Tradisi Lisan Berkait Sejarah:
- Begalor. Melisankan galoran berisi tentang alur silsilah dan sejarah keluarga di masyarakat Belitong. Teks begalor mulai dituliskan tahun 1852 isinya tentang silsilah dan sejarah keluarga Raja Belitong.
1, Begalor merupakan sikap menghargai leluhur melalui tradisi tutur atau menceritakan atau menggalorkan asal usul seseorang berkait dengan silsilah keturunan; dalam begalor tertuang kisah atau cerita masa lalu berkait riwayat seseorang; tentunya juga berkait dengan  sejarah, bahkan tentang romantika  atau suka duka kehidupan.
- * Galoran (bahasa lokal Belitong) kata dasarnya galor berasal dari "alor" atau alur  berarti  "jalan yang benar atau pasti". Galoran adalah tradisi meng-alorkan atau meng-alurkan  secara bercerita atau bertutur  turun temurun (tradisi lisan) mengenai silsilah dan sejarah keluarga (leluhur). Seorang penutur atau pengalor atau "pegalor" dalam keturunan raja wajib menurun-tuturkan galoran kepada pegalor berikutnya yang akan disampaikan dalam "pegaloran". "Pegaloran" adalah anggota " perenggu"  (keluarga besar yg saling  terkait darah)  berhak untuk mengetahui silsilah dan sejarah keluarga dari masa ke masa yang diceritakan atau dituturkan oleh Pegalor. Dalam keluarga turunan Raja Balok Belitong misalnya, Pegalor sangat penting dihadirkan dari masa ke masa dengan tujuan baik semasa kerajaan masih ada atau sesudah itu (tiada lagi kerajaan) semasa kerajaan di masa lampau pegalor menjadi periwayat  "sajarah" (tentang silsilah serta peristiwa yang melingkupinya) agar setiap generasi (raja dan keluarga) memiliki kekuatan atau semangat memerdayakan diri untuk negeri. Semasa kini kerajaan sudah tak ada,  maka pegalor memilki fungsi sebagai pemotivasi agar  generasi yang tersebar dari turunan tersebut tak melupakan leluhurnya sehingga setiap anggota keluarga dalam "pegaloran"  memiliki jati diri sebagai manusia berbudi. Galoran merupakan sejarah lisan sebaiknya bersisian dengan sejarah tulisan sehingga akan kuat benang merahnya.
- 2, Begalor pada masa ini adalah kelakar atau berkisah, atau bercerita secara bersama dalam pertemuan yang membincangkan kisah kisah lama.
Tradisi Lisan Berkait Teater :Â
- Demulok: Melisankan cerita sandiwara panggung atau teater lokal yang lebih menggunakan bahasa lokal dalam melisankannya. Tradisi lisan dalam kisah atau cerita yang dikisahkan adalah seputar kisah seputaran bangsawan atau keluarga raja maka tokoh tokoh dalam demulok adalah karakter yang harus ada meski kisahnya berbeda. Demulok berasal dari kata Abdul Muluk, karya syair dari Raja Ali Haji tahun 1847.
- Tunel atau Tonil; merupakan sandiwara pentas acaranya bisa di panggung atau di arena atau lapangan terbuka. Kisah dalam tonil cenderung melisankan kisah kisah kehidupan sehari hari dari rakyat kebanyakan. Maka sandiwara tonil bertolak belakang dengan demulok yang bercerita tentang kaum bangsawan. Cerita dalam tonil tidak memiliki pakem atau model seperti demulok baik sebagai pusat pengisahan atau karakternya. Karena tak ada pakemnya tradisi lisan dalam tonil tak lagi eksis keberadaannya.
- Berebut lawang: Tradisi lisan dalam lakon yang spontan, dihadirkan saat menyambut  dengan menghambat dan memperlambat mempelai pengantin laki laki ketika hendak masuk ke lingkungan keluarga pengantin perempuan. Tradisi berebut lawang di Belitong awalnya belumlah memakai pantun sebagai bahan tradisi lisannya. Berpantun baru mulai akhir tahun 1970-an. Tradisi lisan dalam berebut lawang adalah perdebatan antara ketua rombongan pihak laki laki dengan ketua rombongan pihak mempelai perempuan. Tradisi ini memiliki pakemnya antara lain pelakon atau tokoh perdebatan dilakonkan oleh ketua rombongan pengantin mempelai laki laki guna memasuki atau menembus tiga lawang (di pintu pagar berhadapan dengan tukang tanak nasi, di pintu pintu rumah berhadapan dengan pengulu gawai, dan di pintu kamar berhadapan dengan Mak Inang)
Tradisi Lisan Berkait Musik:
- Becampak Darat: melisankan pantun secara berirama seraya menari (becampak) dengan bahasa "urang darat" diiringi dengan gendang atau alat musik lainnya. Urang darat adalah pemukin di kampong kampong tradisional yang ada di Bangka Belitong. Tradisi ini sering dihadirkan saat syukuran panen padi.
- Â
- Becampak Laut: melisankan pantun, syair dalam irama seraya menari (becampak) dengan bahasa "urang laut" umumnya suku sawang atau sekak. Masa lampau tradisi ini dilakukan kala bulan terang saat mereka berkumpul dan tak melaut.
- Â
- Â
- Becampak Dalung atau Bedalung: melisankan pantun atau syair secara menari (becampak) namun dilakukan hingga dalu atau dalung (larut malam)
- Â
- Bedaek: melisankan pantun dalam bentuk nyanyian diiringi gendang atau alat musik lainnya. Bedaek mirip besyair. Secara tradisi dilakukan secara perorangan melantunkan tentang kegalauan hati terhadap alam, orang, dan yang maha gaib.
- Â
- Â
- Bestambul (Stambul Fajar): melisakan syair syair lagu diiringi beragam alat musik seperti biola, gitar, gendang dan lain sebagainya, iramanya mirip kerongcong namun iramanya beda dari keroncong kebanyakan. Tradisi lisan stambul fajar saat ini baru diketahui ada di Kampong Suak Gual Pulau Mendanau, Kecamatan Selat Nasik, Belitung.
- Â
- Membloncong  (Bloncong); Kegiatan becampak dengan hanya menggunakan gendang oleh suku laut, acara ini dilakukan sampai pagi. Umumnya hanya menggunakan alat penerangan sedernaha berupa obor. Melisankan pantun dengan berbalas - balasan guna menarik pasangan atau lawan jenis. Pada masa Hindia Belanda, kegiatan ini dilarang dilakukan secara umum. Saat ini sudah tak ada. Catatan tentang bloncong ditulis oleh KA Abdul Hamid dalam Tambo, tahun 1932.
- Â
- Begubang; melisankan pantun dengan nyanyian diringi gendang, dilakukan oleh penari campak perempuan guna mengajak penari laki laki untuk menari dengannya. Penari lelaki tak perlu berpantun tapi cukup menggigit ulang gubang logam di mulutnya. Seraya menari perempuan hanya boleh mengambil uang gubang tersebut hanya dengan giginya saja. Sama dengan Bloncong nasibnya dilarang pada masa Hindia Belanda. Saat ini sudah tak ada.
- Â
- Â
- Betiong: Tradisi melisankan pantun dilakukan hanya oleh laki laki saja. Umumnya dilakukan di rumah gawai pihak perempuan selama  tujuh malam guna meramaikan atau mengibur penduduk yang ikut merayakan begawai. Betiong juga hanya diiringi beberapa gendang. Berbalas pantun dalam betiong mestilah menirukan atau meniongkan isi bait terakhir dari pantun lawan, misal:
- Â
- Sudahlah lama tidak ke pekan
- Sekali ke pekan membeli baju
- Kalau lah sidak hendak makan
- Janganlah ragu ayolah maju...
- Maka jawabannya:
- Janganlah ragu ayolah maju
- Makan sepinggan kenyang sekali
- Bejalan pun tidaklah laju
- Pinggannya besar macam kuali... Â Â Â
- Â
- Â
- Berinai: Tradisi melisankan pantun yang dinyanyikan hanya oleh seorang perempuan seraya menabuh sebuah gendang. Penarinya berpasangan hanya sesama perempuan guna menghibur mempelai pengantin perempuan di saat ia memasang inai (pacar) yaitu pewarna di kuku sang mempelai. Berinai hanya dilakukan sekali semalam saat pengantin memasang inai saja. Pengantin perempuan akan ikut menari seraya "memamerkan" jari jarinya yang sudah "berinai".
- Â
- Begambus: Melisankan syair dengan menyanyikannya diiringi petikan alat musik gambus. Gambus (bahasa lokal Belitong) tak hanya dimainkan sendiri namun bisa kelompok dengan ragam alat musiknya.
- Â
- Â
- Bedambus: berasal dari kata Dambus) Sama dengan begambus bisa dimainkan secara solo atau kelompok. Namun bedambus ada juga yang diramaikan dengan tarian.
Bergesernya Pola Tradisional  ke Virtual
Dinamika kebudayaan terus berkembang. Teknologi virtual memungkinkan untuk memudahkan mendokumentasikan berbagai kegiatan tradisi lisan yang masih ada lewat rekaman video dan film. Hanya saja bentuk dokumentasi sebaiknya dilihat dari bentukan wujudnya, misalnya apakah isinya direkayasa  atau wujud  "original".
Adat tradisi lisan tentulah melingkupi segala aturan tak tertulis (adat) yang sudah ada sejak lama dan terus mengalir secara alamiah. Misalnya terhadap kegiatan tradisi bermain gambus/dambus secara sendirian yang alamiah keseharian tentulah berbeda ketika bermain gambus/dambus untuk sebuah acara pentas.
Tradisi Lisan di kampung dan di kota tentulah berbeda. Tradisi lisan yang asli tradisinya biasanya masih terdapat di lokasinya bersumber. Sedangkan jika sudah bermigrasi ke tempat lain maka tradisi lisan tersebut hanyalah bentuk peniruan saja.
                  ________________________________________ 10 Nopember 2023
Daftar Pustaka
Bakker, J.W.M. Filsafat Kebudayaan. Kanisius 1984.