Mohon tunggu...
Hardian Mursito
Hardian Mursito Mohon Tunggu... Guru - guru

hardian mursito, hobi : menyenangkan orang lain; topik : Pendidikan

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Keunggulan Sistem Perbankan Syariah (Perbandingan dengan Sistem Konvensional)

20 November 2014   21:12 Diperbarui: 17 Juni 2015   17:17 24829
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bunga

Bagi Hasil

a)Penentuan bunga dibuat pada waktu akad dengan asumsi harus selalu untung.

b)Besarnya bunga adalah suatu persen-tase tertentu terhadap besarnya uang yang dipinjamkan.

c)Besarnya bunga tetap seperti yang dijanjikan tanpa mempertimbang-kan apakah proyek/usaha yang dijalankan oleh nasabah / mudharib untung atau rugi.

d)Eksistensi bunga diragukan (kalau tidak dikecam) oleh semua agama termasuk Islam.

a)Penentuan besarnya nisbah bagi hasil dibuat pada waktu akad dengan berpedoman pada kemungkinan untung-rugi.

b)Besarnya bagi hasil adalah berdasarkan nisbah terhadap besar-nya keuntungan yang diperoleh.

c)Besarnya bagi hasil tergantung pada keuntungan proyek/usaha yang dijalankan. Bila usaha merugi maka kerugian akan ditanggung oleh pemilik dana, kecuali kerugian karena kelalaian, salah urus, atau pelanggaran oleh mudharib.

d)Tidak ada yang meragukan keabsah-an bagi-hasil.

Sumber : Muh. Syafii Antonio (2001),

Sesuai dengan definisi di atas, menyimpan uang di bank syariah termasuk kategori investasi. Besar-kecilnya perolehan kembalian itu tergantung pada hasil usaha yang benar-benar terjadi dan dilakukan bank sebagai pengelola dana. Dengan demikian, bank syariah tidak dapat hanya sekadar menyalurkan uang. Bank syariah harus terus-menerus berusaha meningkatkan return on investment sehingga lebih menarik dan lebih memberikan kepercayaan bagi pemilik dana.

5.Peluang Perbankan Syariah

Perbankan syariah, sesungguhnya memiliki peluang yang besar untuk terus berkembang. Gubernur BI, Burhanuddin Abdulah (2005) menegaskan, 'prospek perbankan syariah di masa depan, diperkirakan akan semakin cerah.' Menarik untuk dicatat, Bank Indonesia telah merevisi proyeksi pertumbuhan aset dan jaringan kantor bank syariah. Pada tahun 2011 diperkirakan aset bank syariah mencapai Rp 171 triliun dengan share bank syariah sekitar 9,10 persen dari total bank di Indonesia (BI, 2005) dengan jumlah kantor cabang diperkirakan mencapai 817 buah. Untuk tahun 2005, menurut Ketua DSN, KH. Ma'ruf Amin (2005) akan ada tiga bank asing dan 14 BPD yang membuka layanan syariah.

Peluang yang besar dan terbuka lebar bagi perbankan syariah di Indonesia, merupakan sesuatu yang wajar. Setidaknya ada sejumlah argumentasi untuk menguatkan pendapat ini. Pertama, mayoritas penduduk Islam. Kuantitas ini, merupakan pangsa pasar yang begitu potensial. Ketika umat Islam mau memanfaatkan maka bank syariah akan berkembang lebih pesat dan dahsyat. Akan tetapi, bukan berarti menafikan pelanggan non-muslim, bahkan menjadi tantangan tersendiri bagi insan perbankan syariah untuk meraihnya. Beberapa perbankan syariah luar negeri, sudah banyak memiliki customer non-muslim. Kedua, fatwa bunga bank. Fatwa ini, dapat menjadi legitimasi bagi perbankan syariah dalam mensosialisasikan kiprahnya. Umat perlu disadarkan bahwa ada alternatif pilihan, bahkan solusi untuk menghindari bunga, berganti sistem bagi hasil (profit sharing) yang lebih berkeadilan. Walaupun tidak lantas terjebak dengan sentimen emosional keagamaan tapi tetap mengedepankan rasional profesional dengan tampilnya bank syariah yang sehat dan terpercaya. Ketiga, menggeliatnya kesadaran beragama. Hal ini ditandai dengan maraknya acara keagamaan seperti pengajian dan umroh para eksekutif dan selebritis, diskusi aktual keislaman di kampus atau masjid, termasuk kuliah subuh di radio dan televisi. Bahkan ada majelis atau instansi mengadakan acara keagamaan secara rutin. Tentunya, semua ini memberi andil cukup besar dalam menggugah kesadaran beragama, termasuk untuk menerapkan perekonomian Islam. Keempat, menjalarnya penerapan ekonomi Islam. Saat ini, hadir asuransi syariah (takaful), pegadaian syariah, MLM syariah (ahad net), koperasi syariah, pasar modal dan obligasi syariah termasuk bisnis hotel syariah. Pada gilirannya, memberi peluang begitu lebar bagi bank syariah untuk melakukan net working, sehingga akan lebih berkembang dan bisa saling menguntungkan. Kelima, berkembangnya lembaga keislaman. Kehadiran partai Islam pasca reformasi, setidaknya berpengaruh terhadap iklim kehidupan nasional. Terutama ketika politisi muslim tampil sebagai pembuat kebijakan (law maker). Diharapkan kebijakannya sesuai syariah dan mendukung penuh pada kemajuan bank syariah. Berdirinya sekolah tinggi ekonomi Islam atau sejumlah perguruan tinggi yang membuka jurusan ekonomi Islam, serta maraknya sekolah Islam unggulan merupakan saham berharga untuk mencetak kader-kader ekonom dan bankir Islam.

6.Tantangan Masa Depan

Di samping memanfaatkan peluang, perbankan syariah juga dituntut menghadapi berbagai tantangan, yang semakin kompleks. Seperti yang telah dipaparkan, usia perbankan syariah di Indonesia masih relatif muda, laksana 'sosok' remaja yang masih mencari 'jati diri'. Tantangan yang dihadapinya pun tidaklah ringan dan mudah. Kalamuddinsjah (2005), Regional Manager BMI Jateng/DIY, mengibaratkan membangun perbankan syariah seperti membangun jaringan transportasi kereta api yang harus dimulai dari membuat rel. Mengapa? Oleh karena menciptakan satu landasan ekonomi syariah, harus dimulai dari nol. Berbeda dengan bank nasional yang telah mapan serta dukungan penuh dari pemerintah.

Pendapat Kalamuddinsjah ini, memberi gambaran, betapa tantangan yang dihadapi bank syariah di Indonesia masih cukup berat. Secara umum, tantangan berat yang harus dipecahkan itu adalah bagaimana menjadikan industri keuangan syariah yang mapan (established), yakni perbankan syariah yang profesional, sehat dan terpercaya. Apabila diklasifikasikan, berbagai tantangan tersebut ada yang berasal dari dalam (internal), dan ada yang datang dari luar (eksternal). Tantangan dari dalam adalah sejumlah tantangan yang harus dipecahkan, berasal dari ' diri ' bank syariah sendiri. Sejumlah tantangan itu meliputi,

1. Pengembangan kelembagaan. Sampai saat ini, kelembagaan perbankan syariah belum sepenuhnya mapan. Beberapa hal masih perlu dibenahi, terutama dalam manajemen, tugas dan wewenang, peraturan, dan struktur keorganisasian. Hubungan antara bank konvensional dengan unit syariahnya (subsystem) perlu diperjelas, agar sinergis. Dual banking system yang selama ini dijalankan perlu disempunakan, terutama karena belum adanya Deputi Gubernur khusus syariah. Bahkan ke depan perlu dipikirkan adanya BCS (Bank Sentral Syariah).

2. Sosialisasi dan promosi. Di lapangan, cukup banyak masyarakat yang belum memahami secara utuh 'sosok' bank syariah. Meminjam istilah Adiwarman A. Karim, setidaknya ada 3 kategori nasabah, yakni loyalis syariah, loyalis konvensional dan pasar mengambang (floating market). Potensi pasar mengambang mencapai Rp 720 triliun. Persoalan pada pasar mengambang adalah ada yang sudah tahu tapi belum paham, sudah paham tapi belum percaya, sudah percaya tapi belum sepenuhnya berpartisipasi. Proses sosialisasi perlu dilakukan secara continue. Promosi yang gencar dan menarik dengan memanfaatkan berbagai media, baik media bellow the line (event-event, seminar, brochure, spanduk, umbul-umbul) maupun media above the line (televisi, radio, koran, majalah). Promosi via televisi nampaknya masih jarang. Padahal promosi lewat media ini cukup efektif untuk pembentukan branch image dan branch awareness. Yang perlu digarisbawahi bahwa, sosialisasi dan promosi itu harus mampu membentuk image dan dapat mengubah pilihan pasar mengambang pada bank syariah.

3. Perluasan jaringan kantor. Indonesia memiliki wilayah yang amat luas. Akan tetapi jumlah kantor syariah yang beroperasi hingga ke pelosok masih kurang. Rizqullah, praktisi BNI Syariah (Republika, 2005) mengakui, ' salah satu kendala pertumbuhan bank syariah adalah masih terbatasnya jaringan.' Tantangan ini barangkali dapat dipecahkan dengan cara mensupport pemerintah mendirikan bank syariah, optimalisasi outlet pada setiap bank konvensional dan bank asing atau menggolkan konversi bank BUMN besar menjadi bank syariah.

4.Peningkatan SDM. Harus diakui secara jujur, bahwa sumber daya insani perbankan syariah yang profesional, amanah, dan berkualitas belum sepenuhnya tersedia. Insan perbankan yang berkualifikasi syariah handal masih jarang. Nampaknya, sebagian besar SDM terutama level menengah ke atas masih hasil didikan ekonomi konvensional. Padahal, yang dibutuhkan bukan hanya menguasai ekonomi/perbankan modern, tetapi sekaligus paham fiqih (syariah) serta mampu berinovasi dalam menyelesaikan 'pernak-penik' persoalan bank syariah yang sistemnya masih baru. Training, workshop, seminar, studi banding, serta berbagai pembinaan lain untuk meningkatkan kompetensi SDM harus mendapat perhatian serius.

5.Peningkatan modal. Tantangan ini masih dirasakan oleh bank syariah di Indonesia. Ungkapan Ma'ruf Amin (2005) perlu direnungkan, ' jika bank-bank syariah berandai melakukan suatu sindikasi dalam mendanai proyek besar, masih belum mampu.' Pernyataan seperti ini sungguh ironis, tetapi itulah kenyataannya. Para stake holder (pemegang saham) bank syariah perlu menambah modalnya, sehingga risk taking capacity-nya meningkat. Besar kecilnya kemampuan pembiayaan bank-bank syariah, amat tergantung pada kemampuan modalnya. Perlu juga nampaknya mendesak pemerintah untuk menempatkan dana besar pada bank syariah.

6. Peningkatan pelayanan. Perbankan syariah perlu terus meningkatkan kualitas pelayanannya. Prinsip pelayanan yang ramah, mudah, cepat dan murah harus menjadi trade mark bank syariah. Ramah dalam melayani, mudah dan cepat dalam proses, serta murah dalam biaya (administrasi). Begitu pula upaya mempermudah akses informasi dan pengambilan uang atau tabungan harus ditingkatkan. Pemanfaatan online internet dan ketersedian fasilitas ATM di berbagai lokasi strategis dan mudah terjangkau, merupakan keniscayaan. Ketujuh, pembinaan dan pengawasan. Dalam operasionalnya di lapangan, bank syariah harus terus dibina dan sekaligus diawasi. Dibina untuk lebih berkembang, diawasi agar tidak timbul penyimpangan. Pengawasan pada bank syariah di daerah, termasuk pada bank konvensional yang membuka syariah perlu dilakukan dengan ketat dan hati-hati. Jangan muncul kesan formalitas identitas syariah, praktek dan sistemnya tidak berbeda dengan konvensional.

Sejumlah tantangan di atas, merupakan tantangan dari dalam (internal). Usaha perbankan merupakan industri yang menjual kepercayaan. Berbagai tantangan internal itu perlu dipecahkan, sehingga masyarakat lebih percaya dan mau berpartisipasi aktif. Selanjutnya ada juga tantangan yang datang dari luar dan tidak kalah penting untuk diselesaikan.

Kesatu, belum memadainya kerangka hukum. Tantangan ini bersifat mendesak, karena akan menghambat upaya pengembangan bank syariah. RUU perbankan syariah yang tengah digodok perlu diperjuangkan untuk segera diundangkan. Aturan tentang pasar modal syariah, surat utang negara syariah, obligasi syariah serta aturan lain sangat penting. Intinya, semua aturan yang akan memberikan ruang gerak lebih luas bagi pelaku bisnis syariah.

Kedua, dukungan pemerintah belum penuh. Pemerintah mendukung keberadaan perbankan syariah, tetapi dalam tataran kebijakan (political will) dan keseriusan (good will) belum optimal. Para menteri, gubernur, bupati belum memberi tempat yang layak. Di BI (bank Indonesia) belum ada Deputi Gubernur khusus syariah. Selayaknya, Dewan Syariah Nasional dan bankir syariah melakukan lobi-lobi dan pendekatan kepada pemerintah, baik pusat maupun daerah, agar dukungan konkret dan nyata pada perbankan syariah dapat terealisasikan.

PENUTUP

Di usianya yang masih relatif muda, kehadiran perbankan syariah di Indonesia sungguh memberikan segudang harapan bagi umat, akan terciptanya kehidupan perekonomian nasional yang berkah demi terwujudnya kehidupan masyarakat yang adil dan makmur.

Peluang perbankan syariah ke depan amat besar. Mengingat, banyaknya komponen yang mendukung terciptanya perbankan syariah yang sehat dan terpercaya. Berbagai komponen pendukung tersebut perlu dimanfaatkan sebaik-baiknya. Peluang yang ada, sekecil apapun akan ikut berkontribusi dalam pengembangan perbankan syariah.Hanya saja, peluang untuk menjadi perbankan syariah yang mapan, tidak lepas dari berbagai tantangan. Baik yang berasal dari dalam, maupun datang dari luar. Kesemua tantangan perlu dihadapi, dipecahkan untuk selanjutnya dicari solusinya yang tepat demi kemajuan perbankan syariah. Akan tiba saatnya, di mana bank syariah menjadi ' primadona ', yang berperan penting dalam pembangunan nasional bahkan internasional.



DAFTAR PUSTAKA

Chapra, Umar (2001) : Masa Depan Ilmu Ekonomi (Sebuah tinjauan Islam), GIP, Jakarta

Hafidhuddin, Didin (2003) : Islam Aplikatif, GIP, Jakarta Lubis, Suhrawardi K.(2000) : Hukum Ekonomi Islam, Sinar Grafika, Jakarta

Karim, Adiwarman (2001) : Ekonomi Islam, Suatu Kajian Kontemporer, GIP, Jakarta

Siamat, Dahlan, Manajemen Lembaga Keuangan : Kebijakan Moneter dan Perbankan, Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, 2005.

Syafi'i, M. Antonio (2001) : Bank Syariah dari Teori ke Praktek, GIP, Jakarta

Usman, Rachmadi. Aspek – aspek Hukum Perbankan di Indonesia. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama. 2001

Wijayanta, Bambang dan Widyaningsih, Aristanti. Ekonomi & Akuntansi : Mengasah Kemampuan Ekonomi. Jakarta : PT. Grafindo Media Pratama. 2001

Kompas, edisi Pebruari, Maret, April 2005

Majalah Modal, edisi Pebruari, Maret 2003

Pikiran Rakyat, edisi Maret, April 2005

Republika, edisi Juni 2004, Pebruari, Maret, April 2005

Suara Merdeka, edisi Maret, April 2005

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun