Mohon tunggu...
Ian Fitriansyah
Ian Fitriansyah Mohon Tunggu... Administrasi - Basra Corporation

Director of Business Development (basra.id)

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Memanfaatkan Situasi Diri yang Buruk Menjadi Peluang Baik

23 November 2016   16:22 Diperbarui: 20 Juni 2018   12:16 52
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Berkaca pada kejadian heboh yang baru saja terjadi, dimana seorang motivator kondang dianggap tidak mengakui dan melalaikan anaknya. Saya masih menggunakan kata “dianggap”, karena belum terbukti secara hukum, baik melalaikannya atau anak itu anaknya atau bukan. tetapi mungkin sebagian besar masyarakat sudah mempercayai anggapan tersebut dan memberikan sanksi sosial kepadanya. Kejadian ini sangat menarik sekali untuk dipelajari, bukan untuk menilai orang-orang yang terlibat di dalamnya, tetapi mengambil pelajaran, bagaimana seharusnya menyikapi, sehingga tidak menjadi efek yang semakin buruk bagi kita yang mengalaminya, bahkan bisa menjadi peluang ternyata. Nah lo. Kok peluang?

Begini. Situasi seperti ini mungkin saja bisa terjadi pada setiap orang, tidak dengan kasus yang sama persis pastinya, tapi hal-hal yang pernah kita lakukan dahulu, belum tentu seluruhnya hal yang baik bukan?. Dan itu bisa muncul kapan saja dimasa yang akan datang. Bersyukurlah Anda yang bisa menjaga seluruh masa lalu Anda dengan baik. Atau bahkan masa lalu yang Anda anggap baik pun, kadang bisa dipelintir menjadi kurang baik.

Anyway, intinya hal tersebut sudah terjadi dan kita tidak bisa merubahnya, tetapi bagaimana mengelola “hal-hal yang tidak terlalu baik” tadi dimasa lalu menjadi bukan ancaman di masa depan, bahkan bisa menjadi peluang. Hampir beberapa bulan ini saya kepo akan hal ini, kepo positif kok. Karena saya merasa, seharusnya Sang Motivator bisa mendapatkan “keuntungan” luar biasa dari kasus ini. Bukan matere ya, tetapi inilah enaknya “pengamat”, lebih jernih dalam memandang situasi buruk yang terjadi pada orang lain, kalau kita yang terlibat langsung, mungkin sama aja.

Berikut ini pendapat pribadi saya dalam mengambil pelajaran kasus tersebut.

JUJUR

Bukan hanya pada saat kasus ini mencuat, tetapi jauh sebelumnya seharusnya kita mulai mengenalkan hal-hal yang tidak baik yang pernah terjadi dengan kita di masa lalu dengan rekan, saudara atau khalayak (kalau anda juga publik figure seperti sang motivator), dengan bahasa yang bijaksana tentunya, tanpa menyalahkan orang lain. Pada kasus Sang Motivator harusnya Beliau sudah sounding ke khalayak bahwa :

 “Ia pernah gagal dalam berumah tangga, ada kesalahan yang dilakukannya selain juga kesalahan pasangan hidupnya pasti, Ia punya anak hasil pernikahan tersebut, tetapi mungkin karena marah, mantan istrinya tidak mau mengakui bahwa itu anaknya. Dan Ia tetap menganggap itu adalah pelajaran hidup”.

Tetapi kalau ada “dendam” pada masa lalu, kita harus bernegosiasi dengan “dendam” tersebut. Sebab dendam akan menjadi penghambat untuk kita mengkomunikasikan hal-hal yang tidak baik di masa lalu kita dengan bahasa yang baik. Kalau ini dilakukan, pada saat kasus ini mencuat, khalayak tidak akan seheboh sekarang, karena sudah tahu. Bahkan mungkin kasusnya tidak akan mencuat, karena sudah bocor dari awal, sehingga anak itu dan keluarganya tidak pernah berpikir untuk membawa kasus ini ke kahalayak.

Kemudian jujur pada saat kasus itu mencuat (kalau tetap mencuat).

Jangan langsung menyatakan 100 % bahwa “saya tidak salah, yang salah dia!”. Harusnya jujur saja, saya tidak yakin dia itu anak saya, tetapi saya tidak yakin juga kalau dia itu bukan anak saya”. Jujur saya melihat ada rasa sayang sebenarnya di mata sang motivator itu terhadap “anak itu” dalam wawancara di TV, bohong kalau seorang ayah yang telah merawat selama 7 tahun bisa begitu saja melupakan rasa sayangnya ke anak. Tetapi mungkin ada “dendam” yang menyebabkan rasa sayang itu tidak dibiarkan muncul keluar. Andai saja rasa sayang itu tidak ditekan, pasti bahasa yang keluar berbeda. Mungkin yang akan keluar seperti ini.

“Nak papa kangen sama kamu, meskipun Ibumu bilang kamu bukan anak papa, tapi papa pernah rawat kamu 7 tahun lamanya. Ketemuan yuk, di mana kamu nak, kita ngobrol yuk, papa mau peluk kamu”.

Itu kira-kira menurut saya yang juga seorang bapak ya, tetapi saya yakin tidak akan jauh berbeda pastinya dengan anda yang juga seorang bapak.

Anda bisa bayangkan,bagaimana respon khalayak, apabila sang motivator berani “jujur”seperti hal yang di atas? WOW!

Respon Bijak untuk BISNIS

Kesalahan tidak bisa dihindari, yang harus dikelola adalah respon dalam menyikapi kesalahan tersebut. Seharusnya respon sang motivator bukan menantang, membuka aib dan hal-hal yang buruk lainnya. Bukannya berniat mengajarkan “kejam” untuk memanfaat sesuatu untuk BISNIS, tetapi apabila bijak dengan murni tidak bisa lagi di munculkan dalam situasi yang sulit seperti yang dialami Sang Motivator, kenapa tidak mencoba Bijak untuk bisnis. Simplenya begini :

Mungkin keluarga baru Sang Motivator cukup protektif dengan munculnya “ancaman” baru dari pihak yang mengaku anaknya, ancaman yang mereka rasakan mungkin bermacam-macam, bisa ancaman ekonomi (warisan), ancaman terbaginya kasih saying (cemburu) dan lain-lain. Wajar menurut saya, kalau kita yang menjadi keluarga baru Sang Motivator, kemungkinan besar juga punya perasaan demikian. Oleh karena itu, pendekatan Bijak untuk Bisnis harus dikedepankan, (sekali lagi kalau bijak secara murni tidak bisa dilakukan ya).

Diskusi dengan keluarga baru, beritahukan rencana “Bijak untuk Bisnis”. “Mah, dan anak-anak, papa akan temui anak itu dan akan selesaikan dengan baik-baik, papa akan berikan hak dia sebagian, bukan untuk membagi kasih sayang dan memotong hak kalian, tetapi untuk mengambil peluang dari situasi sulit ini, percaya sama papa,akan papa selesaikan ini secara elegan dan menguntungkan kita”. Kejam ya hiks. Maaf.

Temui anak tersebut, jangan lupa bawa infotainment (ha ha ha, kan bijak untuk bisnis), peluk dan berusaha tulus. Tanyakan kabar, minta maaf, ini terjadi karena ada kesalahan dari kita sebagai orang tua, bukan anak yang salah, maaf telah menjadi korban.

Berikan “sedikit hak anak itu” mungkin rumah dan mobil atau apapun senilai 1-2 miliar mungkin. Kalau dia menolak, paksa, bilang itu untuk cucu. Tambahkan, tidak usah ada tes DNA, apapun yang terjadi kamu adalah anak papa.

Anda bisa bayangkan seperti apa respon khalayak?

 Dengan biaya yang terbilang murah (daripada sewa pengacara). Jujur dan respon bijak untuk bisnis akan menjadi “promosi” yang luar biasa efektif, hari ini bisa saja follower Sang Motivator menjadi 2, 3 bahkan 10 kali lipat dan order motivasi akan banjir bandang, he he he lebay ya. Keluarga baru Sang Motivator pasti akan menikmati hasilnya.

Yah, ini kan Cuma pendapat “pengamat” dadakan, tetapi menjadi bahan pembelajaran buat kita semua, ternyata situasi yang buruk bisa dimanfaatkan menjadi keuntungan buat kita. Semoga kedua belah pihak bisa segera menyelesaikan konfik ini dengan baik.

Maaf apabila tulisan ini menjadi sedikit kejam karena disangkut pautkan dengan bisnis, karena dampak konflik ini sungguh miris, image yang telah dibangun dan meghasilkan bisnis yang cukup maju, hancur dalam sekejap karena salah respon. Semoga kita bisa mengambil pelajaran.

Fitriansyah

Founder of FIT Consulting

First Integration Training

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun