Mohon tunggu...
IKBAR ANSHARY SINAGA
IKBAR ANSHARY SINAGA Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa

Terjang yang tak bertepi.

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Pentingnya RUU PKS Pada Masa Pandemi, Kenapa "Mundur" dari Prolegnas?

6 Juli 2020   18:51 Diperbarui: 19 November 2021   15:04 182
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kita melihat sikap Wakil Rakyat yang berada di Senayan sana seperti merekalah pelaku kekerasan itu, sehingga RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) sampai disingkirkan dari program legislasi nasional (prolegnas).

Padahal keadilan korban kekerasan seksual tidak ada dimata hukum. Contohnya pada kasus Baiq Nuril salah satu guru honorer yang merupakan korban pelecehan seksual divonis 6 bulan penjara dan denda 500 juta rupiah lantaran dianggap melanggar UU ITE. Ia mendapat pelecehan seksual dari seorang guru sekaligus kepala sekolah tempat ia mengajar. 

Bersuara dimedia sosial atas kejadian kekerasan seksual yang dialami menjadi petaka bagi Baiq Nuril. Menjadi diam dan bungkam membuat korban menjadi trauma atas kejadian tersebut. Kondisi tersebut dapat mempengaruhi suasana hati, pikiran dan prilaku yang biasa kita sebut gangguan mental. Gangguan mental itu bisa saja terjadi pada korban kekerasan seksual.

Kriminalisasi terhadap pihak yang seharusnya menjadi korban itu bukan hanya ada pada kasus Baiq Nuril. Kriminalisasi itu terjadi pada kasus PA yang diputus bersalah oleh Pengadilan Tinggi Garut dan terancam dipenjara selama 3 tahun. Dia dijerat UU Pornografi karena dituduh turut serta menjadi model atau objek dalam pembuatan konten pornografi. 

Kenyataannya, PA adalah korban dari kekejian suaminya yang dipaksa untuk melakukan hubungan seksual kepada 3 lelaki termasuk suaminya. Tindakan itu diuntungkan oleh suaminya, sebab PA dijual oleh suaminya dengan 2 orang lelaki lain. Suaminya merekam adegan itu dengan dalih untuk koleksi pribadi. Namun video itu tersebar dan Viral. PA adalah remaja usia 16 diperistrikan oleh suaminya untuk menjadi istri yang ketiga. Pada kasus ini suaminya tidak dapat dihukum dikarenakan telah meninggal dunia. Maka semua kesalahan dilimpahkan kepada PA.

Hasil konseling menunjukan PA mengalami dampak psikis dan trauma atas kejadian ini. Penegak Hukum hanya fokus pada foto dan video pornografi yang viral PA tanpa mempertimbangkan bahwa PA adalah korban eksploitasi seksual, KDRT dan Trafficking.

Begitu banyak predator-predator kekerasan seksual yang terjadi di Indonesia menjadi pertimbangan penting bagi DPR RI untuk segera mengesahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual demi keadilan terhadap korban kekerasan seksual.

"Sementara perjuangan pembebasan perempuan berarti perjuangan untuk menghancurkan tatanan yang hierarkis, patriarkis, militeristis, maskulin, nasionalistis, dan kapitalistis, yang tercemin dalam bentuk kekuasaan negara"--Toety Kilwouw"

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun