SETELAH berhasil mendapatkan tempat parkir di antara lautan mobil dan kendaraan bermotor lainnya, kami disambut oleh bentangan hutan bambu seluas kurang lebih 2500 meter persegi.
Minggu, 21 Juli 2024, desiran angin membuat daun-daun bambu menari-nari, menciptakan irama alam yang menenangkan.
Setelah melewati jalanan setapak berkelok, di ujung pandang, sebuah gerbang dari bambu dengan tulisan "Pasar Papringan Ngadiprono" berdiri kokoh, mengundang pelancong seperti saya untuk masuk ke dalam mesin waktu.
Memasuki gerbang itu, bagi yang ingin berbelanja atau sekadar mencecap jajanan khas, diharuskan melewati loket pertukaran uang, mirip-mirip money changer tapi dengan nuansa Jawa tempo dulu.
Pelancong harus menukar uang rupiah dengan mata uang yang disebut "pring" – koin bambu.
Pring ini bercap "Pasar Papringan" di satu sisi dan nilai mata uang di sisi lainnya.
Satu pring memiliki nominal terkecil Rp2.000, dengan kelipatan Rp20.000 dan Rp50.000.
Daftar harga pun menyesuaikan dengan alat pembayaran ini; misalnya, makanan berat dihargai 2-6 pring, sementara produk kerajinan bisa mencapai 15 pring.
Jika kamu tidak memiliki uang tunai, tersedia juga pilihan penukaran melalui QRIS—sebuah kombinasi tradisional dan modern yang unik.
Dengan koin pring di genggaman, kamu bisa berkelana rasa berbagai penganan, kudapan, dan minuman langka!
Ada gemblong dari tepung ketan berlapis gula merah, mendut, glanggem, jenang, srowol, kimpul kukus, lentheng, sego jagung, lontong mangut, dan kopi Temanggung yang pahit manja itu.