Mohon tunggu...
Ibn Jabal
Ibn Jabal Mohon Tunggu... Freelancer - Bukan Putra Mahkota

masih mencari jati diri

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Perpustakaan Bergerak

11 Januari 2020   01:50 Diperbarui: 11 Januari 2020   02:37 100
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"

Sadar baca dan akses membaca" adalah point penting yang saya ambil setelah mengikuti acara Talk Show "Catatan Najwa bersama Najwa Shihab & DR.KH.Abdul Ghofur Maimoen" dua tahun yang lalu, tepatnya pada Sabtu 15 April 2017 di STAI Al-Anwar Sarang-Rembang.

Talk Show Najwa yang tergolong pertama kali masuk lingkungan pesantren tersebut banyak membahas mengenai dunia literasi di Indonesia. Najwa Shihab sebagai duta baca Indonesia beserta adiknya, Najela Shihab, yang juga aktif didunia pendidikan sangat prihatin dengan keadaan sadar baca dan akses  baca yang ada di Indonesia.

Duta Baca Indonesia tersebut juga melas dengan adanya beragai fakta yang ada, seperti survey terkini yang mengatakan bahwa dari 61 negara, Indonesia berada di angka 60 untuk tingkat minat literasinya. Pada tahun 2012 berdasar survey yang dilakukan Unesco, mengatakan bahwa masyarakat Eropa dalam setahun bisa membaca 20 buku, Singapore dan jepang 16-17 buku pertahun, sedangkan Indonesia adalah 0,01 buku pertahun. Sangat memprihatinkan.

Dari beeberapa hal diatas perlu kiranya kita mulai berbenah untuk masa depan Negara ini. Perpustakaan tidak cukup hanya sebagai agen penyedia buku atau tempat untuk membaca.

Perpustakaan hari ini harus ikut andil dalam gerakan kampanye sadar baca. Methode perpustakaan yang kebanyakan pasif harus diganti dengan perpustakaan yang aktif. Perpustakaan yang biasanya hanya terdapat dipusat pemerintahan kota, kabupaten serta lembaga pendidikan haruslah mulai merangkul anak bangsa tanpa kenal batas wilayah.

Hal demikian perlu dilakukan lantaran akar permasalahan yang ada bukanlah krisis buku, Indonesia kaya akan bacaan, lokal maupun buku-buku terjemahan dari Negara lain, namun yang menjadi akarnya adalah kesadaran manusianya.

Sehingga menyediakan buku dihadapan manusia bukan menjadi solusi yang terbaik, sebab musuhnya adalah kesadaran. Seperti masalah sampah yang menumpuk diberbagai daerah tidak bisa diselesaikan dengan hanya menyediakan tong sampah, produsen sampah terlebih dahululah yang pertama kali diberi kesadaran akan pentingnya kebersihan.

Anak-anak di Indonesia untuk saat ini lebih senang jika buku-bukulah yang menghampiri mereka, bukan mereka yang pergi keperpustakaan. Hal ini dimungkinkan bukan hanya masalah kesadaran, namun juga karena akses yang jauh, karena memang perpustakaannya yang kurang menjangkau semua kalangan.

Tak heran jika aktivis buku jalanan lebih diminati daripada perpustakaan. Komunitas yang dengan sukarela menyediakan buku dipinggir jalan lebih banyak peminatnya daripada perpustakaan dengan gedung yang bagus serta koleksi buku yang lengkap.

Sebenarnya model "perpustakaan bergerak" seperti ini sudah dilakukan oleh beberapa komunitas dan terbukti dapat meningkatkan minat baca bagi banyak kalangan.

 Di Papua terdapat Noken Pustaka (keliling membawa buku diransel untuk dibaca anak-anak), di Polewali Mandar Sulawesi Barat ada Perahu Pustaka (membawa buku diperahu dan keliling antar pulau demi memberi bacaan pada masyarakat), di Padang ada Vespa Pustaka, di Purbalingga terdapat Kuda Pustaka (mejajakan buku dengan naik kuda), Limbah Pustaka, dan endog pustaka (jualan telur untuk dimakan dan juga menyediakan buku bacaan bagi pelanggannya).

Beberapa kegiatan pustaka bergerak tersebut perlu didukung dan digalakkan diseluruh penjuru Nusantara. Perpustakaan yang mempunyai banyak koleksi buku seharusnya akan lebih diminati jika mempunyai methode yang serupa.

Sehingga suatu saat nanti kita akan melihat pemandangan orang-orang dibus sambil baca buku, nunggu dihalte sambil bawa buku, antre diloket sambil baca buku dan kegiatan-kegiatan lainnya yang terdapat banyak orang berkumpul didalamnya. Sebab perpustakaanlah yang bergerak menghampiri mereka, bukan mereka datang keperpustakaan.

Tentu kesadaran membaca ini tidak akan berhasil secara sempurna jika hanya dilakukan oleh segelintir perpustakaan, harus didukung oleh perpustakaan-perpustakaan lain.

Jika hal diatas dapat direalisasikan, tidaklah mustahil jika kita mempunyai mimpi bahwa perpustakaan di Indonesia bukanlah berwujud gedung ataupun ruangan dengan tumpukan buku didalamnya, namun perpustakaan adalah lingkungan kita sendiri, kanan kiri kita adalah perpustakaan, dimanapun kita berada disitu ada buku dan informasi yang bisa dibaca.

Methode "perpustakaan bergerak" seperti diatas tidak selamanya harus diterapkan. ketika kesadaran membaca masyarakat telah subur, mungkin tanpa harus bergerak, perpustakaan akan di kerumuni oleh banyak pembaca. Sebab, mereka telah sadar akan pentingnya membaca, selain itu mereka juga akan sadar bahwa membaca adalah kepentingan mereka sendiri bukan kepentingan perpustakaan lagi. Perpustakaan tinggal fokus menyediakan buku yang relevan serta bermanfaat. Hal seperti ini selaras dengan apa yang dikatakan oleh Anas bin Malik radiya Allah 'anhu: "Ilmu itu didatangi bukan datang dengan sendirinya".

Semoga bermanfaat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun