"Kamu salah orang mas, aku kemarin tidak kesini. Kamu kacau mas", sangkalnya dengan nada kecewa.
"Aku baik-baik saja. Lagian mataku masih jernih untuk melihat kecantikkanmu", ungkapku spontan memuji.
"Kamu ada-ada saja mas", balasnya dengan malu-malu. Senyumnya terukir rapi di diantara barisan putih giginya dan dua bibir yang dipoles sedikit memerah. Sikap kecutnya diawal perjumpaan telah dibuyarkan. Aku hampir memenangi pertemuan tak beralasan ini. Â
Sebenarnya pertayaan-petanyaan itu hanya siasat purba yang sedang kupraktekkan agar bisa bercakap lebih lama dengan gadis cantik pemilik senyum manis itu.Â
Nyatanya ia terjerumus dalam percakapanku yang tak teratur. Percakapan lelaki yang terpanggil oleh sebab kecantikan. Lebih dari itu aku jatuh cinta pada senyum gadis itu.
***
Aku tak pernah menanyakan namanya lagi setelah ia menolak salam pertama itu. Disetiap perjumpaan diikuti percakapan demi percakapan polos hampir usai, kegelisahan membisikkan sesuatu pada hati kecilku.Â
Bahwa aku tergila-gila pada senyum yang dikekalkan pada wajah gadis itu. Aku tak berikhtiar membantah, sebab gerakku berbicara jujur tentangnya.Â
Padahal senyuman itu biasa-biasa saja, sama seperti punya ibu dan nenekku. Entahlah mengapa semua tejadi senatural kegilaan ini. Aku tak mengerti. Mencoba mendefinisikan dengan cermat malah dianggap membatasi ingatan dan imajinasi. Maka kubiarkan saja ia meraja atas diri dan mungkin akan menciptakan kegilaan yang melankolis.
Aku melihat senyum itu luruh dari setangkai keyakinan yang ditanam di bibirnya. Jatuh begitu saja tanpa ada musim gugur. Karenanya aku berusaha dengan seluruh jiwa membaca senyum yang tertanggal dihadapan mata.Â
Bertanya-tanya tentang senyum yang masih membekas di memori. Bahkan setiap malam sebelum ingatan dilebur mimpi, kudoakan senyum bibirnya merekah lagi sakral hingga pertemuan kami kelak.Â