Mohon tunggu...
ian sancin
ian sancin Mohon Tunggu... Novelis - Seniman

Penulis Novel Sejarah Yin Galema.

Selanjutnya

Tutup

Bandung

Menggalorkan Tradisi Lisan Bangka Belitong

11 November 2023   11:03 Diperbarui: 11 November 2023   11:29 226
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bandung. Sumber ilustrasi: via KOMPAS.com/Rio Kuswandi

Tradisi Budaya Bangka Belitung masihlah bertahan dari masa ke masa. Karena memiliki wilayah hukum adat pokok bukan sub adat.  J.W.M Bakker SJ, menuliskan kembali dalam "Filsafat Kebudayaan"  pada halaman 91 hingga 93, itu tentang "19 wilayah Hukum Adat Pokok di Nusantara yang memiliki struktur budaya mantab melalui zaman sampai ambang waktu sekarang, tidak lenyap oleh peradaban import". Dan wilayah Bangka dan Belitung tercatat dalam wilayah Hukum Adat ke 7 dari 19 wilayah hukum adat pokok tersebut.

Hukum Adat Pokok tersebut menandai bahwa Bangka Belitung memiliki ciri budaya tersendiri yang khas dalam aturannya termasuk tradisinya. Hukum adat mengenai tradisi telah melekat menjadi kearifan lokal, baik berkait pada alam, hubungan sosial, juga produk budaya. Kaitan tersebut dalam kebudayaannya tentu juga termasuk perihal "tradisi lisan".

Tradisi lisan menjadi pokok budaya yang tak terpisahkan dalam berbagai kelompok masyarakat (komunitas) di Bangka Belitung, menjadi menanda (tanda) atau identitas dari budaya lokal yang masih ada. Itu tentulah mesti dilestarikan mengingat bahwa dinamika kebudayaan tak mungkin dihindari yang dapat mengenyampingkan berbagai tradisi lisan yang ada bahkan menghilangkannya.

Apa pentingnya tradisi tradisi lisan. Ia sebagai menanda atau identitas sebuah komunitas. Sebab tradisi lisan merupakan penyampai "tanda tanda" secara lisan atau bunyian, kepada orang lain, makhluk tertentu, Tuhan, yang mentradisi serta memiliki keunikannya masing masing.

"Tanda tanda" tersebut adalah manipestasi dari perasaan dan pikiran dari pelaku tradisi lisan yang terdalam (batin) serta mulia (memiliki nilai luhur). Tanda tanda terdalam dan mulia tersebut terangkum dalam sebuah ungkapan atau rangkaian bunyian, atau kalimat yang mewujud dalam komunikasi, pemujaan, rasa terima kasih atau sikap tahu diri. Semua "tanda tanda" itu hanya dapat dirasakan secara empiris atau pengalaman antara pelaku dan pendengarnya.

Pelaku dan pendengar akan terhubung melalui bahasa. Umumnya tradisi lisan menggunakan bahasa Ibu, bahasa Melayu, bahasa Indonesia.

R a g a m      T r a d i s i    L i s a n 

Tradisi  Lisan Berkait sastra:

  • Meandai andai: Tradisi melisankan "andai andai" (cerita dongeng juga cerita rakyat) terdapat di masyarakat Suku Jerieng Bangka Barat. Andai andai sering dilakukan sebagai pengantar tidur, juga dalam kumpul keluarga.
  •  
  • Besyair: Adalah kegiatan melisankan syair dengn mendendangkannya. Nampaknya ini di Bangka Belitung sudah jarang terdengar. Besyair merupakan kegiatan individu kala sendirian baik seraya melakukan pekerjaan atau ketika beristirat. Syair yang dilisankan pada tergantung suasana hati si pesyairnya. Misal syair suasana hati yang gundah:

  • Wahai bulan bercahaya
  • hamba hanyalah sahaya
  • menanti dayangku bila kah bersua
  • agar ati hamba tak galau merana
  • wahai bulan sampaikan segera
  • kepada dayangku entah di mana....
  • Dan seterusnya...

  • Bepantun: Melisankan pantun biasanya secara perorangan atau bisa berkelompok. Tradisi berpantun seringkali sebagai pembuka atau penutup sebuah acara adat seperti melamar calon mempelai pengantin serta berbagai acara budaya lainnya. Namun saat ini acara acara resmi di pemerintahan Bangka Belitung sejak tahun 2000 mulai ditradisikan menggunakan berpantun. Melisankan pantun tentunya sudah memasyarakat; pantun sebagai media hiburan, komunikasi, menjadi perihal biasa dalam keseseharian di Bangka Belitung.

  • Becerite atau Bercerita. Melisankan cerita rakyat merupakan bagian tradisi lokal yang sudah umum dari masa ke masa oleh orang Bangka Belitung. Tentu saja tradisi lisan ini banyak dilakukan ketika budaya tulis belum menjadi dominan di Bangka Belitung. Misalnya cerita rakyat "Raja Berekor" dari Belitung dituliskan mulai 7 Maret 1875. Sepengetahuan yang ada, ini merupakan teks cerita rakyat pertama dituliskan di Bangka Belitung, menggunakan huruf "Arab Melayu". Ragam Cerita Rakyat di Bangka Belitung tentunya ada di tiap tiap komunitas lokal masing masing masyarakat di tiap  kampung. Tentunya sebelum cerita itu ditulis maka ia masih dilisankan secara tradisi oleh masyarakatnya. Biasanya tak banyak orang yang hapal cerita cerita rakyat yang ada. Jika tak segera didokumentasikan tentunya lambat laun akan lenyap. Upaya melestarikan cerita rakyat bisa dalam bentuk teks, acara acara pentas budaya, serta tentu juga sebagai materi pelajaran sastra di sekolah sekolah.

Tradisi Lisan Berkait Ritual:

  • Memantrai: Melisankan mantra (mantra merupakan rapalan, atau ayat tertentu dipercaya memiliki kekuatan gaib). Memantrai merupakan aktifitas ritual bersifat kebatinan dari seseorang untuk tujuan tertentu. Bermacam mantra di antaranya; mantra penglaris agar dagangan laris, mantra pengasih agar timbul cinta kasih, mantra penguat agar percaya diri karena ada kekuatan, mantra penunduk agar lawan atau saingan menjadi tunduk dan dikuasai, mantra penderas agar bisa jalan secepatnya, mantra pengusir antu, mantra pengusir hewan buas, mantra guna guna ( rasa pembenci, rasa penyayang) mantra santet (membuat orang celaka) dan berbagai mantra lainnya. 

  • Menjampik: Melisankan jampian (berupa rapalan lisan dari seorang dukun pengobatan) guna menyembuhkan seseorang dari sakit. Jampik jampik penyembuh secara umum misalnya: jampik ketulang, jampik sakit gigi, jampik kesambet (tekena), jampik sakit perut, jampik penguat semangat, dan berbagai jampik lainnya. Bahasa yang digunakan adalah bahasa tertentu  hanya sang dukun sendiri yang paham.

  • Menyucah: melisankan cucah (cucah semacam rapalan tertentu bersifat pribadi agar urusannya dimudahkan ). Misalnya 1, melisankan cucahan atau mengucapkan secara hikmat kata kata hormat kepada yang tak nampak di suatu pemukiman, dengan maksud agar pemilik atau penunggunya berkenan. 2, menyucahkan atau mengucapkan kepada benda benda tertentu agar benda tersebut tak diragukan untuk digunakan atau dipakai agar ia membawa berkah; misal melayarkan perahu, menggunakan parang, memasang bubu, dan lain sebagainya.

Betare. Melisankan atau mengungkapkan keinginan tertentu agar diizinkan. Tradisi ini umumnya ada di Belitung, yaitu sikap tahu diri atau rasa hormat seseorang ditujukan kepada seorang dituakan atau memiliki kewenangan yang berdaulat melindungi lingkup lingkungan wilayahnya, misal kepala keluarga atau sesepuh keluarga, ketua adat atau dukun kampong, kepala kampong atau kepala suku, juga kepala negeri atau raja. Tradisi itu dilakukan ketika seseorang meminta izin atau restu guna untuk melakukan kegiatan ritual, izin memasuki atau meninggalkan wilayah, ataupun hal penting lainnya. Mengapa kepada seorang yang "dituakan", betare beasal dari kata batara (sebutan untuk Maha Pencipta). Betare adalah sebuah sebuah proses untuk menghargai sang Maha Pencipta agar restu didapatkan.Biasanya seorang awam akan mewakilkan niatnya kepada orang orang tua yang paham mengenai "betare". Betare menjadi tradisi lisan agar hubungan kemuliaan  terjadi antar  generasi muda ke yang tua, antar sesame, antar alam, antar Tuhan.

 

Tradisi Lisan Berkait Sejarah:

  • Begalor. Melisankan galoran berisi tentang alur silsilah dan sejarah keluarga di masyarakat Belitong. Teks begalor mulai dituliskan tahun 1852 isinya tentang silsilah dan sejarah keluarga Raja Belitong.

1, Begalor merupakan sikap menghargai leluhur melalui tradisi tutur atau menceritakan atau menggalorkan asal usul seseorang berkait dengan silsilah keturunan; dalam begalor tertuang kisah atau cerita masa lalu berkait riwayat seseorang; tentunya juga berkait dengan  sejarah, bahkan tentang romantika  atau suka duka kehidupan.

  • * Galoran (bahasa lokal Belitong) kata dasarnya galor berasal dari "alor" atau alur  berarti  "jalan yang benar atau pasti". Galoran adalah tradisi meng-alorkan atau meng-alurkan  secara bercerita atau bertutur   turun temurun (tradisi lisan) mengenai silsilah dan sejarah keluarga (leluhur). Seorang penutur atau pengalor atau "pegalor" dalam keturunan raja wajib menurun-tuturkan galoran kepada pegalor berikutnya yang akan disampaikan dalam "pegaloran". "Pegaloran" adalah anggota " perenggu"  (keluarga besar yg saling  terkait darah)  berhak untuk mengetahui silsilah dan sejarah keluarga dari masa ke masa yang diceritakan atau dituturkan oleh Pegalor. Dalam keluarga turunan Raja Balok Belitong misalnya, Pegalor sangat penting dihadirkan dari masa ke masa dengan tujuan baik semasa kerajaan masih ada atau sesudah itu (tiada lagi kerajaan) semasa kerajaan di masa lampau pegalor menjadi periwayat  "sajarah" (tentang silsilah serta peristiwa yang melingkupinya) agar setiap generasi (raja dan keluarga) memiliki kekuatan atau semangat memerdayakan diri untuk negeri. Semasa kini kerajaan sudah tak ada,  maka pegalor memilki fungsi sebagai pemotivasi agar  generasi yang tersebar dari turunan tersebut tak melupakan leluhurnya sehingga setiap anggota keluarga dalam "pegaloran"  memiliki jati diri sebagai manusia berbudi. Galoran merupakan sejarah lisan sebaiknya bersisian dengan sejarah tulisan sehingga akan kuat benang merahnya.

  • 2, Begalor pada masa ini adalah kelakar atau berkisah, atau bercerita secara bersama dalam pertemuan yang membincangkan kisah kisah lama.

Tradisi Lisan Berkait Teater : 

  • Demulok: Melisankan cerita sandiwara panggung atau teater lokal yang lebih menggunakan bahasa lokal dalam melisankannya. Tradisi lisan dalam kisah atau cerita yang dikisahkan adalah seputar kisah seputaran bangsawan atau keluarga raja maka tokoh tokoh dalam demulok adalah karakter yang harus ada meski kisahnya berbeda. Demulok berasal dari kata Abdul Muluk, karya syair dari Raja Ali Haji tahun 1847.

  • Tunel atau Tonil; merupakan sandiwara pentas acaranya bisa di panggung atau di arena atau lapangan terbuka. Kisah dalam tonil cenderung melisankan kisah kisah kehidupan sehari hari dari rakyat kebanyakan. Maka sandiwara tonil bertolak belakang dengan demulok yang bercerita tentang kaum bangsawan. Cerita dalam tonil tidak memiliki pakem atau model seperti demulok baik sebagai pusat pengisahan atau karakternya. Karena tak ada pakemnya tradisi lisan dalam tonil tak lagi eksis keberadaannya.


  • Berebut lawang: Tradisi lisan dalam lakon yang spontan, dihadirkan saat menyambut  dengan menghambat dan memperlambat mempelai pengantin laki laki ketika hendak masuk ke lingkungan keluarga pengantin perempuan. Tradisi berebut lawang di Belitong awalnya belumlah memakai pantun sebagai bahan tradisi lisannya. Berpantun baru mulai akhir tahun 1970-an. Tradisi lisan dalam berebut lawang adalah perdebatan antara ketua rombongan pihak laki laki dengan ketua rombongan pihak mempelai perempuan. Tradisi ini memiliki pakemnya antara lain pelakon atau tokoh perdebatan dilakonkan oleh ketua rombongan pengantin mempelai laki laki guna memasuki atau menembus tiga lawang (di pintu pagar berhadapan dengan tukang tanak nasi, di pintu pintu rumah berhadapan dengan pengulu gawai, dan di pintu kamar berhadapan dengan Mak Inang)

Tradisi Lisan Berkait Musik:

  • Becampak Darat: melisankan pantun secara berirama seraya menari (becampak) dengan bahasa "urang darat" diiringi dengan gendang atau alat musik lainnya. Urang darat adalah pemukin di kampong kampong tradisional yang ada di Bangka Belitong. Tradisi ini sering dihadirkan saat syukuran panen padi.
  •  
  • Becampak Laut: melisankan pantun, syair dalam irama seraya menari (becampak) dengan bahasa "urang laut" umumnya suku sawang atau sekak. Masa lampau tradisi ini dilakukan kala bulan terang saat mereka berkumpul dan tak melaut.
  •  
  •  
  • Becampak Dalung atau Bedalung: melisankan pantun atau syair secara menari (becampak) namun dilakukan hingga dalu atau dalung (larut malam)
  •  
  • Bedaek: melisankan pantun dalam bentuk nyanyian diiringi gendang atau alat musik lainnya. Bedaek mirip besyair. Secara tradisi dilakukan secara perorangan melantunkan tentang kegalauan hati terhadap alam, orang, dan yang maha gaib.
  •  
  •  
  • Bestambul (Stambul Fajar): melisakan syair syair lagu diiringi beragam alat musik seperti biola, gitar, gendang dan lain sebagainya, iramanya mirip kerongcong namun iramanya beda dari keroncong kebanyakan. Tradisi lisan stambul fajar saat ini baru diketahui ada di Kampong Suak Gual Pulau Mendanau, Kecamatan Selat Nasik, Belitung.
  •  
  • Membloncong  (Bloncong); Kegiatan becampak dengan hanya menggunakan gendang oleh suku laut, acara ini dilakukan sampai pagi. Umumnya hanya menggunakan alat penerangan sedernaha berupa obor. Melisankan pantun dengan berbalas - balasan guna menarik pasangan atau lawan jenis. Pada masa Hindia Belanda, kegiatan ini dilarang dilakukan secara umum. Saat ini sudah tak ada. Catatan tentang bloncong ditulis oleh KA Abdul Hamid dalam Tambo, tahun 1932.
  •  
  • Begubang; melisankan pantun dengan nyanyian diringi gendang, dilakukan oleh penari campak perempuan guna mengajak penari laki laki untuk menari dengannya. Penari lelaki tak perlu berpantun tapi cukup menggigit ulang gubang logam di mulutnya. Seraya menari perempuan hanya boleh mengambil uang gubang tersebut hanya dengan giginya saja. Sama dengan Bloncong nasibnya dilarang pada masa Hindia Belanda. Saat ini sudah tak ada.
  •  
  •  
  • Betiong: Tradisi melisankan pantun dilakukan hanya oleh laki laki saja. Umumnya dilakukan di rumah gawai pihak perempuan selama  tujuh malam guna meramaikan atau mengibur penduduk yang ikut merayakan begawai. Betiong juga hanya diiringi beberapa gendang. Berbalas pantun dalam betiong mestilah menirukan atau meniongkan isi bait terakhir dari pantun lawan, misal:
  •  
  • Sudahlah lama tidak ke pekan
  • Sekali ke pekan membeli baju
  • Kalau lah sidak hendak makan
  • Janganlah ragu ayolah maju...

  • Maka jawabannya:

  • Janganlah ragu ayolah maju
  • Makan sepinggan kenyang sekali
  • Bejalan pun tidaklah laju
  • Pinggannya besar macam kuali...      
  •  
  •  
  • Berinai: Tradisi melisankan pantun yang dinyanyikan hanya oleh seorang perempuan seraya menabuh sebuah gendang. Penarinya berpasangan hanya sesama perempuan guna menghibur mempelai pengantin perempuan di saat ia memasang inai (pacar) yaitu pewarna di kuku sang mempelai. Berinai hanya dilakukan sekali semalam saat pengantin memasang inai saja. Pengantin perempuan akan ikut menari seraya "memamerkan" jari jarinya yang sudah "berinai".
  •  
  • Begambus: Melisankan syair dengan menyanyikannya diiringi petikan alat musik gambus. Gambus (bahasa lokal Belitong) tak hanya dimainkan sendiri namun bisa kelompok dengan ragam alat musiknya.
  •  
  •  
  • Bedambus: berasal dari kata Dambus) Sama dengan begambus bisa dimainkan secara solo atau kelompok. Namun bedambus ada juga yang diramaikan dengan tarian.

Bergesernya Pola Tradisional  ke Virtual

Dinamika kebudayaan terus berkembang. Teknologi virtual memungkinkan untuk memudahkan mendokumentasikan berbagai kegiatan tradisi lisan yang masih ada lewat rekaman video dan film. Hanya saja bentuk dokumentasi sebaiknya dilihat dari bentukan wujudnya, misalnya apakah isinya direkayasa  atau wujud  "original".

Adat tradisi lisan tentulah melingkupi segala aturan tak tertulis (adat) yang sudah ada sejak lama dan terus mengalir secara alamiah. Misalnya terhadap kegiatan tradisi bermain gambus/dambus secara sendirian yang alamiah keseharian tentulah berbeda ketika bermain gambus/dambus untuk sebuah acara pentas.

Tradisi Lisan di kampung dan di kota tentulah berbeda. Tradisi lisan yang asli tradisinya biasanya masih terdapat di lokasinya bersumber. Sedangkan jika sudah bermigrasi ke tempat lain maka tradisi lisan tersebut hanyalah bentuk peniruan saja.

                                    ________________________________________ 10 Nopember 2023

Daftar Pustaka

Bakker, J.W.M. Filsafat Kebudayaan. Kanisius 1984.

Groot de Corn. Herinneringen Aan Blitong. (Den Haag, 1887)

Hamid, Abdul, Hadji, Kiai Agus. Tambo Sejarah Depati Cakraningrat. 1934.

Ian Sancin. Menata Tradisi Negeri "Serumpun Sebalai".  (Makalah 2018)

Orberger, R. Sejarah Ringkas Pulau Belitung. Perusahaan Tambang Timah Belitung. 1962.

Prof. Dr. Djoko Marihandono, Dkk. Sejarah Bangka Belitung jilid 2. 2019.

Sinar, Luckman, Tengku. Jatidiri Melayu. Medan, 1994.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bandung Selengkapnya
Lihat Bandung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun