PENTINGNYA RUU PKS PADA MASA PANDEMI. KENAPA "MUNDUR" DARI PROLEGNAS?Â
Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) kembali menjadi perbincangan masyarakat Indonesia setelah DPR RI resmi menyingkirkan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) dari program legislasi nasional (Prolegnas) prioritas 2020 dalam rapat kerja pada hari kamis, 2-07-2020 lalu.Â
Bukan lagi terjadi penghambatan untuk disahkannya, kali ini DPR-RI menyingkirkan dari Prolegnas dengan dalih ada sejumlah pasal pemidanaan dalam RUU PKS yang searah dengan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP). Dalih ini terus saja digemakan oleh wakil rakyat yang ada di Senayan sana. Tetapi berbeda dengan RUU lainnya. Contohnya RUU Cipta Kerja. Mengapa tidak demikian? Bukankah juga mengatur sanksi pidana? Terlihat jelas argumen yang digemakan Wakil Rakyat sangatlah politis.Â
RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) merupakan representasi dari realitas kehidupan masyarakat. Budaya Patriarki itu masih sangat kuat dilingkungan Masyarakat Indonesia. Oleh karena itu, RUU ini untuk mengatasi dan melawan Diskriminasi Gender yang kerap terjadi dilingkungan masyarakat Indonesia.Â
Menjadi perbincangan dua kubu, yakni Pro dan Kontra. Feminisme sebagai dalih oleh penentang, menganggap RUU PKS bersifat sekuler. Kelompok Penentang menginginkan adanya nilai-nilai agama sebagai klausal utama.Â
Padahal rumusan RUU PKS memiliki tujuan yang sama dengan Agama yakni Memanusiakan dan memuliakan martabat manusia.Â
Dimasa pandemi ini banyak masyarakat Indonesia kehilangan Pekerjaannya. Khususnya mereka yang berstatus telah menikah, memiliki anak dan harus menafkahi keluarganya. Disaat seperti ini, pertengkaran dalam rumah tangga semakin meningkat dan sangat mungkin terjadi adanya kekerasan dalam rumah tangga.
Untuk itu, RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) seharusnya menjadi Prioritas untuk dibahas dan disahkan oleh DPR RI dimasa pandemi karena kekerasan seksual mengancam semua orang, terkhusus perempuan. Sudah banyak kasus kekerasan seksual yang telah terjadi dan korban juga tidak mendapat keadilan dari kejahatan ini. Karena sangat penting untuk mengatur kekerasan seksual terhadap perempuan dan juga terhadap laki-laki. Adresat yang diatur dalam RUU PKS adalah setiap orang, baik laki-laki maupun perempuan, baik secara individual, kelompok, maupun korporasi (Pasal 1 angka (3) RUU PKS).
Tetapi apakah itu dipikirkan oleh wakil rakyat yang berada di senayan sana?
Mengapa RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) disingkirkan dari program legislasi nasional (prolegnas)?
Apa Karena RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) bersifat tidak basah yang tidak bisa di Proyek atau di uang kan. Â Seperti RUU Cipta Kerja dan RUU MINERBA yang sangat basah dan menguntungkan Oligarki.
Ketukan palu Senayan hanyalah keuntungan Oligarki semata. Tidak ada memikirkan Rakyat saat mengesahkan ataupun menghambat RUU.
Kita melihat sikap Wakil Rakyat yang berada di Senayan sana seperti merekalah pelaku kekerasan itu, sehingga RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) sampai disingkirkan dari program legislasi nasional (prolegnas).
Padahal keadilan korban kekerasan seksual tidak ada dimata hukum. Contohnya pada kasus Baiq Nuril salah satu guru honorer yang merupakan korban pelecehan seksual divonis 6 bulan penjara dan denda 500 juta rupiah lantaran dianggap melanggar UU ITE. Ia mendapat pelecehan seksual dari seorang guru sekaligus kepala sekolah tempat ia mengajar.Â
Bersuara dimedia sosial atas kejadian kekerasan seksual yang dialami menjadi petaka bagi Baiq Nuril. Menjadi diam dan bungkam membuat korban menjadi trauma atas kejadian tersebut. Kondisi tersebut dapat mempengaruhi suasana hati, pikiran dan prilaku yang biasa kita sebut gangguan mental. Gangguan mental itu bisa saja terjadi pada korban kekerasan seksual.
Kriminalisasi terhadap pihak yang seharusnya menjadi korban itu bukan hanya ada pada kasus Baiq Nuril. Kriminalisasi itu terjadi pada kasus PA yang diputus bersalah oleh Pengadilan Tinggi Garut dan terancam dipenjara selama 3 tahun. Dia dijerat UU Pornografi karena dituduh turut serta menjadi model atau objek dalam pembuatan konten pornografi.Â
Kenyataannya, PA adalah korban dari kekejian suaminya yang dipaksa untuk melakukan hubungan seksual kepada 3 lelaki termasuk suaminya. Tindakan itu diuntungkan oleh suaminya, sebab PA dijual oleh suaminya dengan 2 orang lelaki lain. Suaminya merekam adegan itu dengan dalih untuk koleksi pribadi. Namun video itu tersebar dan Viral. PA adalah remaja usia 16 diperistrikan oleh suaminya untuk menjadi istri yang ketiga. Pada kasus ini suaminya tidak dapat dihukum dikarenakan telah meninggal dunia. Maka semua kesalahan dilimpahkan kepada PA.
Hasil konseling menunjukan PA mengalami dampak psikis dan trauma atas kejadian ini. Penegak Hukum hanya fokus pada foto dan video pornografi yang viral PA tanpa mempertimbangkan bahwa PA adalah korban eksploitasi seksual, KDRT dan Trafficking.
Begitu banyak predator-predator kekerasan seksual yang terjadi di Indonesia menjadi pertimbangan penting bagi DPR RI untuk segera mengesahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual demi keadilan terhadap korban kekerasan seksual.
"Sementara perjuangan pembebasan perempuan berarti perjuangan untuk menghancurkan tatanan yang hierarkis, patriarkis, militeristis, maskulin, nasionalistis, dan kapitalistis, yang tercemin dalam bentuk kekuasaan negara"--Toety Kilwouw"
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H