Mohon tunggu...
Mahéng
Mahéng Mohon Tunggu... Penulis - Author

Redaktur di Gusdurian.net dan CMO di Tamasya Buku. Penulis feature dan jurnalisme narasi di berbagai media.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Iduladha di Perantauan: Merayakan Kurban dengan Kuwah Beulangong dan Semangat Gotong Royong

18 Juni 2024   15:22 Diperbarui: 19 Juni 2024   08:00 603
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi semangat gotong royong saat perayaan Iduladha (KOMPAS/P RADITYA MAHENDRA YASA)

Takbir berkumandang dengan semarak di kompleks Paradise Loft, Karangmojo, Purwomartani, Kec. Kalasan. Suaranya syahdu, menggetarkan hati siapa pun yang mendengarkannya. Hangatnya udara malam, Minggu, 16 Juni 2024, tak menyurutkan semangat umat Muslim untuk merayakan Iduladha.

Iduladha 1445 Hijriah kali ini terasa begitu spesial. Pasalnya, Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama, dan pemerintah sepakat bahwa 10 Dzulhijjah jatuh pada Senin, 17 Juni 2024.

Meskipun mayoritas umat Islam bersuka cita merayakan Iduladha pada tanggal yang sama, tidak semua orang berkesempatan merasakan kebersamaan itu.

Bagi saya, Iduladha kali ini tetap terasa berbeda. Di ujung telepon, suara ibu terdengar nyaring, bahkan lebih nyaring dari pekikan takbir, menanyakan pertanyaan yang sama, "Pajan wo? (Kapan pulang?)" Pertanyaan template yang sulit saya jawab.

Sudah enam kali Iduladha saya lewati di perantauan, jauh dari keluarga dan kampung halaman. Menyantap leumang, menjahili teman, bersalam-salaman, hingga menikmati kudapan.

Untuk menetralisir rasa rindu, saya berinisiatif memasak salah satu hidangan khas Aceh Rayeuk, Kuwah Beulangong. Sejatinya, hidangan ini dituliskan dengan karakter khusus, ada dua titik di atas huruf o, namun sayangnya Kompasiana belum mendukungnya.

Sebagai saran, mungkin admin Kompasiana dapat mempertimbangkan untuk menambahkan berbagai karakter agar penulisan nama hidangan khas daerah dapat lebih akurat, termasuk saat menulis nama saya, Mahéng, di profil (e) dengan aksen bisa muncul, sementara di badan artikel kadang tidak.

Atau contoh lain, Kylian Mbappé.

Memasak Kuwah Beulangong di Jogja bukan perkara mudah. Bumbu-bumbu khas seperti on teumerui (daun kari), cara menulis o-nya seharusnya juga berbeda, dan kelapa sangrai serta gongseng relatif sulit ditemukan. Di pasar tradisional, banyak yang kebingungan, "Benda apa itu?" Seperti benda aneh bagi mereka ketika saya menanyakan, "Ada daun kari, Bu?" 

Belum lagi memadukannya dengan cita rasa Kuwah Beulangong khas Gampong Paya Baro, Woyla Timur, Aceh Barat, tempat saya lahir dan besar. Untungnya, masih ada harapan. Berkat bantuan ibu melalui telepon, saya bisa memahami langkah-langkahnya dengan lebih detail.

Puncak dari semua tantangan itu adalah memadukan rasa pedas Kuwah Beulangong, atau yang biasa disebut gule sie kameng (gulai daging kambing, e dengan benar juga tidak bisa saya tulis), dengan lidah kami yang terbiasa dengan manisnya masakan Jogja.

Kerja Tim adalah Kuncinya! 

Satu ekor kambing telah terikat di tiang parkir, siap untuk disembelih. Bersama Yai Fatur, Mas Fikri, dan para santri, kami menyembelih kambing dan menyiangnya.

Pak Yai, begitu saya memanggilnya, memimpin takbir penyembelihan dengan lantang. Di tangannya yang cekatan, pisau terayun dengan mantap. Mas Fikri pun tak kalah sigap. Tangannya mencengkeram kuat agar kambing tidak terlepas. Fokus dan hati-hati tergurat di wajah mereka.

Di dapur, suasana tak kalah ramai. Ada yang sibuk menghaluskan bumbu. Di sudut lain, beberapa orang santri cekatan menyiangi daging kambing. Tangan-tangan mereka bergerak lincah, memisahkan daging dari lemak dan tulangnya.

Ketelitian dan ketelatenan mereka menjadi kunci kelembutan dan kelezatan daging nantinya.

Sementara itu, saya, yang masih minim pengalaman memasak, didapuk sebagai 'kepala chef ala-ala'. Tidak saya tolak, inilah kesempatan untuk memberi perintah kepada santri, hahaha.

Semangat gotong royong terasa begitu kental. Saling bahu-membahu, kami mempersiapkan hidangan Iduladha bersama-sama. Semangat kebersamaan inilah yang sedikit mengobati kerinduan saya akan ibu dan kampung halaman.

Awalnya, saya pede bisa menghadirkan rasa Kuwah Beulangong yang otentik dan nikmat. Namun, saat mencicipi, rasa yang saya bayangkan tak kunjung tercapai. Entah karena imajinasi saya yang terlalu tinggi atau memang kemampuan memasak saya yang masih rendah, anggap saja yang kedua. Rasa Kuwah Beulangong buatan kami 'enggak ketemu rasanya'.

Setelah beberapa kali mencoba koreksi rasa, tetap tak kunjung memuaskan, saya pun menyerah. Micin dan penyedap rasa menjadi penyelamat.

"Katanya enggak pakai penyedap," goda Pak Yai Fatur. Tidak saya hiraukan, kadung malu.

Akhirnya, Kuwah Beulangong pun matang! Saat mencicipinya bersama, ekspresi terkejut menghiasi wajah para tim yang perutnya keroncongan. Pedasnya membakar lidah, kening berkerut, bikin mata berselaput.

Keanekaragaman Kuliner Indonesia 

Masakan memang selalu mengundang beragam komentar, termasuk Kuwah Beulangng, dan itu hal yang wajar. Setiap orang memiliki preferensi rasa yang berbeda-beda. 

Pengalaman saya dengan Kuwah Beulangong di Jogja menjadi contoh. Rasa pedasnya yang kuat mungkin tidak cocok bagi semua orang, terutama bagi lidah orang Jogja yang terbiasa dengan rasa manis.

Dikasih gula saja, Mahéng!

Saya bisa memahami konteks adaptasi makanan, untuk berdagang mungkin cocok, meski di sisi lain itu justru mengurangi keotentikan Kuwah Beulangong.

 Kuwah Beulangng versi Ala-ala. Foto: Dok. Farika Maula
 Kuwah Beulangng versi Ala-ala. Foto: Dok. Farika Maula

Lalu apakah Kuwah Beulangong versi kepala chef ala-ala ini bisa disebut makanan khas Aceh? Tentu tidak!

Sama halnya dengan makanan khas Indonesia. Rendang? Memang terkenal hingga ke mancanegara, tapi tidak bisa mewakili Papua. Coto? Sangat identik dengan Makassar, tapi tidak mencerminkan kekayaan rasa Jogja.

Lantas, adakah "makanan" yang bisa mewakili Indonesia?

Mungkin, sejauh ini satu-satunya hidangan khas yang bisa mewakili Indonesia adalah makan uang rakyat, ya mungkin saja. Menurut saya loh ya!

Selamat hari Raya Iduladha!

*** mhg

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun