'Standar TikTok' bisa dibilang merupakan bentuk dominasi budaya yang halus. Atau, meminjam istilah dari Kompasianer Nahlu Hasbi Heriyanto, ini adalah bentuk 'kolonisasi pikiran.'
Di balik itu semua, ada tujuan komersial yang jelas. Istilah 'Racun TikTok' yang sering kita dengar adalah bukti nyata dari fenomena ini.Â
Istilah ini menunjukkan bagaimana platform ini mendorong konsumerisme berlebihan, membuat kita selalu merasa kurang dan terus mengejar hal-hal yang sebenarnya tidak kita butuhkan.
Perilaku mencari validasi di TikTok sejalan dengan penelitian Anugrah Galuh Retno Palupi dan Rakhmaditya Dewi Noorrizki bertajuk Analisis Remaja yang Memiliki Perilaku Narsistik.Â
Remaja dengan perilaku ini sering menunjukkan sisi baik diri mereka untuk mendapatkan pujian dan memuaskan kebutuhan validasi.
Ada dua jenis narsisme yang muncul dalam perilaku ini.Â
Pertama, vulnerability narcissism, di mana seseorang menunjukkan sisi rapuhnya untuk mendapatkan simpati dan perhatian. Misalnya, mereka bisa membuat konten mandi lumpur untuk menarik simpati dan mendapatkan hadiah yang dapat diuangkan.
Kedua, grandiose narcissism, di mana seseorang merasa sangat superior, merasa memiliki hak istimewa, fokus pada kepentingan diri sendiri, dan terus-menerus mencari pujian, sambil kurang peduli terhadap perasaan orang lain.Â
Contohnya adalah banyak komentar tidak masuk akal, seperti istilah "aura magrib" yang sering ditujukan kepada pembuat konten dengan kulit berwarna.
Jika penelitian itu tidak cukup, kamu bisa membaca penelitian berjudul TikTok Use and Psychosocial Factors Among Adolescents: Comparisons of Non-Users, Moderate Users, and Addictive Users, yang dipublikasikan oleh jurnal Psychiatry Research pada Juli 2023.
Penelitian ini menemukan bahwa remaja yang kecanduan TikTok memiliki kondisi kesehatan mental yang buruk.