Contohnya, beberapa pekan lalu, dua tokoh agama ternama Indonesia terlibat dalam perdebatan sengit tentang hukum musik di channel melalui media sosialnya masing-masing. Saya belum punya informasi apakah kedua tokoh ini pernah bertemu untuk berdiskusi di kehidupan nyata.Â
Akan tetapi, yang saya ketahui, perdebatan ini menjadi semakin panas dan tidak sehat karena kedua belah pihak, terutama para jamaahnya, saling klaim kebenaran dan menyerang satu sama lain.
Padahal, keduanya memiliki dalil dan argumen yang valid, dan berpotensi sama-sama mendekati kebenaran. Mengapa kita harus terjebak dalam binerisme "benar" dan "salah", dan saling menyerang tanpa mencari titik temu?Â
Sebab itu, ketergantungan berlebihan pada teknologi dapat melemahkan kemampuan kita untuk berempati dan memahami kompleksitas emosi dan spiritual manusia.
Algoritma media sosial yang dirancang untuk memaksimalkan engagement dan clickbait sering kali mengantarkan kita pada informasi yang sepihak dan memperkuat bias kognitif, memicu perdebatan online yang tidak sehat dan hilangnya toleransi antar individu maupun kelompok.Â
Prof. Laksono menekankan pentingnya menghargai perbedaan di tengah artifisialisasi. Menyatu bukan berarti berubah, melainkan mengapresiasi, mengakui, dan menghargai perbedaan.
Kita tidak perlu mengubah keyakinan atau tradisi untuk mencintai orang lain. Yang penting adalah mencari titik temu dan membangun interaksi yang saling menghormati antar individu dan kelompok dengan latar belakang yang berbeda.
Mungkin secara fisik kita tidak bisa bersatu, tapi secara spiritual dan melalui media sosial, kita dapat bertemu [mhg].Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H