Apa yang kita persangkakan tentang kemiskinan?Â
Kegagalan, kemalasan, bahkan kesialan? Bukan begitu?
Dalam tulisan kali ini, saya mencoba melihat bagaimana kemiskinan itu hadir, juga mencoba membantah, bahwa kemiskinan adalah kejadian yang terstruktur. Terkhusus di Indonesia, kemiskinan ada akibat tindakan korup lagi rakus dari penguasa.
Saya juga ingin mengkritik, kegiatan aktivisme yang gagal melihat itu sebagai sesuatu yang terstruktur. Alih-alih itu, para pegiat aktivisme justru menjadi bagian dari pelanggen kekuasaan. Sebelumnya, saya ingin mendeklarasikan, saya bukanlah aktivis, belakangan saya merasa menjijikkan dengan kata itu.
Aktivisme dan Perubahan Sosial
Aktivisme belakangan populer setelah perkembangan internet di masa postmodern ini. Secara kebahasaan, aktivisme berasal dari kata latin aktivus yang jika diserap dalam bahasa Indonesia berarti aktif.
sosial, politik, ekonomi, atau lingkungan. Jika menilik ke belakang, kita bisa melihat gerakan Mahatma Gandh, Nelson Mandela dan sebagainya sebagai gerakan aktivisme.
Kata ini lekat pada individu atau kelompok dalam mendukung atau memperjuangkan perubahanGerakan tersebut umumnya, mendorong transformasi masyarakat. Hal ini penting, melihat bagaimana kepentingan ekonomi, diskriminasi, maupun pelannggaran hak asasi manusia yang belakangan semakin sering terjadi. Beberapa orang menganggap penting mendorong perubahan sosial.
Kemiskinan Sebagai Kekerasan Struktural
Ada yang menarik dari kemiskinan. Sebagai sebuah masalah dalam ekonomi dan sosial, perlu dilihat bahwa kemiskinan hadir karena adanya kekerasan struktural. Konsidisi sosial, politik, atau ekonomi secara sistematis menciptakan ketidakadilan dan penderitaan bagi kelompok tertentu dalam masyarakat. Istilah "kekerasan struktural" diperkenalkan oleh Johan Galtung, seorang sosiolog yang menjelaskan bentuk kekerasan yang tidak langsung dan tersembunyi, tetapi tetap merugikan individu atau kelompok
Dalam konteks Indonesia, kita bisa melihat bagaimana perampasan ruang yang terjadi. Semisal pada kasus perampasan tanah di Rempang dan Takalar. Keduanya merupakan pengalihan lahan, dari lahan pertanian yang dikelola secara kolektif oleh warga, digantikan menjadi lahan kelola oleh negara. Tidak ada kesepakatan dari warga atas pengalihan tersebut, alhasil warga yang terbiasa hidup bertani dari tanahnya tersbut kehilangan mata pencaharian. Hal tersebut, terus berulang. Ini yang disebut sebagai kemiskinan struktural.