MENGGALORKAN TRADISI ADAT BEGAWAI URANG BELITONG (Bag.5, habis)
Â
Â
Â
P U N C A K Â G A W A I
Hari kedelapan dari rangkai kegiatan sebelumnya, merupakan puncak acara tradisi adat begawai urang Belitong. Di hari puncak itu semua undangan; keluarga besar kedua belah pihak pengantin serta warga kampung tersebut boleh hadir dalam perayaan gawai itu. Inilah yang disebut dengan gawai gede. Dalam tradisi gawai gede lahirlah ungkapan "Gawai Gede Laok Terong". Istilah ini muncul karena ada candaan dari  tiga pelaku seni atau tokoh seni Belitong yaitu Pak Sidiq (seniman syair dan lagu Belitong) kemudian Pak Ali Butak (Seniman musik yang matanya buta) serta Pak Joni Rodit (Seniman Musik; penyanyi dan pemusik).
Istilah tersebut bermula dari mereka bertiga Ketika usai mereka bermusik di pesta gawai gede di sebuah tempat di Belitong. Saat mereka makan bedulang Pak Joni Rodit dan Pak Sidiq mencandai Pak Ali. Begitu Pak Ali Butak ingin mengambil lauk di salah satu piring dalam dulang, timbullah usilnya kedua kawan itu menukar piring itu dengan piring lauk berisi masakan terong, Pak Ali Butak meraba masakan terong itu lalu mencoba ke piring lainnya, tangan jahil kedua temannya itu Kembali menukar piring tersebut dengan piring yang tadi berisi terong. Hingga piring Ketika dicoba lagi namun ditukar lagi.
Karena piring ketiga dirasa tetap sama berisi terong maka terucaplah rasa jenggkel Pak Alik Butak, "Masa, gawai segede ini hanya laok terong!".
Begitulah candaan itu terjadi dan istilah "gawai gede laok terong" kemudian dimaknai buat menyindir tentang hajatan besar tapi makanan yang tersedia tak sepadan dengan kebesarannya.
- Hari kedelapan (Minggu): Sejak pagi, Pengulu Gawai menyiapkan acara gawai (kundangan): dari persiapan perlengkapan, kerapian hiasan, kesiapan makanan, serta para pegawai dengan semua para tukangnya.
- A y a m  P a n g g a n g
- Â
- Pagi ini juga, jika ada yang khataman Alquran maka setiap pengkhatam akan menempatkan semacam sajian berupa ayam panggang dan nasi pulut (nasi kuning ketan), juga "Jaja' Cucor" (Jaja' atau kue cucor berjumlah seratus setiap orang yang pernah menjatuhkan Alquran dari tangannya selama dia belajar mengaji) "Ayam Panggang ketan" serta "Jaja' Cucor ditempatkan di dekat "Telok Tamat"
- K h a t a m  A l q u r a n
- Â
- Sebelum berkhatam, biasanya "Mace Surat" atau dikenal juga dengan sebutan "Marhaban", dimulai dari pagi, dibaca oleh satu dua orang dengan lantang sehingga terdengar jauh buat menyerukan kepada orang yang bakal kundangan atau segera untuk ikut bergabung "Mace Surat". Proses ini menandai bahwa pihak rumah yang begawai sepenuh sukacita bakal menyambut kedatangan pengantin pria untuk duduk bersanding dengan pengantin perempuan.
- Usai para lebai dan tetua kampong "Mace Surat", para pengkhatam Alquran bergilir untuk menamatkan bacaannya. Tradisi Khatam Alquran juga disebut "Betamat" yaitu menamatkan pembelajaran kitab suci Alquran. Para bujang dan dayang yang betamat berharap agar mereka segera mudah berjodoh. Pengantin perempuan selalu ikut bekhatam meski mungkin sebelum dulu  menikah ia sudah melakukannya. Itu memaknai bahwa dirinya adalah perempuan suci dan beriman, yang kelak sanggup mendidik anak-anak dari suaminya menjadi anak yang soleh dan soleha.
- Â
-        Selepas bekhatam, barulah para penjemput atau "Tukang Ngambelek Penganten Pria" siap berangkat bersama "Tukang Ngaraknya". Kali ini Tukang ngambelek pengantin tanpa tukang Payung Lilin karena siang hari. Tukang Payung Lilin digantikan oleh tokoh "Kepala rombongan yang memimpin  Pengantin Pria" menuju rumah pengantin perempuan (tokoh ini adalah seorang yang bakal berdiplomasi di acara Berebut Lawang, tugas dirinya ditunjuk oleh pihak keluarga pengantin pria atau juga oeh pihak pengantin perempuan).
- Tukang Ngambelek Pengantin Pria mesti cerdas memperkiraan kedatangan mereka pas saat acara bekhatam telah selesai. (Perkiraan datangnya penganten pria, acara bekhatam telah rampung). Selama penjemputan tersebut Penganten perempuan yang jika juga sudah selesai bekhatam, terus Kembali dipingit oleh Mak Inang di dalam kamar pengantin.
- Ketika prosesi Ngabelek Pengantin di rumahnya atau di rumah anggorannya, Tukang Ngambelek akan bertemu dengan pihak yang mendampingi atau wakil Pengantin pria lalu berdialog langsung dengan keperluan buat menjemput dan mengawal penganten pria untuk disandingkan di rumah pengantin perempuan. Serah terima biasanya berlangsung singkat secara adat beradat, semacam serah terima pengawalan dan pengarakan. Setelah usai serah terima para "tukang ngambelek" mengawal rombongan penganten pria menuju rumah penganten perempuan.
- Rombongan ini bergerak didahului para pengarak (para pegendang hadra dengan lagu khasnya) mereka berjalan kaki, pengantin pria ditandu oleh empat orang pemikul, sedang rombongan keluarga pengantar biasanya para Ibu juga dayang dan bujang (para remaja) membawa beraneka "antaran" berupa barang-barang kesukaan mempelai perempuan yang sudah dihias seelok mungkin, misal kain dibentuk rupa burung atau perahu, sedang barang aneka lainnya dibuat parsel atau kotak hias berkesan "nyeni" hingga mewah. Secara adat tentu saja rombongan ini membawa tipak sirih-pinang sebagai acara "sekapur sirih" ketika datang nanti ke rumah mempelai perempuan.
- B e r e b u t  L a w a n g
- Ketika rombongan ini sampai di muka halaman mereka dihadang (diambat) dengan seutas tali (kadang kala tali tersebut dilumuri arang atau gemuk hewan agar tak disentuh orang yang terhadang) Hambatan ini akan ada tiga tempat, pertama di muka halaman rumah, kedua di muka pintu utama rumah, dan ketiga di muka kamar pengantin, ke semua rangkaian hambatan ini disebut "Berebut Lawang"
- Pengertian lawang secara filosofisnya adalah "gerbang" masuk secara simbolik, di muka halaman rumah memaknai bahwa sang Pengantin Pria siap masuk ke dalam masyarakat di wilayah istrinya nanti, di gerbang kedua pada muka pintu utama rumah pengantin bahwa sang Penganti Pria siap menjadi keluarga besar pihak istrinya nanti, sedangkan symbol terakhir di muka pintu kamar Pengantin Perempuan, secara simbolik sang Pengantin Pria siap berumah tangga dengan istrinya nant).
- Tokoh pengambatnya (penghadangnya) yaitu di muka halaman rumah oleh Tukang Tanak, di muka pintu utama oleh Pengulu Gawai, di muka kamar penganten oleh Mak Inang, ke semua mereka mahir berdiplomasi hingga berdebat secara santun hingga berpantun. Tetapi adakalanya tokoh pengambat pengantin ini tak menggunakan pantun tapi "berdebat secara melucu" sehingga rombongan yang dihambat juga masyarakat yang menyaksikan jadi terhibur. Penggunaan pantun secara efektif atau marak digunakan awal tahun 1980an, sebelumnya lebih banyak diplomasi dan perdebatan. Kini, sudah taka da diplomasi and berdebatan, semua dialog menggunakan pantun.
- Di muka halaman, rombongan pengantin yang membawa hantaran diperkenan masuk tapi sang Pengantin Pria tidak dibolehkan, setelah rombongan masuk, lalu pengantin pria diperkenankan turun dari tandunya, dengan terus dikawal dan didampingi kepala rombongan. Kemudian kepala rombongan maju ke muka.
- Di muka halaman ini, kepala rombongan dan pengantin pria dihambat oleh Tukang Tanak, biasanya penonton disemarakan ulah Tukang Tanak dengan polah tingkahnya; ada kalanya ia bertudungkan kerak nasi (dibuat menyerupai capin atau terindak buat memayungi kepala (dibuat sedemikian rupa namun tentunya kerak nasi tersebut dilapisi alas kepala yang bersih agar keraknya tak mengotori rambut atau sebaliknya).
- Payung kerak nasi unik itu seolah ia menandingi pengantin pria yang datang dengan dipayungi, adakalanya ia memakai kukusan kerucut bambu; yang ini seolah menyerupai "Antu Kukus" karena wajahnya juga dicoreng moreng, adakalanya hanya membawa "gelidau" yaitu pengayuh buat menggidau atau mengayuh beras yang ditanak.
- Kini, lakon sepenuh peran tersebut jarang dilakukan, tetapi sebagai pertanda si tukang tanak maka paling tidak ia membawa sekedar alat masak misal sendok atau pertanda lainnya yang berkait dengan alat dapur, yang penting melambangkan identitasnya.
- Jika rintangan atau hambatan di muka halaman oleh Tukang Tanak yang mahir berpantun tentu dilawan oleh pemimpin rombongan dari mempelai pengantin pria, keduanya berdebat menggunakan pantun saling memperolok menjatuhkan lawan. Dalam debat pantun ini, walau bagaimana pun rombongan pengantin mesti dapat masuk dengan mengalahkan debat pantun penghadang.
- Di masa lampau, materi pantun di muka halaman ini berkisar pada persoalan lingkungan sekitar rumah pengantin perempuan karena kehadiran pengantin lelaki ke situ merupakan datang ke lingkungan baru bakal di tempatinya, itu diibaratkan sang pangeran memasuki wilayah kerajaan sang putri yang sudah diperistrinya.
- Debat pantun merupakan usaha perundingan agar dapat masuk, namun di ujung perundingan tidaklah cukup tanpa ada "pekeras" yaitu semacam benda beharga atau upeti yang mesti diberikan kepada pengambat (masa lampau pemerian di muka halaman untuk Tukang Tanak biasanya "sesumpit" atau segantang beras putih terbaik, pemerian di muka pintu utama untuk Pengulu Gawai "sesumpit" atau segantang beras merah terbaik, sedang pemerian di muka kamar pengantin "sesumpit" atau segantang beras ketan terbaik.
- Tetapi sejak alat tukar berganti maka "pekerasnya" menggunakan uang, untuk tiga hambatan tersebut, jumlah uang dibagi tiga dengan rasio 2,3,5 sehingga jumlah genap 10 atau seratus; misalnya, di muka halaman 20 ribu, di pintu utama 30 ribu, di pintu kamar pengantin 50 ribu, rasio ini semacam kesepakatan yang sudah diatur antar mereka.
- "Berebut Lawang" memaknai bahwa seorang calon suami yang menikahi calon istrinya, tidaklah semudah memasuki wilayah umum. Maka ia mesti mengenal lebih dalam tentang lingkungan calon istri serta segenap keluarga besarnya, juga memasuki batin sang istri agar kelak didapatkan kehidupan yang harmonis.
- Â
- N g a m b o r  B e r a s  K u n y i t
- Sepanjang hambatan di tradisi "Berebut Lawang" seorang pegawai (dayang pembantu) dari Mak Inang menghamburkan "beras kunyit" ke atas pengantin pria (beras putih diwarnai kunyit sebagai pertanda syukur dari orangtua pengantin perempuan kepada mempelai pria yang datang menyandingi pengantin perempuan istrinya)
- Sepanjang acara berebut lawang berlangsung para penabuh hadra pun terus membahanakan gendang dan lagunya, dari penjemputan pengantin pria, terus di muka halaman ,lalu ke pintu utama rumah, terus masuk di muka pintu kamar pengantin. Semakin seru debat pantun maka semakin marak pula pukulan hadranya, namun jika diminta berhenti agar pembicara dapat menegaskan tujuannya maka harus berhenti.
- Di pintu utama rumah, pengantin pria dan kepala rombongan kembali di hadang, dipalang sehelai selendang, debat pantun dimulai lagi, materi pantun berkisar tentang berbagai pertanyaan seputar rumah dan keluarga, ini mengenai bagaimana kesiapan pengantin pria memasuki rumah mertua dan etikanya, ibarat tatakrama seorang pangeran hendak tinggal di istana raja dengan putrinya. Tapi di masa kini, spesifikasi itu tak diindahkan lagi, debat pantunnya sudah secara umum terkadang pantun seputaran pribadi sang pemantun saja.
- Pengulu Gawai dapat memperkenankan masuk jika "pekeras" sudah diberikan padanya. Selepas hambatan ini pengantin pria diarahkan penghulu gawai ke kamar pengantin namun di sini dihambat lagi oleh Mak Inang, debat pantun bersama Mak Inang adalah tentang kebatinan pengantin, misal pantun kesiapan calon suami memperistri mempelainya... intinya adalah sebuah kesungguhan rumah tangga yang bakal dijalani mereka, di ujung debat "pekeras" mesti diberikan ke Mak Inang, lalu pengantin diperkenankan memasuki kamar mempelainya.
- Para pemukul hadra terus menampar gendangnya dengan semarak agar kedua mempelai segera keluar dari kamar. Kedua mempelai diantarkan Mak Inang untuk duduk di "Kelice" pelaminan berupa kasur tipis. Setelah kedua mempelai duduk bersanding nyaman, penabuh gendang hadra menghentikan tabuhannya. Lalu Pengulu gawai memperkenankan ketua penabuh gendang menasehati kedua mempelai dengan berpantun, sesudah itu barulah pengulu gawai sendiri memberikan pantun nasehat, seraya dirinya pamit buat mengarahkan acara serah terima pengantin pria beserta barang barang hantarannya di telasar depan atau sering juga di hadapan pengantin dengan disaksikan oleh pihak pengantin laki-laki.
- Bersamaan dengan itu pasangan pengantin melakukan "seting" dan "ngelumping". Seting adalah penyampiran kain kuning bersulam emas atau perak oleh Mak Inang pertanda syahnya bernikahan mereka (pada mulanya seting di masa lampau dilakukan di keluarga raja, seting dilakukan oleh raja artinya diperkenan atau direstu oleh Raja). Kemudian di Masyarakat raja juga memberikan seting pada pihak tertentu atau pihak masayakarat yang memohon pada sang Raja, baik keluarga para saudagar atau tokoh Masyarakat biasa.
- Jika raja berkenan maka biasanya pasangan pengantin bakal memakai atau mengenakan pakaian mewah terbaik. Nah, pakaian pengantin mewah terbaik ini kemudian disebut "pakaian seting". Kini pakaian pengantin Belitong disebut Sting atau Seting). Ngelumping adalah kedua pengantin saling menyuapkan lumping ke mulut pasangannya (daun sirih yang diolesi kapur oleh Mak Inang)
- T r a d i s i  T e l a s a r
- Â
- "Tradisi Telasar" (Serah terima hantaran) didahului salam dan perkenalan secara adat oleh wakil pembicara dari pihak pengantin pria dengan menyodorkan tipak sirih pinang sebagai pelambang adat urang Belitong. Gayung pun bersambut disambut oleh Tukang Nyambut Pengantin (petugas atau pengawai yang sudah ditunjuk oelh pengulu gawai). Keduanya saling bersambutan kata saling bicara secara beradat sepenuh hikmat mengenai maksud dan tujuan mengantarkan semua "hantaran" yang dibawa dari pihak pengantin pria. Sesudah itu barulah hantaran dari penganti pria dibuka atau dibuktikan sesuai keterangan dari pihak pengantar. misalnya jika ada uang berapa jumlahnya, jika ada emas berapa beratnya, jika ada kain bagaimana rupanya, dan berbagai barang lainnya.
- Sesudah tradisi telasar (serah terima hantaran) pengulu gawai mengarahkan pasangan pengantin untuk menyalami semua hadirin di "bangsal telasar" juga di dalam ruangan besanding (tempat pengantin duduk besanding). Selepas itu barulah doa syukur serta keberkahan bagi pengantin dipimpin oleh lebai kampong (ulama masyarakat setempat).
- Â
- Usai doa syukur bersama, dilanjutkan makan gawai dimulai setelah pengulu gawai mengarahkannya. Dulang makanan diantarkan lebih dulu oleh tukang "Ngator Dulang" ke "bangsal telasar" untuk makan siang para tetua kampong serta rombongan pengantin pria. Lalu dulang berikutnya menyusul buat tamu kundangan yang duduk di bangsal besar atau blandongan. Biasanya makanan di dulang yang di telasar lebih dulu dipersilahkan oleh pengulu gawai dibuka oleh dukun kampong atau tetua adat setempat, atau lebai.
- Secara tradisi, anak-anak yang kampong yang hadir di acara gawai diberi kesempatan untuk makan lebih dulu di "telasar biak kecik". Hal tersebut agar para orangtua dan anak anak dapat makan secara tertib.
- Makan siang bersama di acara gawai memakai dulang merupakan tradisi makan "Urang Belitong" sejak lampau. Dulang awalnya terbuat dari banir kayu yang ringan kemudian hadir dulang terbuat dari kuningan, saat ini kedua jenis dulang tersebut jarang ditemui.
- Makanan yang tersaji di setiap dulang boleh dikonsumsi empat orang dengan cara makan yang sudah diatur secara adat. Ruang makan undangan pria dan perempuan terpisah. Para pria makan di bangsal yang sudah ditetapkan, sedangkan kaum perempuan makan di dalam rumah. Seusai pengantin makan siang, mereka yang makan di dalam rumah biasanya kebagian diberi nasi pulut dan ayam panggang dari para pekhatam Alquran.
- Usai mengator (melayani) para undang makan, para pengator (tukang angkat dulang) ditugaskan mengantarkan setiap dulang berisi makanan ke rumah: Mak Inang, Mak Panggong, Pengulu Gawai, Tukang Tanak, Tukang Kaut beras, Dukun Kampong, meskipun semua mereka sudah makan siang di acara gawai.
- Usai para tamu makan, para Tukang Ngator Dulang membawa piring kotornya ke Tukang Bebason, termasuk membersihkan remah sampah makanan yang tercecer di bangsal telasar dan bangsal blandong, termasuk bangsal biak kecik.
- Biasanya para tamu yang datang ke kundangan gawai selalu melambatkan diri untuk pulang sebab acara kundangan merupakan ajang pertemuan buat berkelakar, begalor, serta bersilaturahmi. Tak jarang keluarga jauh yang datang dapat berjumpa dan berkumpul di acara gawai ini. Kumpul ini hingga ke jelang sore.
- Â
- Selepas pengantin besanding sebelum makan siang, diadakan tradisi "Bejamu". Tradisi ini merupakan acara yang tak mungkin ditinggalkan karena di tradisi ini pihak keluarga pengantin pria dan pihak keluarga pengantin perempuan berkumpul secara khusus (jamuan khusus). Jamuan ini sejak dari masa lampau hanya bersuguhkan makanan ringan berbagai "jaja' kering" tradisional Belitong misal kue rintak, bolu rendang, tapal sepit, sempret, kembang guyang, dan lainnya. Makanan ringan ini adalah sambilan atau cemilan seraya berkelakar agar kedua keluarga besar dapat saling akrab berbincang. Namun acara bejamu bisa ditunda malamnya, atau esok harinya tergantung kesepakatan dari tuan rumah.
- Â Di beberapa tempat di Belitong, tradisi begawai lepas tengah hari sesudah makan dan penganten besanding, ada yang langsung mengadakan tradisi "Bejamu", terus lepas Asyar langsung "Mandi Besimbor", misalnya sekitar wilayah Kelapa Kampit Belitong. Sedang di wilayah lainnya mengadakan acara bejamu itu di malam hari, sesudah itu membacakan "Asrakal" dengan kembang tujuh macam buat mandi penganten di tradisi "Mandi Besimbor" esok paginya. Â Jika membaca asrakal saja biasanya memakai gendang, namun jika disertai "Tala'al" tak memakai gendang hadra tapi dibacakan secara berdiri. Namun secara tradisi masa lampau; membaca "Asrakal" dengan kembang tujuh macam dilakukan selepas sholat maghrib.
- Selepas pengantin makan siang juga selepas zuhur, pengantin bersanding lagi dengan dihibur acara "Berinai". Di tradisi berinai kali ini tidak seperti berinai pada malam pengantin mewarnai kukunya tapi kali ini dihadiri sepasang pengantin duduk bersanding di "kelice" pelaminan dengan dihibur oleh para perinai. Para perinai (pemusik dan penari serta penyenandung tetap semua perempuan) mereka merpertunjukan tarian dan senandung pantun guna mengajak penonton untuk ikut menari bersama mereka.
- Kali ini para lelaki yang menonton boleh ikut menari bersama perinai setelah seorang perinai seraya bersenandung lalu mengalungkan seutas selendang pada leher si lelaki tersebut. Lelaki yang diajak menari mesti pandai melagukan pantun yang akan disahuti atau di jawab oleh si perinai yang mengajaknya tadi.
- Usai menari, lelaki mesti memberikan uang yang ditampung di dalam sebuah mangkok bukor. Para lelaki lain yang ingin berinai biasanya mengantri sampai lelaki yang sedang beraksi menghabiskan uang "sawerannya". Hiburan tradisi berinai ini biasanya beraroma dewasa, dengan pantun bertedensi "malam pertama pengantenan". Namun saat ini acara berinai sudah tak lagi digelar, mungkin para perinai sudah tak ada lagi. Ini hingga jelang Asar.
- Sore hari lepas asar; "Telu' Tamat" dibagikan ke setiap yang menitipkannya. Namun sebelum dibagikan, secara tradisi teluk Tamat mesti dicabut atau diambil dari bokornya pertama oleh dukun atau Mak Inang, Sore. Pembagian Telu' Tamat. Di masa lampau, Jumlah telu' tamat yang dititipkan di tradisi betamat gawai gede biasanya sangat banyak, dari sejumlah anak-anak kampong yang masih belajar mengaji atau membaca Alquran.
- Pembagian Telu' Tamat merupakan peristiwa membahagiakan paling ditunggu anak-anak. Tak jarang telur yang dihias bagus itu, baru dimakan di hari berikutnya karena masih ingin menikmati keindahannya, juga karena tangkai telur yang berupa lidi pelepah kabung itu bakal digunakan sebagai "stik" menunjuk huruf atau surah kalimah di kitab suci Alquran, jadi ada semacam perlakuan khusus agar lidi tersebut tak disiakan secara sembarangan. Anak anak akan lebih bersemangat dan disiplin dengan adanya semacam "mitos" bahwa lidi tersebut dapat menuntun mereka lebih mudah mempelajari bacaan dari kitab suci tersebut.
-        P e s t a   H i b u r a n
- Pesta hiburan dilaksanakan pada malam (Minggu malam). Biasanya di masa lampau, acara hiburan bisa selama tiga hari tiga malam dengan berbagai kesenian berbeda: kesenian Tari Rudat, Betiong, Beripat Beregong (Beripat Rutan diiringi musik yang ada gong; biasanya gendang, kelinang, tawak-tawak, gong, serunai), Besepen atau Tari Sepen, Bekintong, Becampak, Begubang, Belesong Panjang, dan lain sebagainya. Saat ini tentu sudah berubah seiring peradaban yang dinamis, musik modern lebih mendominasi.
Â
- Â
- Â
TRADISI SESUDAH BEGAWAI
- Mandi Besimbor. Sebelum acara mandi besimbor, para perempuan baya, dipimpin oleh Mak Inang membaca "Surah Maulid" buat mengantarkan mandi penganten. Tempat mandi besimbor biasanya di telasar  Mak Panggong. Dengan sarana dan perlengkapan yang sudah disediakan.
- Prosesi Mandi Besimbor:
- Dukun Kampong mengawali dengan membasahi ubun-ubun, bahu, lutut dan kedua kaki kedua mempelai dengan tepong tawar menggunakan daun neruse. Kemudian dilanjutkan pembasahan tersebut oleh kedua orangtua, penghulu agama, dan juga Mak Inang.
- Menyiramkan air Doa Asrakal dengan tujuh macam kembang (Bermakna agar pengantin suci dan wangi bagai bunga, di kehidupan keluarganya nanti) air bunga disiramkam di kepala dengan ditudungi kain putih atau direntangkan di atas kepala pengantin, juga di atas kain itu dipecahkan seludang (mayang kelapa atau pinang, penanda bahwa pengantin bukan perjaka dan perawan)
- Kemudian Mak Inang memandikan pengantin (mengajari mandi suci atau berjunub).
- Pengantin melangkahi 7(tujuh) lembar benang disatukan sebanyak 3 (tiga) kali; (Benang sepanjang 30 meter  dilipat menjadi 7  lapis dengan ujungnya disimpulkan dan benang itu dipegang dua orang) Dari 7 lipatan benang; 3 benang itu dilingkarkan melingkari kedua kaki penganten, lalu dilangkahi pengantin tiga kali secara mundur maju. Berikutnya 4 liptan benang lainnya di tempatkan di dada pengantin dengan masih melingkari badannya, lalu benang itu diputuskan oleh pengantin dengan api lilin yang sebelumnya sudah disiapkan.
- Benang yang diputuskan dengan api lilin; jelang benang hampir putus, lilin mesti dipadamkan oleh pengantin dengan semburan air yang dikulum oleh mulut mereka. Di belakang api lilin diletakkan sebilah cermin.
- Pengantin berebut menginjak telur ayam yang di letakkan di muka pintu masuk rumah.
- Setelah menginjak telur, Pengantin berlari ke dalam rumah, berebut membuka pintu kamar pengantin atau menyibakan tirainya.
- Setelah pengantin masuk kamar, mandi besimbor pun dimulai. Biasanya dimulai oleh Mak Inang menyimborkan air ke dekat orang disekitarnya terutama para bujang dan dayang, konon air siraman Mak Inang bisa membawa berkah untuk lekas berjodoh, lalu diikuti para penyiram lain yang saling menyirami dengan "menyimborkan" air ke setiap orang agar basah). Tak seorang pun boleh marah kena siraman air di acara ini. Tak jarang air yang digunakan oleh peserta bermacam air, misal Tukang Bebason menggunakan "aik rima" (air sisa mencuci piring), Tukang Tanak menggunakan "aik kerak" (sisa air untuk mencuci kawah atau kuali). Acara mandi besimbor akan dihentikan oleh penggulu gawai setelah para lebai dan dukun kampong bersiap menutup gawai.
- Penutup Gawai: mace doa syukur penutup gawai (kundangan) Acara masih diarahkan oleh pengulu gawai untuk dipimpin dukun kampong membacakan doa syukur telah berlangsungnya gawai. Pengulu Gawai meminta izin dukun kampong "menyemulekan" (membubarkan) para tukang dan pegawainya. Maka sesudah penutup gawai ini, tuan rumah akan memberikan "pekeras" tanda (terima kasih; biasanya berupa besar, gula, garam, asam, dan lainnya) kepada para perangkat gawai; Pengulu Gawai, Mak Inang, Mak Panggong, Tukang Tanak, Tukang Kaut beras, serta lainnya.
- Ngerabaikan Bangsal: Setelah selesai acara "menutup gawai", bangsal, telasar, serta lainnya segera dirubuhkan secara gotong royong, untuk penanda bangsal dirubuhkan terlebih dulu penganten pria yang menetak atau memotong rotan pengikat bangsal, sesudah itu baru bangsal secara gotong royong dirubuhkan.
- Â
- Penganten Beranju': Istilah di tradisi ini diberikan untuk pengantin perempuan yang bakal besanding bersama suaminya di acara gawai di rumah pengantin pria, lalu menginap beberapa malam. Acara gawainya hampir sama hanya lebih singkat. "Beselamat Gawai" biasanya dibuka sore sabtu, sedang mendirikan bangsal tentu beberapa hari sebelumnya. Perangkat gawai juga dibentuk (Pengulu gawai, Mak Inang, serta Mak panggong, semua pegawai).
- Pagi minggu, jelang siang, ketika perkiraan di rumah orangtua penganten pria sudah membaca "Surat" (istilah untuk membaca syair barzanji atau marhaban) sepasang pengantin ini diarak menuju gawai di rumah orangtua pengantin pria. Dua pengantin ini ditandu diiringi rombongan, di arakan ini takkan ada lagi tradisi pengantin diambat atau "berebut lawang".
- Pihak rombongan pengantin perempuan biasanya membawa "jaja' beranjuk" (berbekal kue lezat seperti bolu dan lainnya). Mereka dipimpin ketua rombongan (pihak yang ditunjuk oleh tuan rumah sebagai juru bicara mengantarkan pengantin "besanding beranjuk") dan mereka bakal disambut oleh "Tukang Sambut Penganten" dari tuan rumah dari orangtua pengantin pria.
- Â Tradisi penyambutan ini berlangsung secara adat; Yang menyodorkan tipak sirih pinang bukan lagi kepala rombongan tapi pengantin perempuan yang menyodorkan ke mertuanya seraya berkata "ini Mak, makan sirih" (ke Ibu suaminya, ini memaknai bahwa ia sudah menjadi "anak" dari Ibu suaminya) Setelah itu penganten disandingkan di "kelece" diantarkan oleh para pengarak atau pemain gendang hadra.
- Selesai pengantin besanding, tak ada lagi nasehat Pengulu Gawai serta dari "ketua pengarak" dengan pantunnya sebagaimana acara di rumah pengantin perempuan sebelumnya, dan rombongan pengarak langsung berehat.
- Usai penyambutan terus membaca "due selamat" selepas itu acara makan siang bersama, selepas makan, para hadirin menyalami pengantin yang bersanding.
- Selepas para tamu kundangan pulang, pihak keluarga pengantin perempuan dan pihak keluarga pengantin pria berkumpul layaknya satu keluarga sembari memakan "jaja' beranjuk" kue bawaan serta kue dari pihak tuan rumah, selepas ini mereka pamit, tetapi sebelumnya, kepala rombongan atau juru bicara; "menitipkan penganten perempuan" di rumah menantunya ini.
- Malamnya, acara kesenian untuk hiburan penduduk setempat, sebagai perayaan menandai beranjuknya pengantin perempuan, biasanya hanya berlangsung satu malam.
- Mulangkan Runut: (Pengantin perempuan diantarkan pulang ke rumahnya) setelah menginap atau beranjuk dua hari di rumah penganten pria. Mulangkan runut diambil dari istilah; pulang dengan merunut atau mengikuti jalan yang pernah mereka lalui ketika "beranjuk".
Acara mulangkan runut, tidak lagi dengan rombongan tapi hanya antar keluar terdekat saja. Mulangkan Runut merupakan penanda akhir dari semua acara gawai dan awal dari hidup baru bagi pengantin serta tersambungnya dua keluarga besar pihak pengantin.
- Â Penganten nyemba: Ini adalah adat kunjungan ke rumah sanak pamili dari kedua mempelai terutama kepada para sepuh. Tradisi silaturahmi ini guna mengenalkan diri secara lebih intensif
- S e k i l a s  T i n j a u a n
    Rangkaian prosesi tradisi adat pernikahan di atas sering disebut acara begawai. Namun ada juga yang mengartikan bahwa acara begawai sebenarnya adalah sebutan untuk acara perayaan pestanya saja. Ada pula yang mengatakan bahwa acara begawai baru terjadi ketika tradisi pemutusan paham selesai, lalu rangkaian tradisi adat pernikahan itu dilaksanakan semuanya.
Ada lagi yang mengatakan, jika acara tradisi adatnya tak dilakukan, tapi sesudah akad nikah mengadakan sekedar syukuran pesta selamatan, itu disebut "Gawai Kecik", atau pesta kecil. Namun di saat ini, pengertian gawai kecik hanyalah mengacu pada pelaksanaan pesta sederhana yang terbatas di banding "Gawai Gede" dengan biaya besar.
Tradisi adat pernikahan "Urang Belitong" yang disebut "Begawai" selalu variatif dari masa ke masa; bahwa adat istiadat selalu mengalami perubahan. Dalam pengertian bahwa ada bagian atau pase dari tata cara pelaksanaan yang sudah ditinggalkan, atau kadang tak dilakukan di rukun pelaksanaannya, misalnya masih ada yang melaksanakan "Mandi Besimbor" ada yang tidak. Atau kini sudah tak lagi mengadakan acara "Berinai" di "Persandingan Malam Penganten". Bahkan di fase awal, ketika kedua anak (bujang dayang) sudah diketahui bebiakan (pacaran) maka seringkali fase "Bepaham" ditinggalkan langsung ke fase "Ngantarkan Jajak Gede". Keputusan pelaksanaan prosesi itu berubah seiring masa.
H u k u m  A d a t  B e g a w a i
Hukum adat (adat istiadat) tentang begawai di Belitong yang belaku dari masa lampau ke masa kini, terus mengalami perubahan.
Di bawah ini, bagian dari kutipan Bab IV, Hukum Adat Raje Belitong (Dinasti Kerajaan Balok) tentang pelaksanaan "Begawai". Berlaku pada keluarga raja, namun secara umum sebagian tradisinya ada diikuti masyarakat. Hanya saja di masa kini, sebagian besar sudah tak lagi dilaksanakan.
- KE IV. PERGAWAIAN
JIKALAU DEPATI anak KI AGUS begawai (Makan Besar) mengantenkan anak-cucunya, berkawin atau berkhatam pengajian Quran atau bersunat maka
FATSAL D
- Apabila acara tersebut segera dimulai maka DEPATI memanggil para NGABEHI, DISTRICT, para KURIAH, BATIN, LURAH, para Mandor, para Dukun Kampong di dalam tanah PUSAKA DEPATI. Jika sudah berkumpul maka DEPATI menitahkan kepada mereka supaya dikerjakan dan disempurnakan hajatan sebagaimana adat yang berlaku.
- Para NGABEHI dan PEGAWAI NEGERI mengatur segala pekerjaan tersebut: yaitu memerintahkan hamba rakyat membikin balai-balai segala rupa tempat permainan GONG, KELINANG, GENDANG, DAN LAIN-LAIN.
- Apabila sudah selesai dan tersedia segala perkakas serta tempatnya maka DEPATI segera menetapkan hari pengerjaannya.
- Para NGABEHI dan PEGAWAI NEGERI mengusahakan dan mempersembahkan segala rupa seperti daging rusa basah atau kering, daging kijang, pelanduk, ayam, juga sayur-mayur, termasuk beras cerei dan beras ketan.
- Apabila begawai segera dimulai maka di sore hari pertama DUKON KAMPONG berselamat kampong; sesudah itu dipukulah GONG, KELINANG, dan GENDANG. Juga ditiup SERUNAI di balainya dengan segala rupa tari orang-orang negeri tanda mulai BEGAWAI.
- Para NGABEHI, serta PEGAWAI NEGERI serta hamba Rakyat, dipanggil semua untuk datang berkumpul di BALAI RAJA Ruma Gede dengan disediakan makan minum.
- Apabila penganten pergi mandi, pergi kawin atau pergi bertemu penganten perempuan di rumahnya atau pergi berkhatam atau bersunat, maka harus diarak dengan dibuatkan tempat usungan yang bagus seperti gambaran BURUNG MERAK atau lainnya. Diiringi dengan bunyian serta segala alat perkakas kerajaan, juga dibunyikan meriam LILA dan SENAPAN.
- Apabila Penganten sudah bertemu istrinya atau penganten sudah berkhatam, maka malam pertama BERINAI, serta bergendang biola, bernyanyi pantun dan menari, sesiapa yang datang sukarela menyumbangkan uang ke dalam BOKOR di muka penganten. Pada malam kedua, diadakan BERIPAT RUTAN. Pada malam ketiga membaca SURAT MAULUD NABI; buat mengambl air berkah akan disiram siangnya.
- Apabila penganten mau bersiram maka terlebih dahulu bertimbang; timbangan sudah disediakan menurut ketentuan adat, melilitkan kain kuning sepenuhnya dan kedua penganten didudukan di timbangan dengan di dampingi DEPATI berserta keluarga dan kerabatnya.
Â
Hukum Adat yang dijenangkan Raja terhadap keluarganya, yang tentunya tak semua menjadi tradisi secara umum. Namun isyarat aturan tersebut menandai bahwa adat istiadat perkawinan yang berlaku di Tanah Negeri Belitong memiliki aturan adat yang ritualis terikat.
Dalam tradisi sebelum pernikahan, di masa lampau. Ada adat mengatur keterikatan masalah hukum (sangsi atau denda) tentang hubungan laki-laki dan perempuan. Dalam "Hukum Adat Negeri Belitong" ada bagian yang menegaskannya sebagai berikut:
Ini beberapa ayat dari "Hukum Adat Negeri Belitong" BAB ke V:
- "Ayat 3": Kalau orang MENYUMBANG; lelaki dan perempuan dihukum mati dibuang ke lalut (sepanjang riwarat dimalang DUJA') Sebab ini perbuatan terlalu jahat menjadikan BALA' NEGERI; sakit penyakit segalanya, juga terhadap tanaman padi dan lainnya.
- "Ayat 4": Kalau mengambil bini orang; hukumannya dibunuh atau digalangkan.
- "Ayat 8": Kalau mengawini anak perempuan orang, mesti membayar isi kawin dan Tetukun, atau uang sebagaimana biasa keturunannya
- "Ayat 9": Jikalau orang asing mengawini perempuan Belitong mesti membayar tetukun kepada DEPATI atau NGABEHI, perempuannya tak boleh dibawa keluar dari Belitong.
Melihat ketegasan ayat itu, tentu pada masa lampau (masa kerajaan) orang takkan sembarangan bertindak sembarangan. Jadi dalam hal Tradidi "Bebiakan" mestilah berhati-hati sekali.
------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Disusun oleh Ian Sancin.
 Pengumpul data:  Ian Sancin, Merwan Vinobi, Galuh Bebute.
Â
Sumber Data penelitian tahun 2015-2016:
Mak Baina (Khatijah) 74 Th. Mantan Mak Inang. Tanjongpandan, Belitong Barat.
Mak Jana, 70 Th. Mantan Mak Inang. Sungai Padang. Belitong Utara.
Mak Ana (Rohana). 72 Th. Mak Inang Gantong. Belitung Timur.
Fadli. 53 Th. Pengulu Gawai. Badau. Belitong Barat.
Mat Said. 76. Mantan Lurah Sungai Padang 1967-1980, (di masa Kenegerian Tanjongpandan)
Zainah. 74 Th. Mantan Penganten Perempuan 1959. Tanjongpandan.
Halidjah. 82 Th. Mantan Penganten Perempuan 1950. Manggar.
Zainudin (Kulup) Dukun Adat Perpat. 62 Th. Membalong. Belitong Selatan.
Jamal Satar. 65 Th. Pengulu Gawai. Selat Nasik. Mendanau.
Basri Ahad. 75 Th. Pengulu Gawai. Tanjungpandan.
Janong. 66 Th. Seniman Pantun. Ketua PANBEL (Pantun Berebut Lawang; Komunitas pemantun acara berebut lawang) Tanjongpandan.
Suyon. 48 Th. Ketua Sanggar Pelandok Laki. Tanjongpandan
Maharan. 67 Th. Seniman Pantun. Badau.
Dulhani Ajim (Kik Canok) 87 Th. Mantan Penghulu Nikah, Aik Lanun. Tanjong Kelumpang. Belitong Tenggara.
Mak Nong, 64 Th, Mak Panggong Pangkal Lalang. Tanjungpandan.
Sahadin (umur tak diketahui) Turunan Syech Hatamu Abu Yakob. Kampung Baru Tanjong Kelayang.
Ki Agus Haji Abdul Hamid, Tambo, 1934.
Belitong, Â Pebruari -- Maret 2015
_______________________
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI