang partisipatif, hal ini buktikan oleh Bivitri dengan masalah terbaru mengenai pembahasan RKUHP yang rencananya akan disahkan. Selain mengutip pengistilahan proses legislasi kilat, istilah yang lain juga adalah DPR memberlakukan praktik ugal-ugalan dalam legislasi. Jika proses legislasi kilat itu diukur dari waktu pembahasan dan pengesahannya, proses legislasi ugal-ugalan diukur dengan sejauh mana partisipasi publik dilibatkan oleh DPR. Saya mengistilahkan bahwa nampaknya DPR saat ini memakai jurus mabuk sambil menyumbat kedua telinganya.
Hal yang paling aneh lagi adalah rencana pembahasan RKUHP di DPR dan pihak pemerintah eksekutif akan membahas hanya 14 pasal yang dianggap oleh mereka pasal krusial dari enam ratus lebih pasal dalam RUU tersebut. Jadi bagiamana dengan pasal-pasal yang lain yang ternyata memiliki dampak buruk ke depannya? Selain kejanggalan dan keanehan itu, pembahasan pun akan dilaksanakan secara tertutup, padahal ke depan dampak dari UU (jika disahkan) adalah pada masyarakat.
Kemudian ada lagi logika dan argumentasi dari pihak penyusun RKUHP yang kacau, tak menutup juga dari pernyataan legislator, yaitu mengatakan jika tidak terima nanti dan terjadi kecacatan konstitusi dan demokrasi dalam RUU tersebut (jika telah disahkan) maka dipersilahkan dilakukan judicial riview di MK. Hal ini adalah corak berpikir legislasi yang dangkal dan kacau. Di sini MK (meminjam penyebutan Zainal Arifin Mochtar) dijadikan "tong sampah" dari produk legislasi buruk dan busuk.
Penutup
Proses legislasi yang buruk dan busuk, menurut penulis adalah sebuah bentuk pengkhianatan terhadap rakyat Indonesia. Seharusnya produk legislasi harus benar-benar menguntungkan rakyat banyak, bukan sekelompok orang tertentu. Sehingga, sebagaimana yang disebutkan Bivitri, bahwa proses legislasi harus melibatkan partisipasi publik, tidak terlalu tergesa-gesa dan ugal-ugalan. Saya sangat setuju dengan apa yang dikatakan Bivitri mengawali goresannya: "partisipasi bukan hantu. Tak ada yang perlu ditakuti dari proses legislasi yang partisipatif apabila memang pembuat undang-undang paham demokrasi dan tanpa itikad buruk untuk membuat legislasi yang hanya menguntungkan kelompoknya."
Mengacu kepada Bentham, para anggota DPR selaku legislator, kebaikan publik hendaknya menjadi tujuan dari legislasi, manfaat umum menjadi landasan penalarannya. Legislator harus bersimpati pada kepentingan rakyat banyak, bukan malah antipati dengan partisipasi publik. "Satu-satunya tujuan legislator" tegas Bentham, "adalah meningkatkan kesenangan dan mencegah penderitaan." Kesenangan yang dimaksudkan di sini adalah kebahagiaan publik dari sebuah produk legislasi, membatalkan produk tersebut jika mengakibatkan penderitaan masyarakat banyak.
Kiranya tidaklah  berlebihan jika kita tempelkan cap: Dewan Pengkhianat Rakyat (DPR), pada anggota DPR RI jika dalam pelaksanaan tugasnya untuk melindungi hak-hak dan kebahagiaan rakyat banyak melalui produk legislasi malah menjerumuskan pada penderitaan. Jika tidak ingin diberi cap tersebut, maka kembalilah pada tugas dan fungsi yang sebenar-benarnya Wakil Rakyat.***
Catatan: Artikel ini telah terbit pertama kali di Kolom Opini Harian Analisa. Edisi: Selasa, 19 Juli 2022, dengan judul: Legislator Belum Memihak Kepentingan Rakyat. Dan menggunakan nama asli penulis.
Ket. Gbr: penulis artikel
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H