Mohon tunggu...
Mahéng
Mahéng Mohon Tunggu... Penulis - Author

Redaktur di Gusdurian.net dan CMO di Tamasya Buku. Penulis feature dan jurnalisme narasi di berbagai media.

Selanjutnya

Tutup

Artificial intelligence Artikel Utama

Terjebak Obsesi "Luar Biasa": Artifisialisasi Menggerus Kepekaan dan Keberagaman di Era Digital

14 Mei 2024   09:34 Diperbarui: 16 Mei 2024   07:35 407
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Contohnya, beberapa pekan lalu, dua tokoh agama ternama Indonesia terlibat dalam perdebatan sengit tentang hukum musik di channel melalui media sosialnya masing-masing. Saya belum punya informasi apakah kedua tokoh ini pernah bertemu untuk berdiskusi di kehidupan nyata. 

Akan tetapi, yang saya ketahui, perdebatan ini menjadi semakin panas dan tidak sehat karena kedua belah pihak, terutama para jamaahnya, saling klaim kebenaran dan menyerang satu sama lain.

Padahal, keduanya memiliki dalil dan argumen yang valid, dan berpotensi sama-sama mendekati kebenaran. Mengapa kita harus terjebak dalam binerisme "benar" dan "salah", dan saling menyerang tanpa mencari titik temu? 

Sebab itu, ketergantungan berlebihan pada teknologi dapat melemahkan kemampuan kita untuk berempati dan memahami kompleksitas emosi dan spiritual manusia.

Algoritma media sosial yang dirancang untuk memaksimalkan engagement dan clickbait sering kali mengantarkan kita pada informasi yang sepihak dan memperkuat bias kognitif, memicu perdebatan online yang tidak sehat dan hilangnya toleransi antar individu maupun kelompok. 

Prof. Laksono menekankan pentingnya menghargai perbedaan di tengah artifisialisasi. Menyatu bukan berarti berubah, melainkan mengapresiasi, mengakui, dan menghargai perbedaan.

Kita tidak perlu mengubah keyakinan atau tradisi untuk mencintai orang lain. Yang penting adalah mencari titik temu dan membangun interaksi yang saling menghormati antar individu dan kelompok dengan latar belakang yang berbeda.

Mungkin secara fisik kita tidak bisa bersatu, tapi secara spiritual dan melalui media sosial, kita dapat bertemu [mhg]. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Artificial intelligence Selengkapnya
Lihat Artificial intelligence Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun