Mohon tunggu...
iben nuriska
iben nuriska Mohon Tunggu... Wiraswasta - Direktur PT. Ihwal Media Utama

Pimred www.ihwalmedia.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Kereta Bayi

14 Januari 2016   15:50 Diperbarui: 18 September 2022   03:44 1058
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sakit di jiwaku bertambah menikam dan mencabik-cabik kedirianku melihat istriku yang mirip orang gila. Seluruh emosi, iba, sedih, muak dan benci dan entah apalagi namanya berkecamuk dalam kepalaku. Aku meninggalkannya dan mengambil parang.

Sampai di luar rumah aku berhasil menangkap perempuan yang tadi menanyaiku. Aku mengancam dan memaksanya mengantarku menemui suaminya. Orang-orang menyingkir dan membiarkan kami lewat demi keselematan sandra.

Dengan mobilnya kami berangkat. Mobil bergerak cepat menuju pasar dan berhenti di depan sebuah toko sepeda. Polisi memenuhi halaman toko. Entah siapa yang memberitahu mereka bakal terjadi peristiwa berdarah malam ini. Di belakang barisan polisi itu dan kerumunan orang-orang, kereta bayi yang serupa dengan yang dibawa pulang istriku bergelantungan.

Aku tidak mau mematuhi perintah polisi dan mengancam akan membunuh perempuan itu kalau mereka tidak menyingkir. “Pergilah kalian. Aku akan menyerah setelah membunuh laki-laki keparat itu.”

Orang-orang bertambah banyak dan berkumpul mengelilingi kami. Aku tidak akan menyerah apalagi melarikan diri. Aku juga tak akan membunuh perempuan itu. Hanya suaminya. Tapi aku tidak tahu seperti apa rupa lelaki bangsat itu. Aku mendorong perempuan itu agar terus berjalan dan memaksanya menunjukkan yang mana suaminya. Ia terisak dan memohon ampun. Ia terpaksa berjalan saat merasakan parang yang tajam itu mulai menyentuh kulit lehernya. Dan aku menjauhkan kembali parang itu dari lehernya saat ia berjalan dan menunjukkan suaminya. Lelaki keparat itu tampat pucat dan gemetar. Ia tak berani menatap mataku.

Jarak kami semakin dekat. Polisi bersiaga. Aku berhitung langkah sebelum melepaskan perempuan itu dan menancapkan parang ke kepala lelaki bajingan itu. Tepat saat lelaki itu berani mengangkat kepalanya dan menatap mataku, aku melepaskan istrinya dan berlari secepat kilat. Begitu aku mengayunkan parang dengan sekuat tenaga, sebuah benda panas terasa menembus kepalaku dari samping. Aku limbung dan tak bisa melangkah. Parang terlepas sebelum tubuhku ambruk. Aku tak bisa mengingat apa-apa lagi. Hitam.

Umamotu batubelah, 140116

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun