Salah satu hal yang membuat TikTok digemari adalah algoritmanya yang 'pintar.' Setiap kali kita menonton video, aplikasi ini mempelajari minat kita dan menyajikan konten yang relevan di halaman "For You Page" (FYP).Â
Masalahnya, ketika "tutorial hidup" seseorang dianggap "sukses," yang banyak difilter dan dipromosikan bisa menjadi standar bagi pengguna TikTok. Di situlah banyak petaka muncul.
Mengapa saya bilang petaka? Sebab, TikTok sendiri menyediakan berbagai macam filter—misalnya, seseorang yang berkulit berwarna bisa tampak putih hanya dengan satu klik.Â
Itu baru salah satu contohnya. Apakah konten "tutorial hidup" ini banyak menggunakan filter? Ya, sangat banyak!
Mengadopsi konten TikTok sebagai standar hidup sehari-hari mustahil, sebab hampir semua konten adalah rekayasa untuk meningkatkan engagement. Konten seperti itu sering kali bersifat artifisial dan tidak sesuai untuk dijadikan patokan.
Saya bahkan pernah melihat seorang perempuan menulis di latar videonya, "cowok jelek adalah aib bagi perempuan." Lalu, bagaimana nasib saya? Hahaha.Â
Tapi, apakah semua konten TikTok tidak ada gunanya? Tentu tidak, karena banyak juga kejahatan instansi negara yang dibongkar melalui platform ini.Â
Kolonisasi Pikiran di Era Digital: Bagaimana Standar Palsu TikTok Merusak Generasi Muda?
Remaja masa kini sangat haus akan validasi, dan ini mungkin yang dikhawatirkan pemerintah Australia atau Albo. Media sosial, khususnya TikTok dengan algoritmanya yang 'pintar,' memberikan kepuasan instan tersebut.
Sayangnya, standar kecantikan, kesuksesan, dan kebahagiaan, bahkan 'tutorial hidup' yang ditampilkan di platform ini seringkali tidak realistis.Â
Akibatnya, banyak remaja merasa tertekan untuk mengikuti tren yang tidak sehat, seperti mengemis mandi lumpur demi viral. Lama-kelamaan, tekanan itu bisa berkembang menjadi masalah kesehatan mental.