Mohon tunggu...
Ahong
Ahong Mohon Tunggu... -

?

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Matematika Barat: Senjata Rahasia Imperialisme Budaya

16 Februari 2013   05:41 Diperbarui: 24 Juni 2015   18:15 491
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

DARI SEMUA mata pelajaran yang dijejalkan pada murid-murid pribumi di sekolah-sekolah penjajah, jamak diterima bahwa mata pelajaran yang mungkin telah dianggap kurang bermuatan-budaya adalah matematika. Bahkan kini, kepercayaan itu semakin menguat. Jika perdebatan pendidikan telah membahas perihal bahasa(-bahasa) apa yang sebaiknya diajarkan, sejarah atau agama apa, dan apakah, contohnya, “Peradaban Perancis” merupakan pelajaran sekolah yang tepat untuk murid-murid yang hidup ribuan kilomteter dari Perancis, matematika entah bagaimana selalu dirasa universal dan, maka, bebas-budaya. Matematika di zaman kolonial memiliki, dan bagi sebagian besar orang matematika tetap hingga hari ini memiliki, status fenomena budaya yang netral dalam pergolakan arus balik pendidikan dan imperialisme....

Hingga lima belas tahun atau tak jauh berbeda sebelumnya, merupakan kearifan bersama bahwa matematika adalah ilmu pengetahuan bebas-budaya. Betapapun, menurut pendapat khalayak, dua ditambah dua adalah empat, angka negatif dikali angka negatif sama dengan angka positif, dan semua segi tiga jika sudutnya dijumlah adalah 180 derjat. Pernyataan-pernyataan tersebut benar di seluruh dunia. Pernyataan-pernyataan tersebut memiliki pengesahan universal. Maka, pastilah pendapat tadi dibuntuti dengan anggapan bahwa matematika pastilah bebas dari pengaruh budaya apapun?

Tidak ada keraguan bahwa kebenaran-kebenaran matematika seperti di atas bersifat universal. Kebenaran-kebenaran tersebut absah di manapun juga, karena abstraksi dan sifat umum kebenaran-kebenaran tersebut disengaja. Jadi, tidak perduli di manapun Anda, jika Anda menggambar segitiga datar, mengukur semua sisi dengan busur derajat, dan menjumlah semua derajatnya, seluruhnya akan selalu kurang lebih 180 derajat....karena kebenaran-kebenaran matematika tersebut adalah abstraksi-abstraksi dari dunia nyata, kebenaran-kebenaran tersebut secara niscaya bebas-konteks dan universal.

Tapi dari mana asalnya “derajat”? Kenapa jumlahnya 180? Kenapa bukan 200, atau 100? Sesungguhnya, kenapa kita benar-benar tertarik pada segi tiga dan sifat-sifatnya? Jawaban atas semua pertanyaan tersebut, secara hakiki, ‘karena sejumlah orang menentukan begitulah seharunya”. Gagasan-gagasan matematis, seperti gagasan-gagasan lainnya, merupakan ciptaan manusia. Gagasan-gagasan tersebut memiliki sejarah budaya.

Kesusastraan-kesusastraan antroplogi menunjukan pada semua yang mau memahaminya bahwa matematika yang sebagian besar masyarakat pelajari di sekolah kontemporer bukanlah satu-satunya matematika yang ada. Contohnya, kita sekarang sadar akan fakta bahwa banyak sistem berhitung berbeda ada di dunia. Di Papua New Guinea, Lean telah mendokumentasikan hampir 600 (ada lebih dari 750 bahasa di sana) yang memiliki berbagai bilangan angka, tidak semuanya berdasarkan sepuluh (Lean 1991). Seperti halnya berhitung dengan jari, berhitung dengan bagian tubuh lainya juga didokumentasikan, yang menunjuk satu bagian tubuh dan menggunakan nama bagian tubuh tersebut sebagai angka. Angka-angka juga terekam dalam simpul-simpul tali, terpahat di atas lembaran kayu atau di atas batu, dan digunakannya manik-manik, seperti halnya banyak sistem penulisan bilangan yang berbeda (Menninger 1969). Kekayaannya memukau dan provokatif bagi siapa saja yang awalnya membayangkan bahwa milik mereka adalah satu-satunya sistem berhitung dan pencatatan angka.

Tidak hanya dalam angka kita medapati perbedaan-perbedaan menarik. Pengkonsepan ruang yang mendasari geometri Euclidean (geomtri bidang datar yang digunakan barat.pen) juga hanya sebuah konsepsi-geometri Euclidean khususnya bersandar pada titik-titik, garis-garis, bidang-bidang dan kepenuhan-kepenuhan “atomistik”dan gagasan yang berpusat pada obyek. Ada pengkonsepan lainnya, seperti milik Navajos (suku Indian di Amerika.pent) yang tidak membagi maupun mengobjekan ruang, dan semuanya bergerak (Pinxten, Van Doren dan harvey 1983). Bahkan mungkin yang lebih mendasar, kita lebih menyadari bentuk-bentuk pemilahan yang berbeda dari sistem-sistem hirearkis barat-Lancy, lagi di Papua New Guinea, mengenali apa yang dia sebut sebagai “pemilahantelur (edgeclassification)” yang lebih linear ketimbang hirearkis (Lancy 1983, Philp 1973). Bahasa dan logika kelompok Indo-Eropa telah mengembangkan lapisan-lapisan istilah abstrak dalam matriks pemilahan hirearkis, tapi hal ini tidak terjadi di semua kelompok bahasa, yang menghasilkan logika yang berbeda dan cara yang berbeda menghubungkan fenomena.

Fakta-fakta seperti disebut di atas menantang anggapan mendasar dan kepercayaan yang lama dipegang tentang matematika. Dengan mengenal penyimbolan aritmatika, geometri, dan logika alternatif menyiratkan ,maka, kita sebaiknya membangkitkan pertanyaan apakah ada sistem matematika alternatif. Beberapa orang akan berpendapat bahwa fakta-fakta seperti di atas telah menunjukan keberadaan apa yang mereka sebut “matematika-etnis”, sehimpunan gagasan-gagasan matematis yang

lebih lokal dan spesifik yang mungkin tidak bertujuan menjadi sebegitu umum maupun tersistematiskan seperti matematika “arus utama”. Dengan jelas, kini memungkinkan untuk memaparkan pernyataan bahwa semua budaya telah menghasilkan gagasan-gagasan matematika, seperti halnya semua budaya telah menghasilkan bahasa, agama, moral, kebiasaan dan sistem kekerabatan. Matematika kini mulai dimengerti sebagai sebuah fenomena di semua budaya (a pan-cultural phenomenon)

Maka, kita mulai sekarang harus lebih berhati-hati dengan penamaan kita. Kita sekarang tidak dapat mengatakan tentang “matematika” tanpa menjadi lebih spesifik, kecuali kita mengacu ke bentuk umum (seperti bahasa, agama, dsb.). Jenis matematika khusus yang kini merupakan mata pelajaran yang di-internasional-kan yang sebagian besar dari kita kenali adalah sebuah produk sejarah budaya, dan di

tiga abad terakhir sejarah itu, matematika tersebut berkembang sebagai bagian budaya Eropa Barat (jika itu merupakan sebuah istilah yang didefinisikan denga baik). Itulah sebabnya judul artikel ini mengacu ke “matematika barat.” Dalam suatu pengertian, istilah itu juga tidak tepat, karena banyak budaya telah menyumbang untuk pengetahuan ini dan banyak pelaku matematika di seluruh dunia

keberatan disebut sebagai peneliti budaya barat yang mengembangkan sebagian budaya barat. Sesungguhnya, sejarah matematika barat sendiri sedang ditulis ulang kini seraya semakin banyak bukti ditemukan, tapi lebih banyak lagi bukti kemudian. Terlepas dari itu semua, dalam pandangan saya cukup memadahi untuk menyebutnya sebagai “matematika barat”, karena matematika ini dulunya merupakan budaya barat, dan lebih khususnya budaya Eropa barat, yang memainkan peranan penting dalam memenuhi tujuan imperialisme.

Tampaknya ada tiga pelaku utama yang memperantarai proses penyerbuan budaya negara-negara terjajah oleh matematika barat: perdagangan, administrasi dan pendidikan. Perihal bidang perdagangan dan perniagaan umum, ini jelas-jelas merupakan wilayah tempat ukuran, satuan, angka, mata uang dan beberapa gagasan geometri digunakan. Lebih khususnya, gagasan-gagasan barat perihal panjang, luas,

isi, tinggi, waktu dan yang yang akan dijejalkan pada masyarakat-masyarakat pribumi....

Cara kedua yang melaluinya matematika barat telah menimpa budaya-budaya lain adalah melalui mekanisme administrasi dan pemerintahan. Khususnya, angka dan perhitungan yang penting untuk mencatat sejumlah besar orang dan komoditas mengharuskan prosedur bilangan barat digunakan di sebagian besar kasus...

Perantara ketiga dan yang utama bagi pendudukan budaya adalah pendidikan, yang memainkan peran penting dalam menyebarkan gagasan-gagasan matematika barat dan, maka, budaya barat....yang paling buruk, kurikulum matematikanya abstrak, tidak relevan, dipilah-pilah dan elitis-seperti halnya di Eropa- dikendalikan oleh struktur seperti Cambridge Overseas Certificate (Sertifikasi Luar Negeri

Cambridge), tingkat muatan budayanya sangat tinggi. Hal tersebut merupakan bagian dari sebuah strategi akulturasi yang disengaja-usahanya tingkat internasional untuk mengajarkan “yang terbaik dari Barat”, dan memastikan keunggulannya atas sistem matematika dan budaya pribumi manapun. Karena

matematika barat esensial dalam pendidikan persiapan-universitas, cita-cita para murid tertuju untuk menghadiri universitas barat. Mereka dididik jauh dari budaya mereka dan jauh dari masyarakat mereka.. .

Jadi, jelas bahwa melalui tiga media tersebut; perdagangan, administrasi dan pendidikan, penyimbolan dan struktur matematika barat dijejalkan pada budaya-budaya pribumi-pribumi persis sama pentingnya dengan pentingnya penyimbolan lingustik dan struktur bahasa Inggris, bahasa Perancis, bahasa Belanda atau apapun yang merupakan bahasa Eropa dari kekuasaan kolonial tertentu yang dominan di suatu

negara.

Namun, seperti halnya bahasa, penyimbolan tertentu yang digunakan, dalam satu permasalahan, merupakan aspek yang kurang penting dari matematika. Yang lebih penting lagi, khususnya dalam kosa kata budaya, merupakan nilai-nilai yang dibawa bersama penyimbolan itu. Tentu saja, diterima begitu saja sebagai kearifan yang disepakati bersama bahwa matematika itu bebas nilai. Bagaimana mungkin matematika barat dapat memiliki nilai jika matematika barat bersifat universal dan bebas budaya? Kita kini lebih tahu, dan sebuah analisa sejarah, kesusastraan antropologi dan lintas-budaya menawarkan empat tandan nilai yang dilekatkan dengan matematika Eropa barat, dan yang pastinya telah berpengaruh dahsyat pada budaya-budaya orang-orang pribumi.

Pertama, ada ruang rasionalisme, yang ada di jantung sebenarnya matematika barat. Jika harus dipilih sebuah nilai dan sifat tunggal yang menjamin kekuasaan dan kewenangan matematika dalam budaya barat, itulah rasionalisme. Seperti Kline katakan: “Dalam aspeknya yang paling luas matematika adalah semangat, semangat kerasionalan. Inilah semangat yang menantang, merangsang, menguatkan, dan menggerakan pikirkan manusia untuk mengasah dirinya secara maksimal”(Kline 1972)...

Kedua, sehimpunan nilai-nilai pujian yang dilekatkan pada matematika barat dapat diberi istilah objektisme, sebuah cara mencerap dunia seolah-olah dunia disusun oleh obyek terpisah dan terbatas, dapat dipindah dan diabstrakan, begitulah katanya, dari konteks mereka. Untuk melepas konteks (to decontextualise), agar dapat melakukan generalisasi, ada pada pusat matematika barat dan ilmu pengetahuan; namun jika budaya Anda mendorong Anda percaya, sebaliknya dari matematika barat, bahwa semuanya memiliki dan hadir dalam hubunganya dengan semua hal lainya, maka memindahnya dari konteksnya membuatnya secara harafiah tidak bermakna. Di peradaban Yunani kuno, ada sebuah kontroversi mendalam perihal “objek” atau “proses” sebagai inti dasar keberadaan. Heraklitus, pada

600-500BC, berpendapat bahwa sifat esensi fenomena yaitu bahwa fenomea selalu mengalir, selalu bergerak dan selalu berubah. Democritus dan Pythagoreas memilih sudut-padang-dunia “atom” yang sesungguhnya diberlakukan dan dikembangkan dalam matematika dan ilmu pengetahuan barat (lihat Ronan 1983 dan waddington 1977).

Horton melihat objektisme dengan cara lain. Dia membandingkan pandangan ini dengan apa yang dia lihat sebagai kegemaran orang Arika menggunakan idiom pribadi untuk menjelaskan. Dia berpendapat bahwa hal ini bagi orang Afrika tradisional telah mengembangkan perasaan bahwa “dunia” sosial dan personal dapat diketahui, sedangkan “dunia hal-ikhwal” secara esensial tidak dapat diketahui. Kecenderungan sebaliknya dipegang oleh orang barat (Horton 1967). ..kita dapat melihat, maka, bahwa baik dengan rasionalisme dan objektisme sebagai nilai inti, matematika barat mencerminkan sudut-pandang-dunia yang terdehumanisasi, terobjekan, ideologis yang niscaya akan muncul melalui pengajaran matematika pada jenis matematika tradisional kolonial.

Kumpulan nilai-nilai ketiga menyangkut aspek kekuasaan dan kendali matematika barat. Gagasan-gagasan matematika digunakan baik sebagai teknik dan konsep yang dapat diterapkan langsung, atau tidak langsung melalui ilmu pengetahuan dan tekonologi, sebagai cara untuk mengendalikan lingkungsn fisik dan sosial. Seperti yang Schaff ungkapkan dalam hubungannya dengan sejarah matematika:”semangat abad sembilan belas dan dua puluh dilambangkan dengan semakin berkuasanya

manusia atas lingkungan fisiknya” (Schaff 1963:48). Jadi, penggunaan bilangan dan ukuran dalam perdagangan, industri, perniagaan dan administrasi semuanya telah menekankan nilai kekuasaan dan kendali matematika. Hal ini telah (dan masih berlangunsg) menjadi pengetahuan yang berguna, pengetahuan yang berkuasa, dan menggoda mayoritas rakyat-rakyat yang mengalami kontak denganya...

Sejak zaman kolonial hingga hari ini, kekuasaan budaya matematis-teknologis ini telah tumbuh dengan cepat-begitu cepatnya hingga matematika barat kini diajarkan di semua negara di dunia. Sekali lagi, pelajaran ini diajarkan dengan asumsi keuniversalan dan kenetralan budaya. Dari kolonialisme terus berlanjut hingga neo-kolonialisme, imperialisme budaya matematika barat belum juga benar-benar

disadari dan dimengerti. Bertahap, pemahaman yang lebh besar akan dampak buruknya sedang digali, tapi harus dipikirkan apakah pengaruhnya-yang-menyebar di mana-nana berada di luar kendali.

Dengan menyebar dan tumbuhnya kesadaran sifat dan pengaruh budaya matematika barat, begitu juga berbagai tingkat tanggapan terahadapnya dapat juga dilihat. Pada tahap pertama ada peningkatan minat dalam kajian matematika-etnis, melalui baik analisa kesusastraan maupun penyelidikan anthropologi di situasi hidup-sesungguhnya...

Pada tahap kedua, ada tanggapan di banyak negara berkembang dan bekas jajahan yang bertujuan menciptakan kesadaran lebih kuat pada budayanya. Kelahiran kembali atau kebangkitan ulang kebudayaan adalah tujuan dari proses pendidikan di beberapa negara. Gerdes, In Mozambique, merupakan seorang pendidik matematika yang telah banyak berurusan dengan pekerjaaan di wilayah ini. Dia tidak hanya mencoba menunjukan aspek penting dari matematika masyarakat Mozambi, tapi juga mengembangkan proses “pencairan” “pembekuan” matematika yang dia angkat. Contohnya, dengan metode papan lempeng yang digunakan nelayan untuk membuat perangkap ikanya, dia menunjukan gagasan-gagasan geometrik yang penting yang dapat dengan mudah digabungkan dengan kurikulum matematika untuk menciptakan apa yang dia anggap sebagai pendidikan matematika Mozambik yang asli bagi kaum muda di sana.....

Tanggapan tahap ketiga pada imperialisme budaya matematika barat, secara paradoks, adalah mengkaji ulang seluruh sejarah matematika barat itu sendiri. Bukanlah kecelakaan jika sejarah ini telah ditulis utamanya oleh para peneliti kulit putih, pria, Eropa Barat atau Amerika,dan ada keprihatinan bahwa, contohnya, sumbangsih orang kulit hitam Afrika telah disepelekan.

Saya mulai dengan memaparkan mitos netralnya matematika barat. Akhir-akhir ini, bukti-bukti modern membawa pada kehancuran kepercayaan naif ini. Namun, kepercayaan pada mitos itu telah menghasilkan, dan terus menghasilkan, dampak-dampak yang kuat. Dampak-dampak tersebut berkatian dengan pendidikan, pembangunan bangsa dan berlanjutnya imperialisme budaya. Sesungguhnya pernyataan bahwa sebagian besar dunia moden telah menerima matematika barat, termasuk nilainya, sebagai bagian dasar pendidikanya tidak dapat berlaku untuk semuanya...

Namun, jika dilihat lebih luas, harus dipertanyakan: bukankah sebaiknya ada lebih banyak perlawanan terhadap hegemoni budaya ini?...Perlawanan sedang tumbuh, debat kritis sedang memberi tahu perkembangan teori, dan penelitian sedang meningkat, tentunya dalam situasi pendidikan tempat konflik-budaya dikenali. Senjata rahasia tersebut tidak lagi rahasia.

* Dari ‘Western Mathematics: The Secret Weapon of Cultural Imperialism’ Race

and Class 32(2), 1990.

ALAN J.BISHOP*

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun