Memang sebagai negara yang besar, secara ideal, Indonesia membutuhkan pendapatan negara yang memadai untuk membiayai banyaknya pembangunan infrastruktur, pembangunan manusia, mengurangi ketergantungan pada utang luar negeri, dan memastikan stabilitas fiskal.
Dalam konteks ini, mungkin pemerintah beralasan bahwa melalui penerimaan PPN memiliki peran signifikan karena kontribusinya yang besar terhadap pendapatan negara.
Di negara mana pun, program pemerintah pastinya diarahkan untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Logikanya, jika pembangunan yang dilakukan pemerintah adalah tepat sasaran, berkeadilan, serta berdampak pada kesejahteraan masyarakat tentu tidak mungkin ada penolakan dari masyarakat atas kenaikan pajak. Tentu masyarakat akan menyambut baik karena merasa sudah mendapat layanan publik yang baik.
Nyatanya, kita di Indonesia sedang dihadapi masyarakat yang 'trust issue' kepada pemerintah. Mulai dari maraknya korupsi dari tingkat pusat hingga daerah, buruknya penegakan hukum, tebang pilihnya pemberantasan korupsi, aparatur negara yang pamer kemewahan, fasilitas negara yang tidak digunakan sebagaimana mestinya, hingga program-program pemerintah yang justru tidak memberikan dampak nyata pada masyarakat.Â
Dengan kenyataan ini, apakah pemerintah masih layak menaikkan pajak di tengah kondisi masyarakat yang 'trust issue'? Seharusnya jawabannya adalah tidak jika pemerintah itu memang benar-benar berasal dari rakyat, karena sejatinya pemerintah yang datang dari rakyat mengetahui persis kondisi rakyatnya.Â
Kita harus akui juga bahwa kenaikan PPN menjadi 12 persen adalah warisan pemerintahan sebelumnya yang harus diselesaikan pemerintahan saat ini. Memang pemerintahan yang baru saat ini baru berjalan beberapa bulan, sehingga tidak cukup alasan untuk menyalahkan. Hanya ada satu harapan yang bisa menyelesaikan persoalan ini yaitu gebrakan langsung dari Presiden Prabowo.
Jika Undang-Undang mengatur kenaikan PPN 12 persen per 1 Januari 2025, maka kemungkinan untuk membatalkannya hanya bisa melalui dua cara yaitu melakukan revisi terhadap Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) atau Presiden Prabowo menerbitkan langsung Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu).
Memang yang paling memungkinkan jika Presiden Prabowo bersedia membatalkan kenaikan PPN adalah melalui penerbitan Perppu Pembatalan PPN, di mana otoritas penerbitan peraturan tersebut sepenuhnya ada pada Presiden Prabowo, ketimbang harus melalui mekanisme revisi undang-undang di Parlemen yang sangat memakan waktu.Â
Dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, penggunaan Perppu sudah diatur dalam pasal 22 ayat (1), di mana bunyinya, "Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang."
Kalau pasal tersebut dibelah, maka unsur utama dari pembentukan Perppu adalah adanya 'hal ihwal kegentingan yang memaksa'. Memang dalam Konstitusi tidak ada diatur secara jelas apa saja kategori dan kriteria 'hal ihwal yang memaksa', artinya unsur tersebut sepenuhnya diputuskan oleh otoritas Presiden.
Memang sebelumnya sudah terdapat Putusan Mahkamah Konstitusi 138/PUU-VII/2009 terkait Hal ihwal kegentingan yang memaksa, dimana diputuskan 3 (kategori) yaitu adanya kebutuhan yang mendesak, adanya kekosongan hukum, atau kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat undang-undang melalui prosedur biasa karena akan memerlukan waktu yang cukup lama sedangkan keadaan yang mendesak tersebut memerlukan kepastian untuk diselesaikan.