Â
Apa yang kita rayakan di tanggal 1 syawal?
Hari itu, orang orang bersenandung menymbut 1 syawal. Hari itu bagi sebagian orang adalah hari kemenangan. Namun, sebetulnya apa yang kita menangkan di hari tersebut. Pada realitanya kita sama sekali tidak memulai pertandingan apapun dengan siapapun.
Jawaban itu mengantar saya pada ingatan di malam lain di Bulan Ramadhan. Seorang penceramah berkata
"Semoga kita dapatkan meningkatkan nilai ketauhidan kepada Tuhan yang maha esa. Â Bukan malah menyembah Bulan Ramadhan"
Kalimat singkat tersebut sebenarnya menyampaikan pesan yang cukup dalam. 1 Syawal disebut juga sebagai idul fitri. Secara terminologis hari tersebut dapat kita artikan kembali suci atau bersih. Pada hakikatnya, berpuasa dapat diartikan menuju jalan kesucian atau kalimat sederhananya "mensucikan diri". Baik secara batiniah maupun lahiriah.
Sebagai makhluk yang dibekali nafsu, manusia pada dasarnya tidak terlepas dari dosa dan kerasukan. Hal ini disinggung oleh Hobbes dengan kalimat terkenalnya "homo homini lupus". Atau jika dibahasa Indonesiakan berarti "manusia adalah serigala bagi manusia lainnya". Menurut Hobbes manusia memiliki kemungkinan mencelakakan manusia lainnya demi kepentingan pribadinya.
Dalam literatur ke-islam-an, sifat ini bisa kita kategorikan sebagai sifat "sabi'yah". Sifat seperti binatang liar, kemauan untuk kesemena-menaan untuk tetap hidup, padahal tanpa kesemanaan itu manusia akan tetap hidup. Puasa, penting untuk menekan sifat sifat itu.
Puasa dalam bahasa Arab disebut shaum. Shaum dapat diartikan sebagai menahan diri. Asratillah mengkonsepkan shaum sama seperti aphrodisia. Yaitu tradisi Yunani yang menunjuk pada keterampilan mengelola tubuh. Atau dalam literatur Michael Fucalt sebagai seni eksistensi diri. Jadi, Asratillah dalam tulisannya tersebut mengukur keberhasilan puasa ketika kerakusan manusia sudah lenyap pada dirinya.
Saya percaya, agama (Islam) melalui perintah puasanya memiliki makna internal dengan diri masing masing manusia. Walaupun, berangkat dari realitasnya agama kadangkala hadir sebagai pembunuh dari pemikiran kritis manusia.Â
Pandangan Freud memberikan kesan bahwa agama gagal meletekkan moralitas pada dasar yang stabil. Sehingga, norma etis bergantung pada kepercayaan yang sifatnya abstrak. Jika manusia kehilangan sosok yang Tuhan atau Messiah yang maskulin, maka manusia itu akan seperti anak kecil yang kehilangan rumahnya.
Realitas yang terjadi memang agama digunakan sebagai alat kontrol atas moral, biasanya digunakan oleh penguasa yang memiliki status quo untuk menjaga kekuasaannya agar tetap berkuasa. Kejadian pada era Soeharto yang menguasai narasi di MUI sebagai pembawa tafsir atas keberadaan beragama di Indonesia.
Hal ini juga sebenarnya pernah disinggung oleh Syafii Maarif dalam buku "Qur'an, Realitas Sosial dan Limbo Sejarah". Syafii Maarif disini menyinggung soal pola keber-agama-an di Indonesia yang hanya pada ranah spiritual saja, tanpa memperhatikan aspek sosial. Akibatnya, tafsir al-Qur'an dikuasai hanya oleh segelintir orang yang narasinya divalidasi oleh kekuasaan dan penguasanya.
Beruntungnya, kita tidak terlalu khawatir pada pandangan Freud. Freud sendiri tidak meneliti Agama Islam secara mendalam. Islam sendiri memberikan otoritas sendiri pada masing masing manusia. Dalam al-qur'an Surah al-Baqarah ayat 256 disebut la ikraha fiddin, yang dalam bahasa Indonesia berarti
 "tidak ada paksaan dalam beragama"
Pada akhir tujuannya, agama menuntut manusia untuk berhubungan baik antar sesama manusia. Bahkan dalam beberapa pengalaman sejarah, kita perlu belajar dari seorang Muhammad SAW yang menghadirkan Islam sebagai narasi revoluioner.Â
Dalam beberapa tafsir, sebenanrya Muhammad tidak dimusuhi semata karena teologi Tauhid yang dibawa. Namun, kehadiran Muhammad akan meruntuhkan status quo para suku Quraish. Suku Quraish jaman itu sangatlah berjaya dengan bisnis perbudakannya. Kehadiran Muhammad dengan Tauhid (Tuhan yang Maha Esa) menyebabkan paham yang egaliter, semua manusia tidak menyembah apapun selain Tuhan, manusia atau budak tidak boleh menyembah majikannya. Dalam hal ini, majikan menjadi Tuhan Tuhan kecil. Ini yang menjadi alasan dimusuhinya Muhammad beserta ajarannya.
Secara sadar atau tidak, kita akan menciptakan Tuhan Tuhan kita sendiri. Baik itu bentuknya sebagai harta, orang orang dengan segala cara menjaga hartanya. Bisa juga membentuk Tuhan dari manusia dengan membanggakan sosok tertentu, bahkan ketika sosok tersbut secara jelas bersalah dan melenceng para pecintanya akan tetap membanggakannya. Atau bahkan bisa menuhankan waktu, semisal waktu Bulan Ramadhan itu sendiri. Orang orang menjadikan Ramadhan sebagai bulan kesucian, setelahnya lepas begitu saja. Tanpa meneruskan kebiasaan baik setelahnya.
Narasi bego "jangan melakukan penindasan terhadap si fulan atau si anu, karena Bulan Ramadhan" akan terus tumbuh. Apa bedanya jika dosa penindasan dilakukan di Bulan Ramadhan atau diluar Ramadhan? Pada akhirnya itu sama sama menyebabkan orang lain kesusahan. Atau narasi bego "kita harus mengasihi sesama di Bulan Ramadhan" akan terus terpatri. Apa yang membedakan kasih orang beriman di Bulan Ramadhan dan diluar Ramadhan? Pahalanya? Kita tidak mengasihi sebab pahala semata to?
Saya percaya Ramadhan merupakan waktu menyucikan diri dari segala bentuk sifat kebinatangn yang merugikan orang lain. Ramadhan dan bentuk puasanya cara mereduksi sifat ketamakan atau kerasukan yang selalu dimiliki manusia.
Kemenangan di Bulan Ramadhan bukan menjadi kemenangan pribadi, bukan kemenangan satu dua orang, bukan kemenangan kelompok tertentu, apalagi kelompok penguasa yang rakus. Ramadhan seharusnya menyadarkan setiap insan betapa pentingnya kemenangan secara bersama. Sebagaimana nilai Tauhid yang dibawa oleh Muhammad.
Jika setelah hari kemenangan dan hari hari setelahnya, orang orang masih kerakusan dan tamak, para penguasa masih memanipulasi agama untuk kepentingan kekuasaan. Yah, puasa sebulan penuh hanya membersihkan diri secara biologis, dan gagal mencapai menyucikan jiwa yang sebenarnya.
Â
Referensi
Al-qur'an Realitas Sejarah dan Limbo Sosial, Syafii Ahmad, Pustaka Mandiri
Heideger dan Mistik Kehidupan, Hardiman Budi, Gramedia, 2003
Psikoanalisi dan Agama, Fromm Erich, Basabasi, 2019
Islam dan Otoritas Keagamaan, Rumadi, UIN Syarif Hidayatullah
Pergulatan da Otoritarianisme dalam Penafsiran, Muhtador, STAIN Kudus
Â
Â
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H