Berkaca pada kejadian heboh yang baru saja terjadi, dimana seorang motivator kondang dianggap tidak mengakui dan melalaikan anaknya. Saya masih menggunakan kata “dianggap”, karena belum terbukti secara hukum, baik melalaikannya atau anak itu anaknya atau bukan. tetapi mungkin sebagian besar masyarakat sudah mempercayai anggapan tersebut dan memberikan sanksi sosial kepadanya. Kejadian ini sangat menarik sekali untuk dipelajari, bukan untuk menilai orang-orang yang terlibat di dalamnya, tetapi mengambil pelajaran, bagaimana seharusnya menyikapi, sehingga tidak menjadi efek yang semakin buruk bagi kita yang mengalaminya, bahkan bisa menjadi peluang ternyata. Nah lo. Kok peluang?
Begini. Situasi seperti ini mungkin saja bisa terjadi pada setiap orang, tidak dengan kasus yang sama persis pastinya, tapi hal-hal yang pernah kita lakukan dahulu, belum tentu seluruhnya hal yang baik bukan?. Dan itu bisa muncul kapan saja dimasa yang akan datang. Bersyukurlah Anda yang bisa menjaga seluruh masa lalu Anda dengan baik. Atau bahkan masa lalu yang Anda anggap baik pun, kadang bisa dipelintir menjadi kurang baik.
Anyway, intinya hal tersebut sudah terjadi dan kita tidak bisa merubahnya, tetapi bagaimana mengelola “hal-hal yang tidak terlalu baik” tadi dimasa lalu menjadi bukan ancaman di masa depan, bahkan bisa menjadi peluang. Hampir beberapa bulan ini saya kepo akan hal ini, kepo positif kok. Karena saya merasa, seharusnya Sang Motivator bisa mendapatkan “keuntungan” luar biasa dari kasus ini. Bukan matere ya, tetapi inilah enaknya “pengamat”, lebih jernih dalam memandang situasi buruk yang terjadi pada orang lain, kalau kita yang terlibat langsung, mungkin sama aja.
Berikut ini pendapat pribadi saya dalam mengambil pelajaran kasus tersebut.
JUJUR
Bukan hanya pada saat kasus ini mencuat, tetapi jauh sebelumnya seharusnya kita mulai mengenalkan hal-hal yang tidak baik yang pernah terjadi dengan kita di masa lalu dengan rekan, saudara atau khalayak (kalau anda juga publik figure seperti sang motivator), dengan bahasa yang bijaksana tentunya, tanpa menyalahkan orang lain. Pada kasus Sang Motivator harusnya Beliau sudah sounding ke khalayak bahwa :
“Ia pernah gagal dalam berumah tangga, ada kesalahan yang dilakukannya selain juga kesalahan pasangan hidupnya pasti, Ia punya anak hasil pernikahan tersebut, tetapi mungkin karena marah, mantan istrinya tidak mau mengakui bahwa itu anaknya. Dan Ia tetap menganggap itu adalah pelajaran hidup”.
Tetapi kalau ada “dendam” pada masa lalu, kita harus bernegosiasi dengan “dendam” tersebut. Sebab dendam akan menjadi penghambat untuk kita mengkomunikasikan hal-hal yang tidak baik di masa lalu kita dengan bahasa yang baik. Kalau ini dilakukan, pada saat kasus ini mencuat, khalayak tidak akan seheboh sekarang, karena sudah tahu. Bahkan mungkin kasusnya tidak akan mencuat, karena sudah bocor dari awal, sehingga anak itu dan keluarganya tidak pernah berpikir untuk membawa kasus ini ke kahalayak.
Kemudian jujur pada saat kasus itu mencuat (kalau tetap mencuat).
Jangan langsung menyatakan 100 % bahwa “saya tidak salah, yang salah dia!”. Harusnya jujur saja, saya tidak yakin dia itu anak saya, tetapi saya tidak yakin juga kalau dia itu bukan anak saya”. Jujur saya melihat ada rasa sayang sebenarnya di mata sang motivator itu terhadap “anak itu” dalam wawancara di TV, bohong kalau seorang ayah yang telah merawat selama 7 tahun bisa begitu saja melupakan rasa sayangnya ke anak. Tetapi mungkin ada “dendam” yang menyebabkan rasa sayang itu tidak dibiarkan muncul keluar. Andai saja rasa sayang itu tidak ditekan, pasti bahasa yang keluar berbeda. Mungkin yang akan keluar seperti ini.
“Nak papa kangen sama kamu, meskipun Ibumu bilang kamu bukan anak papa, tapi papa pernah rawat kamu 7 tahun lamanya. Ketemuan yuk, di mana kamu nak, kita ngobrol yuk, papa mau peluk kamu”.