Mohon tunggu...
Ibnu Aghniya
Ibnu Aghniya Mohon Tunggu... Sejarawan - Penikmat Sejarah

Mahasiswa S-1 Ilmu Sejarah Universitas Diponegoro Pendiri Komunitas Suluh Sejarah (pengkajian dan penulisan sejarah)

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Penyakit Kronis Muslimin Indonesia

31 Maret 2020   15:55 Diperbarui: 31 Maret 2020   16:20 40
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Singkirkan dulu fakta tentang kemiskinan, kelemahan, dan keterbelakangan sebagai penyakit utama yang mendera kaum Muslim Indonesia. 

Beberapa fakta tersebut hanyalah ekses negatif dari penyakit kronis yang sesungguhnya. Sebuah penyakit yang bukan saja merusak secara fisik-materiil, tapi juga melemahkan kepercayaan diri muslimin Indonesia sebagai kekuatan potensial untuk memainkan peranan vital di kancah dunia.

Penyakit itu adalah fenomena bernama minderewaardigheids-complex atau lazim dikenal sebagai perasaan inferior. Sekian lama hidup dalam alam penjajahan Barat, rupa-rupanya bukan saja membikin muslimin Nusantara diperas habis apa yang dimilikinya. Tetapi juga diwarisi mentalitas sebagai inlander yang hanya bisa mengekor dan mengamini apapun yang datang dari Barat.

Belum keren rasanya jika belum mengikuti gaya hidup atau bahkan mode terbaru yang dijajakan oleh peradaban Barat. Sedangkan hal-hal yang pada hakikatnya adalah jati diri seorang muslim, dianggap usang dan ketinggalan jaman, yang bisa membuat malu bila menerapkannya apalagi menunjukkannya.

Prinsip isyhadu bi ana muslimuun yang seyogyanya dipegang seorang muslim, tercerabut secara kasar untuk diganti dengan slogan "isyhadu bi ana modern".

Ternyata mentalitas inlander yang selalu merasa inferior itu bukan saja tercermin pada fenomena hari ini. Jauh sejak negeri ini masih hidup di bawah telapak kaki Belanda, sikap inferior itu sudah melekat kuat dalam diri masyarakat pribumi pada umumnya dan kaum muslim Hindia pada khususnya.

Sering kita jumpai dalam foto-foto era kolonial baik yang dipublikasikan oleh Kerajaan Belanda maupun Indonesia, betapa masyarakat kita begitu merasa inferiornya pada tuan-tuan Belanda. 

Paling sederhana, hal itu dapat dilihat dari bahasa tubuh seorang pribumi bila berhadapan dengan seorang Belanda misalnya. Bagaimana si pribumi yang berjongkok tidak berani menatap langsung pada "tuannya" tersebut.

Mengenai sikap inferior ini, Haji Agus Salim memberi contoh lebih lugas, yang bisa dilihat dalam majalah Het Licht terbitan tahun 1925. Menurut Haji Agus Salim, rasa rendah diri masyarakat pribumi bukan semata diidap oleh kalangan jelata saja, tapi bahkan juga kalangan intelektualnya. 

Ketika orang-orang Belanda mengatakan pakaian pribumi adalah "pakaiannya para jongos" dan memperkenalkan celana panjang serta jas sebagai "pakaian berperadaban tinggi", dengan latah kalangan intelektual kita ketika itu langsung menggunakan setelan Eropa yang dianggap "terhormat". 

Tapi kemudian ketika pihak Barat memuji beskap dan surjan Jawa sebagai "busana nasional yang indah-rapi", mode berpakaian pun ikut berubah. Banyak orang yang memakai kembali "pakaian nasional" tersebut.

Berkata Haji Agus Salim "Segala itu menundjukkan kurang rasa harga diri, bahkan menundjukkan sikap takluk dan tunduk sampai pada inti hati sanubari". 

Contoh tentang pakaian tadi menurut Haji Agus Salim hanyalah contoh kecil semata. Lebih bahaya lagi, rasa rendah diri tersebut mengakibatkan banyak kalangan intelektual melihat Islam sebagai "pusaka yang usang" yang tidak lagi relevan dengan zaman. Sebab, Islam kala itu oleh gubernemen dilabeli berbagai tudingan menghinakan seperti misalnya disebut sebagai ajaran yang kolot .

Seorang mohammedaansche (pengikut Muhammad) yang masih setia pada ajaran Islam langsung dikonotasikan dengan keterbelakangan dan tidak progresif. 

Maka tidak mengherankan bila pada era pergerakan, kebanyakan dari tokoh-tokoh intelektual meskipun secara nominal beragama Islam, namun memperjuangkan gagasan-gagasan yang sama sekali jauh dari Islam. Kesemuanya itu diakibatkan oleh penyakit kronis bernama minderewaardigheids-complex yang sudah diuraikan tadi!

Pola sejarah selalu berulang. Apa yang terjadi pada hari ini, sebetulnya hanyalah repetisi dari apa yang terjadi di masa lalu. Jika di masa lampau kebanyakan tokoh pergerakan mengidap perasaan inferior, maka tak mengherankan bila petinggi-petinggi negeri ini pada hari ini juga mengalami penyakit yang sama. 

Gagasan dan nilai yang bersumber dari peradaban Barat dipandang sebagai "yang terbaik", sedangkan ajaran-ajaran Islam yang pada hakikatnya tak lekang oleh ruang dan waktu itu, dihinakan sedemikian rupa dan bahkan dikriminalisasi.

Sudah sepatutnyalah kita harus belajar dari sejarah. Tugas bagi kita pada hari ini adalah mengobati penyakit kronis tersebut, untuk kemudian mengembalikan kepercayaan diri sebagai seorang muslim. Prinsip isyhadu bi ana muslimuun harus diterapkan oleh muslimin Indonesia.

Seperti kata Haji Agus Salim bahwa "...ia (Islam) diacungkan sebagai pandji yang dibanggakan, karena agama Islam sebagai agama terakhir sudah sejak tiga belas abad bukan saja telah bertahan dari setiap penilaian yang jujur, bahkan dengan jaya telah menjalani perbandingan dengan agama dan sistem manapun". Lagi pula bukankah Nabi SAW telah bersabda bahwa "al-Islam yu'la wa laa ya'lu" Islam itu tinggi dan tidak ada yang lebih tinggi darinya?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun