Mohon tunggu...
iamliaa 01
iamliaa 01 Mohon Tunggu... Akuntan - Mengkhayal dan bermimpi adalah kesenanganku

Ora Et Labora

Selanjutnya

Tutup

Analisis

Nasionalisme, Radikalisme, Fanatisme, dan Indonesiaku

29 Agustus 2018   00:41 Diperbarui: 29 Agustus 2018   01:27 1718
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Analisis Cerita Pemilih. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Sebagaimana yang kita tahu, Indonesia adalah negara yang terlahir dengan keberagaman suku, budaya, agama, bahas dan ras di dalamnya. Tercipta sebagai negara beragam menjadikan sifat toleransi harus dijunjung tinggi oleh masyarakat. Sikap menghargai dan menghomati satu sama lain menjadi salah satu cara menjaganya.

Namun, yang terjadi justru sebaliknya. Perbedaan membuat orang-orang menjadi bengis bahkan tak berhati, atau mungkin tak bernurani. Pola pikir mereka sudah terkubur oleh sifat radikalisme. Pola pikir adalah hal yang paling fatal dalam pembentukan sifat dan karakter manusia. Kekacauan, kegagalan, dan keputusasaan juga salah satu akibat fatal yang disebabkan oleh pikiran. Dan dewasa ini, orang-orang tampaknya kehilangan kendali atas pikiran mereka sendiri.

Beberapa tahun belakangan, khususnya satu tahun ini, Indonesia sedang mengalami masalah sosial yang sangat memprihatinkan. Keberagaman yang kita miliki yang seharusnya menjadi salah satu harta dan ciri khas bangsa justru menjadi bumerang dan bom penghancur. Bagaimana tidak? Saling memaki, mencaci, menjatuhkan bahkan menghakimi sendiri sepertinya sudah menjadi tradisi baru dalam masyarakat. Siapa yang pantas disalahkan disini? Lingkungan? Pendidikan? Keluarga? Pemerintah? Atau mungkin lebah tepatnya diri anda sendiri? Membingungkan bukan?.

Contoh kecil yang terjadi di Indonesia, terorisme. Terorisme sendiri dapat diartikan sebagai penggunaan kekerasan untuk menimbulkan ketakutan dalam usaha mencapai tujuan (terutama tujuan politik); praktik tindakan teror (menurut KBBI). Tapi yang terpampang nyata, teror tidak hanya sebatas untuk tujuan politik, tapi juga keagamaan. Agama dijadikan umpan saat melakukan teror. Para terorisme tentu punya tujuan atas itu. Apakah pernah tersirat bahwa teroris memecah belah kesatuan dan keragaman melalui agama? Hal sakral yang justru dipermainkan sesuka hati oleh oknum tak bertanggung jawab.

Lalu, "Mengapa harus agama yang dikorbankan?" Pertanyaan yang kerap  muncul saat terorisme melanda. Sebenarnya jawaban nya relatif karena pertanyaan semacam itu akan menimbulkan beragam jawaban sesuai cara pandang dan pola pikir masing-masing orang. Tapi jika ditelaah kembali, maka akan terlihat jelas bahwa alasan teroris selalu menjadikan agama sebagai dasar dalam membuat keributan.

Orang-orang sangat sentimen jika berhubungan dengan agama, padahal belum tentu mereka mengenal betul paham atau kepercayaan mereka. Karena sifat seperti itu, maka menghasut individu atau kelompok dengan alasan agama tidaklah sulit, ditambah lagi dengan sifat yang mudah tersulut emosi begitu mendengar paham mereka dihina tanpa mencari tahu kebenarannya terlebih dahulu.

Kembali lagi pada masalah terorisme, sering dari kita melihat seseorang yang mengaku teroris ataupun seseorang teroris pastilah mengenakan pakaian atau perlengkapan layaknya seorang muslim/muslimah? Mungkin banyak juga yang mengaku agama lain, tetapi di Indonesia, cenderung akan mengaku sebagai seorang muslim/muslimah. Lalu apa reaksi dari masyarakat mendengar berita semacam ini? banyak dari mereka yang langsung menelan bulat-bulat informasi ini walau juga tak sedikit yang menyaring dahulu sebelum menyerap berita semacam ini.

Respon masyarkat semakin memanas setelah mulai jatuhnya korban jiwa. Sebenarnya itu ialah reaksi wajar seseorang yang merasa resah, takut dan tidak nyaman. Mereka akan melakukan hal-hal untuk menutupi rasa itu, tanpa berpikir dahulu sebab akibat daripadanya. Hal ini tentu berimbas pada kehidupan sosial dalam masyarakat, terkhusus dalam lingkungan yang mayoritas muslim.

Mereka dianggap sebagai bagian dari teroris, padahal mereka sendiripun sedang ketakutan akan hadirmya teroris tersebut. Ironis bukan? Tentu. Karena ulah mereka, wanita yang mengenakan cadar dianggap sebagai anggota dari teroris,Hei! Mereka sedang melakukan kewajiban dan tanggung jawab dari agama mereka, dan kita harus hormati.

Apa jika dengan mengatakan wanita muslim yang bercadar serta berpakaian tertutup sebagai bagian dari teroris, menjadi jaminan bahwa wanita atau pihak-pihak yang tidak mengenakan adalah seorang yang tidak berbahaya? Tidak juga.

Salah satu contoh dari tindakan teroris yang cukup menyorot perhatian publik bahkan sampai dunia adalah peristiwa bom bunuh diri yang diledakkan di Gereja Santa Maria Tak Bercela, Ngagel Surabaya, Minggu pagi 13 Mei 2018. Selang beberapa menit, bom juga meledak di dua gereja lain, yaitu GKI Diponegoro dan Gereja Pentakosta.

Tak berhenti sampai disana, pada malam harinya, Rusunawa Wonocolo, Sidoarjo, Jawa Timur yang menjadi sasaran tindakan bejat ini. Selang satu hari setelah itu, tepatnya pada tanggal 14 mei 2018, bom kembali meledak di Markas Polretabes Surabaya, dan mengakibatkan korban meninggal sebanyak 21 orang dan 57 orang lainnya mengalami luka-luka karena terkena ledakan bom tersebut.

Seperti yang terjadi di gereja, petugas kepolisian melihat melalui cctv bahwa ada satu keluarga (maaf) muslim yang datang dan memaksa masuk ke gereja walaupub sudah dihadang oleh pihak security gereja karena terlihat mencurigakan. Tak lama setelah itu, terjadi ledakan besar yang meledakkan mereka sendiri dan orang lain.

Pro dan Kontra mulai bermunculan, banyak yang berpendapat bahwa keluarga itu tidak menyukai kaum Nasrani dan adanya gereja tersebut. Ada yang berkata bahwa itu adalah salah satu cara menyampaikan rasa cinta dan hormat akan paham yang dianut nya (saya sampai heran dengan pemikiran semacam ini).

Dan lebih anehnya lagi, ada pihak yang menyalahkan pemerintah atas peristiwa ini, pemerintah dianggap kurang tanggap dalam menyelesaikan terorisme. Memangnya pemerintah dan pihak-pihak lain bisa tahu kalau akan terjadi peristiwa tersebut? Ada-ada saja.

Berbicara soal radikalisme, sering kali muncul pertanyaan seperti, apa itu radikalisme? Apa penyebabnya? Bagaimana penyebarannya? Dan bagaimana pula cara mengatasinya?. Jawabannya mudah, yaitu pola pikir manusia. Ya, benar. Manusia lah penyebabnya, jadi manusia juga lah yang menjadi kunci penyelesaiannya, dan toleransi adalah cara menyelesaikannya.

Semua orang pasti menginginkan kedamaian dan ketenangan.  Namun ada beberapa oknum yang memiliki hasrat dan tujuan tersendiri yang membuatnya menyukai kericuhan, kegaduhan, kepecahbelahan. Bingung bukan jika berhadapan dengan seseorang yang berpikir demikian? Saya juga. Dan yang lebih membingungkannya lagi, ada juga orang lain yang percaya dan akhirnya ikut-ikutan dengan aksinya.

Melangsungkan aksi demo disertai kekerasan, merusak fasilitas umum dan tempat ibadah, menyebarkan hoax (padahal dirinya sendiri pasti tidak suka apabila dibohongi), mengajak dan menghasut orang lain agar ikut bergabung dengan kelompok atau sekte semacam itu. Saya bingung, apakah itu adalah sikap bodoh atau terlalu mencintai tanah air? Jika ada yang berpendapat bahwa itu adalah bentuk dari cara nya menyatakan cinta pada tanah air, mungkin ia juga salah satu orang yang buta akan arti dari cinta tanah air.

Dan pertanyaan selanjutnya, mengapa banyak oknum-oknum (seperti teroris) banyak memilih negara-negara berkembang, seperti Indonesia untuk dijadikan tempat melangsungkan rencana nya? Menurut saya, ada beberapa faktor yang menyebabkan hal itu. Yang pertama, karena Indonesia juga merupakan salah satu negara yang masih berkembang sampai saat ini adalah karena negara berkembang cenderung mmeiliki cara berpikir yang masih rendah.

Maksudnya disini adalah masyarakat negara berkembang itu kurang memikirkan hal apa yang bisa mereka lkukan untuk meningkatkan derajat hidup mereka, berbeda dengan masyarakat yang hidup di negara maju (ini menurut saya, ya). Lalu yang kedua, intelektual dan rasa ingin tahu di negara maju dan negara berkembang juga sangat berbeda.

Negara berkembang cenderung mudah menyerap informasi yang masuk tanpa menelaah nya terlebih dahulu, dan inilah kelemahan bangsa Indonesia yang paling fatal dan sering dijadikan sasaran empuk para oknum untuk melangsungkan rencananya. Coba bayangkan, jika masyarakat Indonesia selalu memilah dan menyaring dulu inforrmasi yang masuk tanpa menelan mentah-mentah, cekcok dan perpecahan pastinya bisa diminimalisasi.

Dan ada satu lagi fakta di Indonesia yang akhirnya membuat saya begitu tertarik menulis artikel ini, bahkan mungkin bukan saya saja. Indonesia merupakan negara yang mayoritas beragama islam, sehingga pemimpin negara (Presiden) haruslah seorang yang beragama islam, hal itu wajar dan dapat diterima.

Namun yang aneh disini adalah, saat semua sudah sesuai ketentuan dan peraturan, masyarakat tetap saja tidak puas dan selalu menyalahkan pemerintah atas segala yang terjadi, pemerintah seolah menjadi kambing hitam yang hina. Pantaskah? Tidak.

Jika berbicara soal perbedaan saat memilih presiden atau yang lainnya, rasanya tidak perlu sampai menghina, mengucilkan, dan selalu mencari-cari kesalahannya. Memangnya apa yang didapat dari bertindak demikian? Dibayarkah? Diming-imingi harta, jabatan atau semacamnya? Apa harga diri kita serendah itu?

Di sekolah, guru PKN (Pendidikan Kewarganegaraan) saya selalu mengatakan bahwa Indonesia adalah negara demokrasi yang menjadikan pancasila sebagai ideologi negara. "berbeda-beda, tetap satu jua". Jika para pendemo atau orang yang kontra dengan pemerintah itu ditanya, mungkin jawaban mereka juga sama. Tapi, hanya sebatas ucapan di bibir saja.

Mempraktikkan memang tak pernah semudah saat berkata. Jadi sebenanya, masyarakat Indonesia itu bukan tidak pintar, hanya saja kepintaran nya mereka gunakan untuk hal-hal yang sama sekali tidak berefek positif atau menguntungkan bagi siapapun, termasuk diri mereka sendiri. Sayang sekali.

Lalu apa hubungan nya dengan judul saya "Nasionalisme, Radikalisme, dan Fanatisme"? tentu ada. Pertama, nasionalisme dapat kita simpulkan merupakan rasa cinta, hormat kepada tanah air (secara tidak berlebihan). Kedua, Radikalisme dapat disimpulkan sebagai suatu paham yang begitu mendalami nilai-nilai yang dianut sampai ke bagian terdalam, dan biasanya radikalisme berhubungan dengan paham agama (bisa juga dalam bidang politik), dan radikalisme tidka mengenal kata kompromi.

Dan yang terakhir, Fanatisme dapat diartikan sebagai keyakinan (kepercayaan) yang terlalu kuat terhadap sebuah ajaran (politik, agama, dan sebagainya). Setelah membaca semua definisi ini, apakah saudara sudah bisa menangkap hubungan antara ketiganya? Mari kita kumpas habis satu persatu.

Tidak ada salahnya jika kita menghormati, mencintai tanah air kita sendiri, tapi dengan porsi sewajarnya dan itu yang disebut Nasionalisme. Nasionalisme tidak mengajarkan bahwa dengan menjatuhkan bangsa/pihak/negara lain adalah cara untuk menunjukkan rasa itu. Jika seseorang mulai merasa bahwa bangsa nya yang paling benar dan menjatuhkan bangsa lain, artinya sifat radikalisme mulai merasuki diri nya, dan itu bukan sesuatu yang baik.

Radikalisme bisa menumbuhkan sifat egois dalam diri, bahkan bisa sampai menggunakan kekerasan untuk membela paham nya. Dan sifat ini akhirnya berkembang lagi menjadi Fanatisme. Radikalisme dan Fanatisme mempunyai arti yang tidak jauh berbeda. Mereka sama-sama kuat pada kepercayaan dan paham yang mereka anut dan tak segan untuk melakukan tindak kekerasan pada siapapun yang dianggap berbeda pendapat dengan mereka.

Jadi, cintai dan hormatilah negaramu dengan secukupnya dan sepantasnya, tidak perlu berlebihan, segala sesuatu yang berlebihan itu tidak baik dan berujung buruk.

NB : Saya bukan seorang penulis. saya hanya suka menulis dan mengeluarkan semua opini dan apa yang ingin saya utarakan. Artikel saya juga masih sangat jauh dari kata sempurna. Karena sempurna itu judul lagunya 'Andra & The Backbone' hehe. Saya akan sangat senang, jika saudara-saudara sekalian bersedia meluangkan waktu untuk berkomentar atau memberi saran atas artikel saya, agar saya bisa menulis dengan gagasan dan cara penyampaian yang lebih tepat.

Jika ada yang merasa tersinggung atas artikel ini, saya mohon kesediaan untuk dimaafkan. Terimakasih dan selamat membaca :)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun