Beberapa waktu yang lalu, Acara Hari Ulang Tahun ke-60 Partai Golkar telah digelar pada Kamis 12 Desember 2024 di Sentul International Convention Center (SICC), Jawa Barat. Ketika pembukaan HUT Partai Golkar tersebut, Bahlil Lahadalia selaku Ketua Umum Partai Golkar menyinggung bahwa Pilkada serentak yang baru saja dilaksanakan seraswa Pemilihan Kepala Desa (Pilkades).
Adapun kutipan pidato yang disampaikan adalah, "Selain dari pada Pilpres, yang terakhir yang baru kita saksikan bersama-sama adalah Pilkada. Pemilukada baru selesai. Banyak kenangan, cerita, dan tulisan dari lubuk hati maupun dari lubuk-lubuk yang lain. Yang hampir suaranya semuanya sama. Kok Pemilukada-nya costnya tinggi ya?" ucap Bahlil Lahadalia dalam pidatonya.
Hal tersebut juga senada disambut oleh Presiden Republik Indonesia Prabowo Subianto, "Menurut saya, kita harus perbaiki sistem kita, dan kita tidak boleh malu untuk mengakui bahwa kemungkinan sistem ini terlalu mahal. Betul! Dari wajah yang menangpun saya lihat, lesu juga. Yang menang saja lesu, apalagi yang kalah. Saya lihat negara-negara tetangga kita efisien, Malaysia, Singapura, India. Sekali memilih anggota DPRD, ya sudah, DPRD itulah yang memilih Gubernur dan Bupati."
Kalau kita mengacu pada Bab VI tentang Pemerintahan Daerah tepatnya pada pasal 18 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 disebutkan bahwa Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintahan daerah provinsi, kabupaten,/dan kota dipilih secara demokratis. Memang frasa 'secara demokratis' tidak didefinisikan secara jelas dan tetap dalam Konstitusi, sehingga memunculkan beberapa persepsi serta opsi.
Secara umum, istilah 'demokratis' merujuk pada suatu sistem pemerintahan atau prinsip yang mendasarkan keputusan politik pada partisipasi warga negara. Demokrasi berasal dari kata 'demos' yang berarti rakyat dan 'kratos' yang berarti kekuasaan, sehingga secara harfiah demokrasi dapat diartikan sebagai 'kekuasaan oleh rakyat.' Dalam konteks ini, demokratis berarti mendukung atau menganut prinsip-prinsip yang memastikan bahwa keputusan politik didasarkan pada kehendak dan suara mayoritas rakyat.
Baik dipilih oleh rakyat atau dipilih oleh DPRD sebenarnya merupakan mekanisme pelaksanaan 'secara demokratis', yang membedakan adalah tingkat keabsahannya atau yang bisa dikenal istilah legitimasi. Ada yang beranggapan jika dipilih oleh rakyat secara langsung, masyarakat sudah diberikan partisipasi aktif untuk ikut serta dalam demokrasi sebagaimana merupakan jaminan atas hak untuk dipilih maupun memilih dalam Konstitusi. Ada yang beranggapan jika dipilih oleh DPRD, rasanya masyarakat tidak terlibat sama sekali, sekalipun DPRD sebenarnya dipilih oleh rakyat menjadi perwakilan rakyat daerah.
Berkaca dari struktur DPRD dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, DPRD merupakan bagian dari pemerintah daerah, sehingga kedudukan DPRD dan Kepala Daerah adalah sejajar sebagai penyelenggara pemerintah daerah, bukan lembaga yang berdiri sendiri seperti, Presiden, DPR RI, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi yang biasa disebut trias politika. Mengutip pendapat dari Dr. Mohammad Novrizal, Dosen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia bahwa DPRD hanyalah menjalankan fungsi legislasi serta merupakan bagian dari pemerintahan daerah, serta tidak berkedudukan seperti DPR RI yang merupakan lembaga legislatif di Indonesia.
Dengan adanya wacana kepala daerah dipilih oleh DPRD, secara implisit sebenarnya berpotensi menimbulkan DPRD merasa superior atau lebih powerful dari kepala daerah, sehingga mengaburkan kelembagaan yang diatur dalam Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah. Tentu, superioritas ini akan memicu terjadinya penyalahgunaan kepentingan, penyalahgunaan kewenangan, serta politik balas budi oleh kepala daerah karena merasa sudah dipilih. Belum lagi, adanya rasa ketidakpuasan masyarakat karena tidak berpartisipasi aktif dalam pemilihan kepala daerah.
Bahkan, dengan sistem demokratis pemilihan kepala daerah yang berlangsung saat ini, tidak sedikit DPRD terlibat dalam tindak pidana korupsi, mulai dari korupsi ketok palu RAPBD, Korupsi Dana Hibah yang menjerat Pimpinan dan Anggota DPRD, korupsi DPRD dalam pengadaan barang dan jasa, dan lain sebagainya. Bahkan, dari data statistik hingga tahun 2024 yang dirilis oleh KPK, penyelenggara pemerintahan daerah masih memegang posisi teratas sebagai pelaku tindak pidana korupsi.
Oleh karena itu, perlu dipertimbangkan secara matang, jangan sampai posisi kepala daerah baik Gubernur, Bupati, maupun Walikota akhirnya hanya dijadikan sekadar 'boneka' oleh DPRD, demi menggarap potensi proyek dan anggaran daerah untuk menguntungkan segelintir orang, yang akhirnya cita-cita otonomi daerah sebagai perpanjangan tangan pemerintah pusat tidak berjalan dengan baik.
Kita harus akui memang biaya pelaksanaan Pilkada nilainya sangat besar. Berdasarkan data yang dirilis oleh Kementerian Keuangan, pemerintah telah menggelontorkan Rp 37,43 triliun anggaran untuk Pilkada 2024. Nilai ini belum termasuk anggaran seluruh proses penyelenggaraan Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, DPR RI, DPD, dan DPRD baik tingkat provinsi hingga kabupaten/kota.
Meski demikian, wacana pemilihan kepala daerah oleh DPRD tidak boleh hanya didalilkan sebatas penghematan anggaran atau efisiensi. Sebagai negara yang ingin menjalankan demokrasi tentu tingginya biaya demokrasi adalah risiko serta sebab akibat yang harus ditanggung. Kalau benar-benar ingin melakukan penghematan anggaran seharusnya tidak hanya sebatas menghilangkan partisipasi masyarakat dalam Pilkada, namun juga dengan mengurangi jumlah kabinet (perampingan kabinet), efisiensi anggaran kementerian/lembaga, pengurangan perjalanan dinas, dan upaya lainnya.Â
Upaya efisiensi anggaran atau penghemat justru tidak sejalan dengan realita yang terjadi saat ini di tengah fenomena menteri sedan bernegosiasi di DPRD meminta tambahan anggaran, seperti Kementerian HAM yang ingin menambah anggaran menjadi 20 Triliun dari sebelumnya 64 Miliar, Kementerian PU yang meminta tambahan 60,6 Triliun, belum termasuk kementerian teknis lainnya yang mengajukan anggaran begitu fantastis.Â
Belum lagi, usulan penambahan anggaran yang diajukan oleh salah satu Kemenko adalah untuk pembangunan gedung kantor baru serta pengadaan mobil dinas. Padahal di Ibu Kota Nusantara (IKN), juga sedang berlangsung pembangunan gedung-gedung kementerian yang anggaran juga sangat jumbo. Tentu ini menjadi masalah, jika akhirnya ternyata anggaran yang diajukan sebatas kepentingan ke dalam, maka penambahan anggaran ini hanyalah sebatas serapan anggaran, bukan diperuntukkan menuntaskan persoalan yang ada di masyarakat.Â
Sebenarnya jika ingin benar-benar memperbaiki sistem perpolitikan di Indonesia bukan soal Pilkada dipilih langsung atau tidak, juga bukan sekadar demi penghematan anggaran. Justru, partai politik yang seharusnya banyak merenung (berkontemplasi) atas proses perpolitikan di Indonesia.Â
Apakah sistem merit yang memperbolehkan siapapun untuk berkompetisi secara sehat sudah terlaksana? Apakah penegakan hukum sudah digunakan sebagaimana mestinya? Apakah anggaran negara yang berasal dari rakyat sudah dikelola sebaik-baiknya? Apakah partai politik sudah sadar kalau mereka sendiri juga adalah rakyat? Serta, Apakah partai politik sudah benar-benar mewakili rakyat atau justru hanya sebatas kendaraan memuat kepentingan segelintir orang?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H