Puncak dari semua tantangan itu adalah memadukan rasa pedas Kuwah Beulangong, atau yang biasa disebut gule sie kameng (gulai daging kambing, e dengan benar juga tidak bisa saya tulis), dengan lidah kami yang terbiasa dengan manisnya masakan Jogja.
Kerja Tim adalah Kuncinya!
Satu ekor kambing telah terikat di tiang parkir, siap untuk disembelih. Bersama Yai Fatur, Mas Fikri, dan para santri, kami menyembelih kambing dan menyiangnya.
Pak Yai, begitu saya memanggilnya, memimpin takbir penyembelihan dengan lantang. Di tangannya yang cekatan, pisau terayun dengan mantap. Mas Fikri pun tak kalah sigap. Tangannya mencengkeram kuat agar kambing tidak terlepas. Fokus dan hati-hati tergurat di wajah mereka.
Di dapur, suasana tak kalah ramai. Ada yang sibuk menghaluskan bumbu. Di sudut lain, beberapa orang santri cekatan menyiangi daging kambing. Tangan-tangan mereka bergerak lincah, memisahkan daging dari lemak dan tulangnya.
Ketelitian dan ketelatenan mereka menjadi kunci kelembutan dan kelezatan daging nantinya.
Sementara itu, saya, yang masih minim pengalaman memasak, didapuk sebagai 'kepala chef ala-ala'. Tidak saya tolak, inilah kesempatan untuk memberi perintah kepada santri, hahaha.
Semangat gotong royong terasa begitu kental. Saling bahu-membahu, kami mempersiapkan hidangan Iduladha bersama-sama. Semangat kebersamaan inilah yang sedikit mengobati kerinduan saya akan ibu dan kampung halaman.
Awalnya, saya pede bisa menghadirkan rasa Kuwah Beulangong yang otentik dan nikmat. Namun, saat mencicipi, rasa yang saya bayangkan tak kunjung tercapai. Entah karena imajinasi saya yang terlalu tinggi atau memang kemampuan memasak saya yang masih rendah, anggap saja yang kedua. Rasa Kuwah Beulangong buatan kami 'enggak ketemu rasanya'.
Setelah beberapa kali mencoba koreksi rasa, tetap tak kunjung memuaskan, saya pun menyerah. Micin dan penyedap rasa menjadi penyelamat.
"Katanya enggak pakai penyedap," goda Pak Yai Fatur. Tidak saya hiraukan, kadung malu.