Hal ini juga sebenarnya pernah disinggung oleh Syafii Maarif dalam buku "Qur'an, Realitas Sosial dan Limbo Sejarah". Syafii Maarif disini menyinggung soal pola keber-agama-an di Indonesia yang hanya pada ranah spiritual saja, tanpa memperhatikan aspek sosial. Akibatnya, tafsir al-Qur'an dikuasai hanya oleh segelintir orang yang narasinya divalidasi oleh kekuasaan dan penguasanya.
Beruntungnya, kita tidak terlalu khawatir pada pandangan Freud. Freud sendiri tidak meneliti Agama Islam secara mendalam. Islam sendiri memberikan otoritas sendiri pada masing masing manusia. Dalam al-qur'an Surah al-Baqarah ayat 256 disebut la ikraha fiddin, yang dalam bahasa Indonesia berarti
 "tidak ada paksaan dalam beragama"
Pada akhir tujuannya, agama menuntut manusia untuk berhubungan baik antar sesama manusia. Bahkan dalam beberapa pengalaman sejarah, kita perlu belajar dari seorang Muhammad SAW yang menghadirkan Islam sebagai narasi revoluioner.Â
Dalam beberapa tafsir, sebenanrya Muhammad tidak dimusuhi semata karena teologi Tauhid yang dibawa. Namun, kehadiran Muhammad akan meruntuhkan status quo para suku Quraish. Suku Quraish jaman itu sangatlah berjaya dengan bisnis perbudakannya. Kehadiran Muhammad dengan Tauhid (Tuhan yang Maha Esa) menyebabkan paham yang egaliter, semua manusia tidak menyembah apapun selain Tuhan, manusia atau budak tidak boleh menyembah majikannya. Dalam hal ini, majikan menjadi Tuhan Tuhan kecil. Ini yang menjadi alasan dimusuhinya Muhammad beserta ajarannya.
Secara sadar atau tidak, kita akan menciptakan Tuhan Tuhan kita sendiri. Baik itu bentuknya sebagai harta, orang orang dengan segala cara menjaga hartanya. Bisa juga membentuk Tuhan dari manusia dengan membanggakan sosok tertentu, bahkan ketika sosok tersbut secara jelas bersalah dan melenceng para pecintanya akan tetap membanggakannya. Atau bahkan bisa menuhankan waktu, semisal waktu Bulan Ramadhan itu sendiri. Orang orang menjadikan Ramadhan sebagai bulan kesucian, setelahnya lepas begitu saja. Tanpa meneruskan kebiasaan baik setelahnya.
Narasi bego "jangan melakukan penindasan terhadap si fulan atau si anu, karena Bulan Ramadhan" akan terus tumbuh. Apa bedanya jika dosa penindasan dilakukan di Bulan Ramadhan atau diluar Ramadhan? Pada akhirnya itu sama sama menyebabkan orang lain kesusahan. Atau narasi bego "kita harus mengasihi sesama di Bulan Ramadhan" akan terus terpatri. Apa yang membedakan kasih orang beriman di Bulan Ramadhan dan diluar Ramadhan? Pahalanya? Kita tidak mengasihi sebab pahala semata to?
Saya percaya Ramadhan merupakan waktu menyucikan diri dari segala bentuk sifat kebinatangn yang merugikan orang lain. Ramadhan dan bentuk puasanya cara mereduksi sifat ketamakan atau kerasukan yang selalu dimiliki manusia.
Kemenangan di Bulan Ramadhan bukan menjadi kemenangan pribadi, bukan kemenangan satu dua orang, bukan kemenangan kelompok tertentu, apalagi kelompok penguasa yang rakus. Ramadhan seharusnya menyadarkan setiap insan betapa pentingnya kemenangan secara bersama. Sebagaimana nilai Tauhid yang dibawa oleh Muhammad.
Jika setelah hari kemenangan dan hari hari setelahnya, orang orang masih kerakusan dan tamak, para penguasa masih memanipulasi agama untuk kepentingan kekuasaan. Yah, puasa sebulan penuh hanya membersihkan diri secara biologis, dan gagal mencapai menyucikan jiwa yang sebenarnya.
Â
Referensi
Al-qur'an Realitas Sejarah dan Limbo Sosial, Syafii Ahmad, Pustaka Mandiri
Heideger dan Mistik Kehidupan, Hardiman Budi, Gramedia, 2003
Psikoanalisi dan Agama, Fromm Erich, Basabasi, 2019
Islam dan Otoritas Keagamaan, Rumadi, UIN Syarif Hidayatullah
Pergulatan da Otoritarianisme dalam Penafsiran, Muhtador, STAIN Kudus
Â
Â
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H