Doa itu berakhir dengan sebuah gerak ritual yang pernah diajarkan oleh kakek. Menepuk-nepuk bantal. Dan takl upa nasihat kakek untuk memejaman mata dengan mengingat secara utuh gadis itu.Â
Meski primitif, ritual itu diyakini kakek bisa mengubah mimpi jadi kenyataan. Maka aku pun selalu berharap senyum itu mengabadi dalam mimpi dan nyata hidupku.
Malam itu ku ulangi ritual konyol kakek dengan intensi satu ciuman bersarang di lesung pipi gadis itu. Paginya aku terbangun dengan kekosongan yang menyedihkan. Tanpa mimpi. Tanpa cium.Â
Aku malah menikmati kelucuan pagi dengan gema tawa memalukan. Lagi-lagi aku berfikir, inikah kegilaan yang sedang kupertontonkan pada diri?Â
Gadis itu seperti mimpi yang mengapa tidak saja kutemui gadis-gadis kota yang cantik, merayu dengan kata-kata manis, lalu pergi merayakan cinta di kamar tidur.Â
Bercumbu mesra sampai lupa mengapa bibir bersentuhan. Ini hanya obsesi khayalan yang nantinya akan rapuh. Sebenarnya aku lelaki penakut yang sama sekali belum pernah meyentuh bibir seorang gadis.
***
Senyum gadis itu terus memanggil jiwaku, memenjara khayalku hingga menyadarkan aku akan keuletan tangan Tuhan ketika melukis wajahnya dan memhembuskan senyuman manis. Senyumnya adalah senyuman Tuhan? Lalu apa mungkin Tuhan akan merestui doa konyolku ini? Bukan urusanku. Kurang atau lebih konyolnya sebuah doa, aku serahkan seluruhnya pada-Nya.
Memang kedengaran klise bagi mereka yang kaya akan senyuman. Namun tidak bagi aku yang sedang tergila-gila pada satu senyuman. Akan selalu baru senyum itu meski telah lama ditingalkan oleh tuannya.Â
Sebab akulah yang merawat senyum itu agar tidak karatan atau sakit dengan kegilaan yang ku pilihara untuknnya. Aku selah menyandang satus lelaki penjaga senyum.Â
Maka kuingatkan pada gadis itu dengan harapan paling sederhana agar suatu waktu entahlah di angka berapa ia datang menjenguk senyum yang ditinggalkann dimataku. Aku masih setia merawat senyum itu! Ia tidak mendengarku. Aku sedang asik berbicara dengan angan-angan.