Kami pindah seketika untuk menghindari kebencian dan permusuhan yang terus memuncak dan mengontrak rumah kosong di kampung yang sama sampai permohonan pinjamanku di bank diterima dan aku membeli tanah dan membangun rumah yang sekarang kami tempati di ujung kampung, di pinggir danau mati ini. Rumah yang selalu sunyi meski sesekali kami tertawa dan bernyanyi.
Hari kian redup. Angin penghujung petang bertiup menggugurkan tudung-tudung petai, menimpa atap dapur. Tangisku tak kunjung reda. Hidungku dipenuhi lendir, juga kerongkonganku. Aku ingin berdoa. Aku sudah lama tidak berdoa karena tidak lagi percaya pada kekuatan doa. Dan aku benar-benar melakukannya saat istriku keluar dari kamar mandi di samping dapur – aku tidak tahu kapan ia keluar kamar dan masuk ke kamar mandi – lalu buru-buru kembali ke kamar. Betapa kebesaran hatiku terkapar dan menciut menyadari ia tak peduli di saat aku menangis dan merindukan pelukannya. Kupanjatkan doa agar istriku mati lebih dulu atau kami mati bersama-sama. Aku tidak mau nantinya ia tinggal sendiri menanggung derita hidup, tanpa tempat bersandar dan tanpa pedoman. Kami sama-sama telah kehilangan keyakinan dan iman. Kami telah sama-sama meninggalkan segala ritual keagamaan.
Dan pengeras suara mulai menyebarkan seruan muazin dari surau-surau dan masjid-masjid di kampung-kampung sekitar. Hatiku sama sekali tak bergetar mendengar ajakan untuk sholat dan meraih kejayaan. Kejayaan apa? Aku telah kehilangan mimpi dan keinginan, kecuali keinginan untuk mati bersama-sama dengan istriku atau ia mati lebih dulu dan aku menyusulnya kemudian.
Dengan berat kuusap airmata dan menyiapkan perbekalan untuk kembali ke lokasi kerja. Kupanggil istriku demi mendapati pintu kamar yang kembali terkunci. Di dalam gelap sekali. Apakah ia kembali tidur atau memang tidak mau menemuiku. Kukatakan aku harus masuk dan harus berangkat kerja. Tetap tak ada tanda-tanda ia akan membukakan pintu. Aku tak ingin menangis lagi tapi hatiku bertambah rapuh.
Kutenangkan diri dan kunyalakan semua lampu sebelum keluar. Aku ingin sejenak pergi dari rumah, mungkin ke masjid, atau entah ke mana. Besok pagi akan kutelepon supervisorku dan minta izin cuti sehari. Saat membuka pintu depan, seorang perempuan setengah baya bersama dua temannya – ketiganya perempuan – keluar dari mobil yang berhenti di depan rumahku.
“Mana istrimu?” tanyanya galak.
Aku tidak menjawabnya. Perempuan itu mengulang bertanya dengan lebih galak. Aku tetap diam sampai temannya yang gembrot lancang berkata, “perempuan lacur,” yang membuatku naik pitam lalu melayangkan tinju ke mukanya. Ia terpekik dan terjungkal.
Perempuan yang bertanya dan seorang lagi temannya kemudian menyerangku dengan beringas. Aku tidak siap menerima serangan itu. Meski perempuan, tapi berdua, membuatku kewalahan menghindari pukulan dan tendangan yang mereka lesatkan. Yang terparah dari serangan itu saat kaki dari salah satunya – aku tidak tahu perempuan yang mana – mendarat di selangkanganku dan aku terjatuh. Si gembrot meraung dan menindihku dan memukulku bertubi-tubi begitu dapat kesempatan.
Sakit di buah pelirku dan sangat menyakiti perutku membuatku tak berdaya menghindari pukulan si gembrot. Pelipisku koyak dan bibirku pecah. Hidungku patah dan penuh darah. Orang-orang yang ramai lewat di depan rumahku berusaha melerai perkelahian yang tidak imbang itu. Orang-orang itu berhasil menarik si gembrot dan melindungiku dari serangan yang terus dilancarkan kedua temannya.
Dan tiba-tiba segalanya berubah. Seluruh sakit; buah pelir hingga ke perut; pelipis dan bibir dan hidungku yang dipenuhi darah segar, hilang seketika berganti sakit yang paling perih dan lebih menusuk dari semua sakit yang pernah kurasakan di dunia ini saat mendengar keterangan perempuan yang tadi menanyaiku setelah ia bersedia menjawab tanya orang-orang.
Dengan kalap aku membating pintu dan menguncinya dari dalam lalu mendobrak pintu kamar. Aku menyalakan lampu dan mendapati istriku tertawa cekikikan dan memberikan testpack padaku. Ia tertawa dan berkata bahagia, “aku hamil, Bang. Aku hamil. Kita akan punya anak. Aku sudah membelikan kereta untuk bayi kita. Tiap pagi, saat kamu cuti, kita bertiga jalan-jalan keliling kampung. Ya, Bang? Abang bahagia, kan?” Ia terus menyerocos dan tertawa lalu bangkit dari ranjang dan menari-nari berputar-putar.