Mohon tunggu...
Nicholas Martua Siagian
Nicholas Martua Siagian Mohon Tunggu... Lainnya - Direktur Eksekutif Asah Kebijakan Indonesia, Penyuluh Antikorupsi Ahli Muda Tersertifikasi LSP KPK, Peneliti, Tim Ahli

Reformasi Birokrasi, Perbaikan Sistem,Keuangan Negara, Pencegahan Korupsi, dan Inovasi. Seorang sivitas akademik Fakultas Hukum Universitas Indonesia yang menerima penghargaan dari Pimpinan KPK pada tahun 2021 sebagai Penyuluh Antikorupsi Inspiratif. Saya merupakan Awardee Beasiswa Unggulan Puslapdik Kemendiknbud RI.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Eksistensi Peran Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN)

14 Desember 2023   18:02 Diperbarui: 14 Desember 2023   18:17 290
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Penulis menjadi Narasumber terkait Pelaporan Permasalahan Maladministrasi Pelayanan Publik. Dokpri

Sebagai negara yang menganut sistem demokrasi, pemilihan umum merupakan salah satu instrumen penting sebagai wujud nyata dari sistem demokrasi dalam pemerintahan di Indonesia. Hal tersebut juga tertuang dalam konstitusi Indonesia pasal Pasal 1 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 yang berbunyi “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar.” Kedaulatan rakyat tersebut diwujudkan melalui pemilihan umum untuk melaksanakan tugas pemerintahan sebagaimana yang dimaksud dalam konstitusi. Pemilihan Umum pada tahun 2024 menjadi isu yang hangat di kalangan masyarakat bahwa tahun 2024 akan dilaksanakan secara bersamaan pemilihan umum presiden dan wakil presiden, pemilihan gubernur, bupati dan walikota juga. Artinya tidak ada pilkada pada tahun 2022 dan 2023.

Sebagaimana diatur dalam Pasal 201 ayat (8) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota bahwa “pemilihan gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, serta walikota dan wakil walikota di seluruh wilayah negara kesatuan Republik Indonesia secara nasional diadakan serentak pada tahun 2024.” Akibat penundaan pilkada pada tahun 2022 dan 2023 menyebabkan terjadinya masa transisi yang cukup panjang, dan sebagian besar mengalami kekosongan jabatan kepala daerah untuk jangka waktu yang relatif lama yaitu 2 sampai 3 tahun hingga pelaksanaan pemilu 2024 nanti.

Sejak Mei 2022, Kementerian Dalam Negeri memulai gelombang pengangkatan penjabat kepala daerah. Dimulai dari Gubernur Banten, Gubernur Sulawesi Barat, Bangka Belitung, Gorontalo, dan Papua Barat pada 12 Mei 2022. Tahun 2023 ini jumlah penjabat kepala daerah bertambah 65 orang, sehingga bila diakumulasi jumlah penjabat kepala daerah secara total tahun ini sebanyak 170 orang. Landasan Hukum pengangkatan penjabat kepala daerah tersebut tertuang dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota pasal 201 ayat 9 bahwa, “untuk mengisi kekosongan jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, Walikota dan Wakil Walikota yang berakhir masa jabatannya pada tahun 2022 sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan yang berakhir masa jabatannya pada tahun 2023 sebagaimana dimaksud pada ayat (5).

Diangkat Penjabat Gubernur, Penjabat Bupati, dan Penjabat Walikota sampai dengan terpilihnya Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota melalui pemilihan serentak nasional pada tahun 2024.” Sebagai dasar hukum pengangkatan penjabat kepala daerah, undang-undang tersebut tidak mengatur lebih jauh berkaitan dengan mekanisme pengangkatan penjabat. Hal ini kemudian menuai berbagai problematika pada proses pengisian jabatan penjabat kepala daerah pada masa transisi menjelang Pilkada serentak 2024. Pengaturan tentang kewenangan penjabat kepala daerah juga tidak diatur secara khusus dalam undang-undang tersebut mulai dari kewajiban, perlindungan hukum, serta sanksi dan lain sebagainya sebagai dasar pijakan dalam memimpin suatu daerah.

Di tengah tahun politik, isu berikutnya adalah revisi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara atau ASN menghapuskan keberadaan Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN). Rencana kebijakan ini membuat persoalan terkait dengan ASN dan birokrasi makin jauh dari perbaikan. Persoalan tersebut misalnya terkait fenomena jual beli jabatan hingga netralitas ASN yang rawan dipolitisasi, utamanya menjelang dan dalam perhelatan pemilu khususnya pengangkatan dan pengawasan penjabat kepala daerah. Pembubaran ini menguatkan politisasi birokrasi dan birokrasi berpolitik. Padahal idealnya KASN seharusnya menjadi lembaga negara yang  mandiri dan bebas dari intervensi politik  untuk menciptakan Pegawai Aparatur Sipil Negara yang profesional dan berkinerja, memberikan pelayanan secara adil dan netral, serta menjadi perekat, dan pemersatu bangsa.

Penulis menjadi Narasumber Pembentukan Desa Antikorupsi. Dokpri
Penulis menjadi Narasumber Pembentukan Desa Antikorupsi. Dokpri

Kontroversi Pengangkatan Penjabat Kepala Daerah dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016

Pengaturan pengangkatan penjabat kepala daerah dinilai masih belum jelas. Dalam pelaksanaanya, pengaturan tersebut tersebar di berbagai macam peraturan perundang-undangan sehingga belum memberikan dasar hukum yang kuat. Pengangkatan penjabat kepala daerah dilakukan ketika kepala daerah dan wakil kepala daerah definitif berhalangan tetap baik karena diberhentikan maupun berhenti karena akan memasuki akhir masa jabatan. Pengangkatan penjabat kepala daerah menjelang pemilu serentak 2024 menggunakan mekanisme pengangkatan atas persetujuan Menteri Dalam Negeri yang nantinya akan ditetapkan oleh Presiden. Landasan Hukum pengangkatan penjabat kepala daerah tersebut tertuang dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota pasal 201 ayat 9, 201 ayat 10, dan pasal 201 ayat 11 yang bunyinya sebagai berikut:

Pasal 201 ayat 9

“Untuk mengisi kekosongan jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota yang berakhir masa jabatannya tahun 2022 sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan yang berakhir masa jabatannya pada tahun 2023 sebagaimana dimaksud pada ayat (5), diangkat penjabat Gubernur, penjabat Bupati, dan penjabat Walikota sampai dengan terpilihnya Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota melalui Pemilihan serentak nasional pada tahun 2024.”

Pasal 201 ayat 10

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun