Kita harus akui memang biaya pelaksanaan Pilkada nilainya sangat besar. Berdasarkan data yang dirilis oleh Kementerian Keuangan, pemerintah telah menggelontorkan Rp 37,43 triliun anggaran untuk Pilkada 2024. Nilai ini belum termasuk anggaran seluruh proses penyelenggaraan Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, DPR RI, DPD, dan DPRD baik tingkat provinsi hingga kabupaten/kota.
Meski demikian, wacana pemilihan kepala daerah oleh DPRD tidak boleh hanya didalilkan sebatas penghematan anggaran atau efisiensi. Sebagai negara yang ingin menjalankan demokrasi tentu tingginya biaya demokrasi adalah risiko serta sebab akibat yang harus ditanggung. Kalau benar-benar ingin melakukan penghematan anggaran seharusnya tidak hanya sebatas menghilangkan partisipasi masyarakat dalam Pilkada, namun juga dengan mengurangi jumlah kabinet (perampingan kabinet), efisiensi anggaran kementerian/lembaga, pengurangan perjalanan dinas, dan upaya lainnya.Â
Upaya efisiensi anggaran atau penghemat justru tidak sejalan dengan realita yang terjadi saat ini di tengah fenomena menteri sedan bernegosiasi di DPRD meminta tambahan anggaran, seperti Kementerian HAM yang ingin menambah anggaran menjadi 20 Triliun dari sebelumnya 64 Miliar, Kementerian PU yang meminta tambahan 60,6 Triliun, belum termasuk kementerian teknis lainnya yang mengajukan anggaran begitu fantastis.Â
Belum lagi, usulan penambahan anggaran yang diajukan oleh salah satu Kemenko adalah untuk pembangunan gedung kantor baru serta pengadaan mobil dinas. Padahal di Ibu Kota Nusantara (IKN), juga sedang berlangsung pembangunan gedung-gedung kementerian yang anggaran juga sangat jumbo. Tentu ini menjadi masalah, jika akhirnya ternyata anggaran yang diajukan sebatas kepentingan ke dalam, maka penambahan anggaran ini hanyalah sebatas serapan anggaran, bukan diperuntukkan menuntaskan persoalan yang ada di masyarakat.Â
Sebenarnya jika ingin benar-benar memperbaiki sistem perpolitikan di Indonesia bukan soal Pilkada dipilih langsung atau tidak, juga bukan sekadar demi penghematan anggaran. Justru, partai politik yang seharusnya banyak merenung (berkontemplasi) atas proses perpolitikan di Indonesia.Â
Apakah sistem merit yang memperbolehkan siapapun untuk berkompetisi secara sehat sudah terlaksana? Apakah penegakan hukum sudah digunakan sebagaimana mestinya? Apakah anggaran negara yang berasal dari rakyat sudah dikelola sebaik-baiknya? Apakah partai politik sudah sadar kalau mereka sendiri juga adalah rakyat? Serta, Apakah partai politik sudah benar-benar mewakili rakyat atau justru hanya sebatas kendaraan memuat kepentingan segelintir orang?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H