Mohon tunggu...
iben nuriska
iben nuriska Mohon Tunggu... Wiraswasta - Direktur PT. Ihwal Media Utama

Pimred www.ihwalmedia.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kemarahan Rustam

19 September 2022   03:39 Diperbarui: 19 September 2022   06:46 230
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Setelah dirasa pas, Rustam meyakinkan dirinya bahwa ia tidak akan menyesali perbuatannya. Sekaranglah saatnya membalas kesalahan istrinya pada dirinya yang belum lama diketahui oleh Rustam. Kesalahan yang selama bertahun-tahun dilakukan oleh istrinya itu kini membuka katup kebencian dan kemarahannya.

Nafasnya memburu. Kemarahannya semakin memuncak. Perlahan kobaran api kebencian yang menyala dalam dirinya memusat di tangannya. Sebuah kekuatan dahsyat menggetarkan kedua tangannya. Ia sangat yakin energi yang dimilikinya saat itu mampu mematikan isitrinya hanya dengan sekali tusukan. Begitu ia akan melakukannya, istrinya terbangun dan tersenyum kepada Rustam.

Senyum yang tulus dan lelah itu seketika berganti rona keheranan. "Lho, Bang, untuk apa pisau itu?"

Rustam gelagapan. Kekuatannya menguap menjalarkan ketakutan. Ia tak sanggup melakukan pembunuhan itu saat disaksikan sendiri oleh istrinya. Ia juga tak mampu menjelaskan kenapa pisau itu ada di tangannya dan siap menikam ke dada istrinya.

Istrinya menangis. Istrinya berusaha bangkit. Dalam posisi duduk istrinya beringsut memeluk Rustam. Dekap itu bertambah lekap. Rustam tak berdaya. Diam mematung. Pisau itu terlepas dari genggamannya dan jatuh di sebelah istrinya. Tangis istrinya semakin kuat namun serak.

"Bang, Yuda, Bang. Yuda..."

Mendengar nama anak mereka disebut istrinya membuat pikiran Rustam bertambah kacau. Ingin rasanya ia mendorong istrinya melepaskan pelukannya, mengambil kembali pisau itu untuk melampiaskan kemarahannya. Tapi tubuhnya sungguh tak lagi berdaya. Ia menjadi lemah ketika nama itu disebut berulang-ulang istrinya. Tanpa disadarinya airmatanya jatuh ke rambut istrinya.

Masih sangat jelas di matanya bagaimana sebulan yang lalu Yuda terbaring di hadapannya sebelum jasadnya dikuburkan. Mulutnya yang menganga saat meregang nyawa harus dikatup dengan kain yang diikat di dagu Yuda dan melilit ke kepalanya. Dan yang paling menyakitkan bagi Rustam adalah saat mendengar sebab kematian Yuda.

Rustam di Belanda saat itu. Ia dapat telepon dari adik perempuannya. Yuda meninggal setelah meminum sepuluh butir antibiotik khusus bagi penderita HIV. Dan tidak jauh dari mayatnya yang terbujur kaku dan mulut berbusa ditemukan secarik hasil uji laboratotium yang menyatakan Yuda positif mengidap HIV AIDS.

"Bang, tadi Yuda datang. Yuda menunjukkan rumahnya yang baru padaku. Rumah yang sangat indah. Putih. Taman bunganya juga putih. Udara di sana juga tampak putih. Segala-galanya putih. Yuda mengajakku tinggal bersamanya."

Rustam semakin terguncang. Entah mana suara tangisnya. Entah mana suara tangis istrinya. Entah mana suara hujan, badai dan halilintar. Segalanya telah menyatu dalam suara malam yang pilu. Ngilu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun