Sebagai negara yang menganut sistem demokrasi, pemilihan umum merupakan salah satu instrumen penting sebagai wujud nyata dari sistem demokrasi dalam pemerintahan di Indonesia. Hal tersebut juga tertuang dalam konstitusi Indonesia pasal Pasal 1 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 yang berbunyi “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar.” Kedaulatan rakyat tersebut diwujudkan melalui pemilihan umum untuk melaksanakan tugas pemerintahan sebagaimana yang dimaksud dalam konstitusi. Pemilihan Umum pada tahun 2024 menjadi isu yang hangat di kalangan masyarakat bahwa tahun 2024 akan dilaksanakan secara bersamaan pemilihan umum presiden dan wakil presiden, pemilihan gubernur, bupati dan walikota juga. Artinya tidak ada pilkada pada tahun 2022 dan 2023.
Sebagaimana diatur dalam Pasal 201 ayat (8) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota bahwa “pemilihan gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, serta walikota dan wakil walikota di seluruh wilayah negara kesatuan Republik Indonesia secara nasional diadakan serentak pada tahun 2024.” Akibat penundaan pilkada pada tahun 2022 dan 2023 menyebabkan terjadinya masa transisi yang cukup panjang, dan sebagian besar mengalami kekosongan jabatan kepala daerah untuk jangka waktu yang relatif lama yaitu 2 sampai 3 tahun hingga pelaksanaan pemilu 2024 nanti.
Sejak Mei 2022, Kementerian Dalam Negeri memulai gelombang pengangkatan penjabat kepala daerah. Dimulai dari Gubernur Banten, Gubernur Sulawesi Barat, Bangka Belitung, Gorontalo, dan Papua Barat pada 12 Mei 2022. Tahun 2023 ini jumlah penjabat kepala daerah bertambah 65 orang, sehingga bila diakumulasi jumlah penjabat kepala daerah secara total tahun ini sebanyak 170 orang. Landasan Hukum pengangkatan penjabat kepala daerah tersebut tertuang dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota pasal 201 ayat 9 bahwa, “untuk mengisi kekosongan jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, Walikota dan Wakil Walikota yang berakhir masa jabatannya pada tahun 2022 sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan yang berakhir masa jabatannya pada tahun 2023 sebagaimana dimaksud pada ayat (5).
Diangkat Penjabat Gubernur, Penjabat Bupati, dan Penjabat Walikota sampai dengan terpilihnya Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota melalui pemilihan serentak nasional pada tahun 2024.” Sebagai dasar hukum pengangkatan penjabat kepala daerah, undang-undang tersebut tidak mengatur lebih jauh berkaitan dengan mekanisme pengangkatan penjabat. Hal ini kemudian menuai berbagai problematika pada proses pengisian jabatan penjabat kepala daerah pada masa transisi menjelang Pilkada serentak 2024. Pengaturan tentang kewenangan penjabat kepala daerah juga tidak diatur secara khusus dalam undang-undang tersebut mulai dari kewajiban, perlindungan hukum, serta sanksi dan lain sebagainya sebagai dasar pijakan dalam memimpin suatu daerah.
Di tengah tahun politik, isu berikutnya adalah revisi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara atau ASN menghapuskan keberadaan Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN). Rencana kebijakan ini membuat persoalan terkait dengan ASN dan birokrasi makin jauh dari perbaikan. Persoalan tersebut misalnya terkait fenomena jual beli jabatan hingga netralitas ASN yang rawan dipolitisasi, utamanya menjelang dan dalam perhelatan pemilu khususnya pengangkatan dan pengawasan penjabat kepala daerah. Pembubaran ini menguatkan politisasi birokrasi dan birokrasi berpolitik. Padahal idealnya KASN seharusnya menjadi lembaga negara yang mandiri dan bebas dari intervensi politik untuk menciptakan Pegawai Aparatur Sipil Negara yang profesional dan berkinerja, memberikan pelayanan secara adil dan netral, serta menjadi perekat, dan pemersatu bangsa.
Kontroversi Pengangkatan Penjabat Kepala Daerah dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016
Pengaturan pengangkatan penjabat kepala daerah dinilai masih belum jelas. Dalam pelaksanaanya, pengaturan tersebut tersebar di berbagai macam peraturan perundang-undangan sehingga belum memberikan dasar hukum yang kuat. Pengangkatan penjabat kepala daerah dilakukan ketika kepala daerah dan wakil kepala daerah definitif berhalangan tetap baik karena diberhentikan maupun berhenti karena akan memasuki akhir masa jabatan. Pengangkatan penjabat kepala daerah menjelang pemilu serentak 2024 menggunakan mekanisme pengangkatan atas persetujuan Menteri Dalam Negeri yang nantinya akan ditetapkan oleh Presiden. Landasan Hukum pengangkatan penjabat kepala daerah tersebut tertuang dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota pasal 201 ayat 9, 201 ayat 10, dan pasal 201 ayat 11 yang bunyinya sebagai berikut:
Pasal 201 ayat 9
“Untuk mengisi kekosongan jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota yang berakhir masa jabatannya tahun 2022 sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan yang berakhir masa jabatannya pada tahun 2023 sebagaimana dimaksud pada ayat (5), diangkat penjabat Gubernur, penjabat Bupati, dan penjabat Walikota sampai dengan terpilihnya Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota melalui Pemilihan serentak nasional pada tahun 2024.”
Pasal 201 ayat 10
“Untuk mengisi kekosongan jabatan Gubernur, diangkat penjabat Gubernur yang berasal dari jabatan pimpinan tinggi madya sampai dengan pelantikan Gubernur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.”
Pasal 201 ayat 11
“Untuk mengisi kekosongan jabatan Bupati/Walikota, diangkat penjabat Bupati/Walikota yang berasal dari jabatan pimpinan tinggi pratama sampai dengan pelantikan Bupati, dan Walikota sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.”
Selain persoalan ketidakjelasan pengaturan sebagai landasan pengangkatan yang memuat mekanisme yang komprehensif, persoalan kewenangan penjabat kepala daerah juga menuai perdebatan. Bahwa tidak adanya pengaturan terkait batasan-batasan kewenangan dalam menjalankan jabatan penjabat kepala daerah. Dalam praktik pelaksanaanya sebagaimana yang dijelaskan dalam pasal 201 ayat 10 bahwa penjabat gubernur diisi oleh pimpinan tinggi madya dari kementerian/lembaga, dan penjabat bupati/walikota diisi oleh pimpinan tinggi pratama dari kementerian/lembaga sebagaimana yang dijelaskan dalam pasal 201 ayat 11. Jika ditinjau dari teori kewenangan, wewenang yang dimiliki penjabat kepala daerah tidak hanya bersifat atributif, akan tetapi penjabat kepala daerah juga memperoleh wewenang delegatif yang diperoleh dari Presiden dan Menteri Dalam Negeri.
Dalam Pasal 1 angka 1 Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2016 tentang Tata Cara Pelantikan Gubernur, Bupati, Walikota dan Wakil Walikota mengatur bahwa “Penjabat Gubernur, Penjabat Bupati, Penjabat Walikota, adalah pejabat yang ditetapkan oleh Presiden untuk Penjabat Gubernur dan pejabat yang diangkat oleh Menteri untuk penjabat Bupati dan Penjabat Walikota untuk melaksanakan tugas, wewenang, dan kewajiban Gubernur, Bupati dan Walikota dalam kurun waktu tertentu”. Berdasarkan ketentuan tersebut dapat disimpulkan bahwa kewenangan dan tugastugas yang dimiliki penjabat kepala daerah secara normatif merujuk pada kewenangan dan tugas-tugas yang dimiliki kepala daerah definitif seperti, mengajukan rancangan perda, menetapkan perda yang telah mendapat persetujuan bersama DPRD, menetapkan peraturan kepala daerah dan keputusan kepala daerah, mengambil tindakan tertentu dalam keadaan mendesak yang sangat dibutuhkan oleh daerah dan/atau masyarakat, melaksanakan wewenang lain sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.
Meskipun penjabat kepala daerah melaksanakan tugas sebagaimana seharusnya seorang pejabat definitif, terdapat beberapa kewenangan yang tidak diperbolehkan baik berupa keputusan maupun tindakan seperti, melakukan mutasi pegawai, membatalkan perizinan yang telah dikeluarkan oleh pejabat sebelumnya dan/atau mengeluarkan perizinan yang bertentangan dengan yang bertentangan dengan pejabat sebelumnya, membuat kebijakan tentang pemekaran daerah yang bertentangan dengan kebijakan pejabat sebelumnya, dan membuat kebijakan penyelenggaraan pemerintahan dan program pembangunan pejabat sebelumnya. Kewenangan yang tidak diperbolehkan tersebut diatur di dalam berbagai peraturan perundang-undangan. Hal tersebut dinilai dapat menimbulkan ketidakpastian hukum. Dari sisi pembentukan peraturan perundang-undangan, Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 belum memenuhi tahapan pembuatan peraturan perundang-undangan yang pada dasarnya dimulai dari perencanaan, persiapan, teknik penyusunan, perumusan, pembahasan, pengesahan, pengundangan, dan penyebarluasan. Seharusnya dalam pembentukan undang-undang terdapat perencanaan yang matang dalam setiap muatan pasal, sehingga apabila diturunkan ke peraturan teknis terdapat dasar hukum yang kuat. Pasal 5 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 menyebutkan secara eksplisit bahwa membentuk peraturan perundang-undangan harus dilakukan berdasarkan pada asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang baik yang meliputi:
a. kejelasan tujuan;
b. kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat;
c.kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan;
d. dapat dilaksanakan;
e. kedayagunaan dan kehasilgunaan;
f. kejelasan rumusan; dan
g. keterbukaan.
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 sebagai landasan hukum pengangkatan penjabat kepala daerah belum memenuhi asas kejelasan tujuan, kejelasan rumusan, dan keterbukaan. Hal tersebut dapat ditemukan bahwa hanya terdapat 3 pasal yang mengatur pengangkatan penjabatan kepala daerah, dan pasal tersebut tidak menjelaskan secara detail dan pengaturan teknis lanjutan. Ketidakjelasan dan ketidak terbukaan payung hukum ini tentu membawa dampak pada ketidakoptimalan penyelenggaran pemerintahan di daerah mengingat para penjabat kepala daerah ini menjabat untuk waktu yang tidak sebentar. Seharusnya pemerintah memperjelas kewenangan yang dimiliki salah satunya dengan menerbitkan suatu aturan khusus sebagai payung hukum untuk ditaati dan menjadi pegangan para penjabat dalam memimpin daerahnya masing-masing.
Robert Dahl menilai demokrasi hanya dapat dibangun dengan partisipasi di mana semua warga masyarakat memiliki kesempatan yang sama untuk serta dan berperan aktif dalam mendiskusikan masalah-masalahnya dan ikut serta dalam mengambil keputusan. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa tanpa partisipasi warga masyarakat dalam penyelenggaraan kekuasaan negara, sebuah negara tidaklah dapat dikatakan sebagai negara yang demokratis. Penjabat kepala daerah yang tidak dipilih langsung oleh rakyat tidak memperoleh legitimasi yang kuat dari rakyat. Hal ini memunculkan kekhawatiran akan jabatan yang tidak didedikasikan untuk rakyat, karena mereka ditunjuk oleh pusat sehingga berpotensi terikat pada kepentingan maupun program-program dari pemberi jabatan. Oleh karena itu jika menjabat dalam jangka waktu yang lama dikhawatirkan jabatan tersebut akan lebih mudah diintervensi oleh kekuasaan di atasnya. Penjabat yang diangkat dikhawatirkan akan lebih mementingkan kepentingan pemberi jabatan dibandingkan dengan rakyat yang dipimpinnya. Oleh karena itu seharusnya, Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 juga harus mengatur terkait mekanisme pengawasan penjabat kepala daerah baik lembaga-lembaga pemerintah mana saja yang akan mengawasi penjabat kepala daerah dalam menjalankan pemerintahan di daerah, sehingga tercapai check and balances dalam penyelenggaran pemerintahan.
Urgensi Penguatan Keberadaan Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) dalam Mengawasi Kewenangan Penjabat Kepala Daerah
Bahwa untuk menjamin kesinambungan pembangunan dan pelayanan publik di daerah, pada daerah yang mengalami kekosongan jabatan gubernur, bupati, dan walikota perlu diangkat penjabat gubernur yang berasal dari jabatan pimpinan tinggi madya serta penjabat bupati dan penjabat wali kota yang berasal dari jabatan pimpinan tinggi pratama. Dalam peraturan teknisnya yaitu Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2024 tentang Penjabat Gubernur, Penjabat Bupati, dan Penjabat Walikota mengatur terkait Persyaratan, Pengusulan, Pembahasan, Pelantikan, hak keuangan, hak protokoler, dan pengawasan. Terkait pengawasan dan pembinaan diatur dalam beberapa pasal diantaranya:
Pasal 17
(1) Menteri melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap penyelenggaraan pemerintahan daerah provinsi yang dilaksanakan oleh Pj Gubernur dan penyelenggaraan pemerintahan daerah kabupaten/kota yang dilaksanakan oleh Pj Bupati dan Pj Wali Kota. (2) Gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap penyelenggaraan pemerintahan daerah kabupaten/kota yang dilaksanakan oleh Pj Bupati dan Pj Wali Kota.
(3) Pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai pembinaan dan dan pengawasan penyelenggaraan pemerintahan daerah.
Pasal 19
(1) Menteri melakukan evaluasi kinerja Pj Gubernur berdasarkan hasil pembinaan, pengawasan, dan laporan pertanggungjawaban yang telah disampaikan oleh Pj Gubernur. (2) Dalam hal tertentu, Menteri dapat langsung menugaskan Inspektorat Jenderal bersama dengan unit kerja di lingkungan Kementerian Dalam Negeri terkait untuk melakukan evaluasi berdasarkan hasil pembinaan, pengawasan, dan laporan pertanggungjawaban terhadap kinerja Pj Gubernur. (3) Hasil evaluasi kinerja Pj Gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) disampaikan kepada Presiden
Pasal 21
Dalam hal tertentu, Menteri dapat langsung menugaskan Inspektorat Jenderal bersama dengan unit kerja di lingkungan Kementerian Dalam Negeri terkait untuk melakukan evaluasi berdasarkan hasil pembinaan, pengawasan, dan laporan pertanggungjawaban terhadap kinerja Pj Bupati dan Pj Wali Kota..
Berdasarkan analisis Permendagri tersebut, pembinaan dan pengawasan yang dilakukan adalah oleh internal Kementerian Dalam Negeri sebagai instansi pembina. Pasal 17 ayat 3 juga menggunakan pembinaan dan dan pengawasan penyelenggaraan pemerintahan daerah pada umumnya. Apabila melihat realita di lapangan, bahwa penjabat kepala daerah yang dilantik mayoritas berasal dari pejabat dari lingkungan Kementerian Dalam Negeri, TNI, POLRI, dan kementerian lainnya. Artinya dari sisi pengawasan akan menjadi kurang optimal karena pengawas dan yang diawasi merupakan dari lingkungan yang sama atau masih memiliki hubungan dekat. Selain berpotensi menimbulkan intervensi kekuasaan, legitimasi yang lemah juga berpotensi membuat hubungan penjabat kepala daerah dengan DPRD tidak harmonis. Hal ini didasarkan pada posisi legitimasi antara penjabat kepala daerah dan DPRD yang tidak seimbang, di mana DPRD yang dipilih langsung oleh rakyat daerah akan memiliki legitimasi yang lebih kuat dibanding penjabat kepala daerah yang ditunjuk oleh eksekutif (pemerintah pusat). Kewenangan pengisian jabatan penjabat kepala daerah ini ada pada pemerintah pusat, namun tidak seharusnya proses pengisian dilakukan secara tertutup dan dibuat seolah eksklusif hanya melibatkan pejabat negara saja. Sementara masyarakat sipil yang akan menerima dampak langsung dari jabatan kepemimpinan tersebut tidak dilibatkan.
Isu berikutnya yang muncul adalah pasca revisi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN) yang disahkan pada 3 Oktober 2023 menyisakan persoalan mendasar yang berdampak besar pada upaya reformasi birokrasi. Hilangnya Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) hasil revisi Undang-Undang ASN merupakan langkah mundur reformasi birokrasi. Tak hanya itu, dibubarkannya KASN juga merupakan bentuk pengabaian terhadap rekomendasi Tim Percepatan Reformasi Hukum Kemenko Polhukam yang telah diserahkan ke Presiden Joko Widodo. Tim yang dibentuk Kemenko Polhukam tersebut merekomendasikan penguatan peran KASN untuk mengawasi seleksi pejabat publik daerah. Padahal pada waktu seperti inilah perlunya adalah lembaga negara yang mengawasi keberadaan ASN, menjaga netralitas ASN, dan lainnya yang merupakan tugas, pokok, dan fungsi KASN. Dalam upaya reformasi birokrasi, KASN mempunyai peran penting dan strategis. Sebagai lembaga nonstruktural yang mandiri dan bebas dari intervensi politik. KASN berperan mengawal netralitas ASN dan berwenang mengawasi setiap tahapan proses pengisian Jabatan Pimpinan Tinggi, mulai dari pembentukan panitia seleksi instansi, pengumuman lowongan, pelaksanaan seleksi, pengusulan nama calon, penetapan, dan pelantikan Pejabat Pimpinan Tinggi.
Dalam halnya pengawasan penjabat kepala daerah, KASN seharusnya menjadi lembaga pengawas eksternal yang sangat dibutuhkan. Bahwa keberadaan KASN merupakan lembaga nonstruktural yang mandiri dan bebas dari intervensi politik. Dengan kewenangan yang dimiliki oleh KASN seharusnya menjadi lebih legowo untuk melaksanakan pengawasan terhadap keberadaan penjabat kepala daerah apalagi menjelang pemilu 2024. Beberapa tugas KASN yang berhubungan langsung dengan pengawasan penjabat kepala daerah adalah menjaga netralitas Pegawai ASN, melakukan pengawasan atas pembinaan profesi ASN, menerima laporan terhadap pelanggaran norma dasar serta kode etik dan kode perilaku Pegawai ASN, melakukan penelusuran data dan informasi atas prakarsa sendiri terhadap dugaan pelanggaran norma dasar serta kode etik dan kode perilaku Pegawai ASN, serta melakukan upaya pencegahan pelanggaran norma dasar serta kode etik dan kode perilaku Pegawai ASN.
KASN selama ini tidak dibekali dengan kewenangan yang mumpuni dalam menjalankan tugas dan fungsinya. KASN sekadar memberikan rekomendasi kepada Pejabat Pembina Kepegawaian (PPK). Apabila tidak ditindaklanjuti oleh PPK, maka KASN bisa memberikan rekomendasi kepada Presiden untuk memberikan sanksi kepada kepada PPK yang tidak menindaklanjuti Keputusan KASN. Memang secara kelembagaan, keberadaan KASN belum menunjukkan upaya yang optimal hal tersebut juga didasari atas tupoksi yang terbatas dalam undang-undang ASN sebelum revisi. Hilangnya KASN juga menjadi semakin krusial mengingat model birokrasi Indonesia yang menempatkan pejabat politik sebagai atasan birokrasi menjadi faktor pendorong politisasi ASN. Fungsi Pengawasan dan menjaga meritokrasi terlalu besar jika hanya dilekatkan kepada KemenPANRB. Self Evaluation tidak memadai, perlu pengawas independen yang mandiri dan bebas dari intervensi politik untuk mencegah pemanfaatan ASN bagi kepentingan politik tertentu atau menjadi mesin politik bagi penguasa. Seleksi terbuka yang dikawal KASN untuk memberi kesempatan kepada yang berkompeten menempati posisi sesuai bidangnya memperkecil adanya praktek kolusi, kompromi dan nepotisme. Dengan dibubarkannya KASN maka penjamin pelaksanaan sistem merit yang mengedepankan kualifikasi dan kompetensi dalam rekrutmen akan melemah. Padahal kualifikasi dan kompetensi menjadi kunci dalam optimalnya pelayanan publik.
Oleh karena itu, revisi Undang-Undang ASN seharusnya memperkuat kewenangan KASN dan sistem pengawasan-pembinaan terhadap kinerja kepala daerah. Sebagai bagian dari reformasi birokrasi yang kontinuitas, maka selayaknya kewenangan KASN diperkuat baik secara kelembagaan yaitu keberadaan KASN akan menjadi tetap selama berjalannya reformasi birokrasi di Indonesia maupun secara kewenangan yaitu dengan memperkuat legitimasi penjatuhan sanksi oleh KASN yang sifatnya mengikat dan memaksa.
Kesimpulan
Pengisian jabatan kepala daerah menuai persoalan dan dinamika diantaranya mekanisme pengangkatan yang dilakukan sepihak oleh pemerintah pusat tidak mendasarkan pada peraturan hukum yang jelas. Peraturan yang masih tersebar di berbagai jenis peraturan perundang-undangan. Ketiadaan acuan yang memadai sebagai dasar pengangkatan mengakibatkan terjadinya pengangkatan penjabat yang dilakukan secara tertutup dan minim partisipasi publik, sehingga legitimasi penjabat yang diangkat cenderung lemah. Hal ini kemudian memunculkan kekhawatiran akan timbulnya berbagai macam potensi masalah dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. Oleh karena itu, penting dilakukannya pengawasan baik secara internal maupun eksternal terhadap penjabat kepala daerah. Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) merupakan pilar penting dalam mewujudkan pencapaian tujuan reformasi birokrasi. KASN seharusnya menjadi lembaga negara yang mandiri dan bebas intervensi politik yang diperkuat sebagai pengawas eksternal. Keberadaan KASN seharusnya diperkuat dengan mempertajam kelembagaan dan kewenangannya, bukan malah sebaliknya menghapuskan lembaga tersebut melalui revisi undang-undang ASN.
Saran
Sebagai solusi penulis memberikan saran sebagai berikut:
Meskipun KASN sudah dibubarkan melalui revisi UU ASN, KASN tetap melakukan pengawasan hingga pelaksanaan penjabat kepala daerah berakhir sampai pemilu 2024. Presiden dapat membentuk Perppu sebagai landasan keberadaan KASN.
Melakukan pembentukan Undang-Undang Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) baru. Di mana terdapat undang-undang yang secara khusus mengatur keberadaan KASN.
Dalam undang-undang tersebut, menyebutkan secara eksplisit keberadaan KASN akan ada sepanjang pelaksanaan reformasi birokrasi.
Mempertajam kewenangan KASN dengan menambahkan salah satu kewenangan yaitu memberikan sanksi yang sifatnya mengikat dan memaksa, sehingga tidak hanya sekadar rekomendasi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H