Pemilihan Kepala Daerah 2018 yang akan digelar secara serempak untuk 171 daerah pada tanggal 28 Juni 2018 tak urung menggiring isu seputar netralitas bagi kalangan TNI, Polri beserta aparat sipil negara (ASN). Netralitas bagi ASN, TNI dan Polri menjadi persoalan vital bagi terselenggaranya pemilu dan pilkada yang adil, karena secara struktural, dalam kedudukan mereka terdapat fungsi kewenangan yang dapat dipergunakan tidak sebagaimana mestinya untuk kepentingan yang menguntungkan salah satu calon dalam ajang pesta demokrasi tersebut. Sebagai akibat dari adanya kewenangan, melekat pula pertanggungjawaban para aparatur negara itu dalam kedudukannya sebagai subjek hukum administrasi.
Bertalian dengan pendekatan hukum administrasi, muncul pertanyaan ; apakah terhadap subjek hukum di luar ASN, TNI, maupun Polri, yang memiliki fungsi dan kewenangan sehingga dapat menjadi celah maladministrasi fungsi dalam pelaksanaan pilkada dan pemilu berlaku pula prinsip geen bevoegdhied (macht) zonder veraantwoordelijkheid (tidak ada kewenangan atau kekuasaan tanpa pertanggungjawaban) ? Dalam pada itu, apakah pers nasional yang notabene berada di luar struktur ketatanegaraan dapat dibebankan pertanggungjawaban atas pelaksanaan tugas-tugasnya berdasarkan amanah Undang-Undang No.40 Tahun 1999 tentang Pers sehubungan dengan perannya di ajang pilkada dan pemilu mendatang ?
Fungsi dan Kedudukan Pers Nasional
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia(UUD NRI) Tahun 1945 tidak menyebutkan kedudukan pers di dalam struktur ketatanegaraan Republik Indonesia. Betapapun demikian, keberadaan pers hakikatnya adalah manivesto dari amanah UUD NRI Tahun 1945 Pasal 28 F. Lebih lanjut, sebagai penjabaran dari Pasal 28 F UUD NRI Tahun 1945, dikukuhkanlah kedudukan pers nasional selaku subjek hukum badan hukum (recht persoon), Â melalui Undang-Undang No.40 Tahun 1999 tentang Pers.
Pers berdasarkan ketentuan Undang-Undang No.40 Tahun 1999 diartikan sebagai lembaga sosial dan wahana komunikasi dengan segala hak dan kebebasan yang dimilikinya untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dalam berbagai instrumen dan saluran yang tersedia, tanpa melalui proses ijin pendahuluan atau tindakan yang bersifat censorship.Â
Bersamaan dengan kebebasan yang dimiliki, melekat beban pertanggungjawaban terhadap subjek hukum yang melaksanakan fungsi pers, baik dari kalangan subjek hukum badan hukum dalam hal ini pers nasional, maupun subjek hukum alami (naturlijke persoon). Subjek hukum yang terakhir disebutkan adalah masyarakat umum (non pers nasional) yang juga melaksanakan fungsi pers melalui berbagai instrumen secara mandiri atau dengan cara mengirimkan karya jurnalistik ke media massa/pers nasional.
Perbedaan terminologi subjek hukum alami dan badan hukum perlu ditegaskan karena berhubungan dengan siapa yang kemudian akan dibebankan pertanggungjawaban, baik pertanggungjawaban administrasi, perdata, hingga pertanggungjawaban pidana. Dalam konsepsi hukum pidana, pertanggungjawaban terhadap perbuatan yang dilakukan oleh subjek hukum alami adalah kepada subjek hukum alami yang melakukan perbuatan itu sendiri. Namun seiring dinamika hukum pidana yang turut membawa keberadaan korporasi sebagai subjek hukum pidana, isu pertanggungjawaban tidak lagi melulu dibebankan kepada orang sebagai subjek hukum alami, melainkan juga kepada korporasinya ; dalam hal ini, pengurus, korporasi, dan baik pengurus bersama-sama dengan korporasi itu sendiri. Â
Pers Nasional Sebagai Subjek Hukum dalam Kaitannya dengan Pilkada & Pemilu
Merujuk kepada kedudukan pers nasional sebagai subjek hukum badan hukum, maka  konsekwensi hukum terhadap persoalan pertanggungjawaban tidak lagi bertumpu kepada subjek hukum alami, yakni, wartawan sebagai individu atau pekerja pada pers nasional. Beban pertanggungjawaban badan hukum sebagaimana dikemukakan dapat dikenakan terhadap badan hukum (korporasi) itu sendiri, pengurus, dan baik pengurus maupun korporasi. Sementara wartawan, karena posisinya adalah sebagai pekerja pada badan hukum dan bukan sebagai organ korporasi (pengurus), mutatis mutandis, tidak dibebankan pertanggungjawaban, terkecuali ada tindakan wartawan yang menyimpang dari tujuan pers nasional tempatnya bernaung, menyalahgunakan fungsinya sebagai jurnalis atau melakukan kegiatan curang yang tidak sesuai dengan semangat juang dari perusahaannya tersebut.
Berpijak pada konsepsi pertanggungjawaban pers yang bertumpu pada pertanggungjawaban badan hukum seperti diuraikan, bagaimana sistem pertanggungjawaban yang diatur di dalam Undang-Undang Pers No.40 Tahun 1999? Pertanggungjawaban pers, merujuk sistematika perundang-undangan yang bertalian dengan pers meliputi dua aspek, yakni tanggungjawab hukum dan tanggungjawab etik. Mengenai pertanggungjawaban hukum, beban tanggungjawab merujuk Pasal 12 dibebankan kepada "penanggungjawab".Â
Namun, frasa "penanggungjawab" yang menyandarkan pada model pertanggungjawaban pengganti (vicarious liability), dalam konteks pertanggungjawaban pidana menjadi tereduksi karena secara dogmatis di dalam penjelasan Pasal 12 disebutkan "sepanjang menyangkut pertanggungjawaban pidana menganut ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Di sini jelas, Undang-Undang No.40 Tahun 1999, tidak memiliki pandangan yang tegas mengenai pertanggungjawaban pidana, apakah berpijak pada ajaran kesalahan atau konsep pertanggungjawaban korporasi.