Mohon tunggu...
Mahéng
Mahéng Mohon Tunggu... Penulis - Travel Writer

Lahir di Aceh, Terinspirasi untuk Menjelajahi Indonesia dan Berbagi Cerita Melalui Karya

Selanjutnya

Tutup

Artificial intelligence Artikel Utama

Terjebak Obsesi "Luar Biasa": Artifisialisasi Menggerus Kepekaan dan Keberagaman di Era Digital

14 Mei 2024   09:34 Diperbarui: 16 Mei 2024   07:35 280
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi unsplash.com/@visuals

Mungkin secara fisik kita tidak bisa bersatu, tapi secara spiritual dan melalui media sosial, kita dapat bertemu.

Berapa jam sehari kamu habiskan menatap layar gawai? Berapa ribu detik di antaranya terbuang untuk menggulir media sosial? Konten apa yang paling sering muncul di linimasamu?

Di tengah hiruk-pikuk, gonjang-ganjing, serta kegiatan di media sosial, satu hal fundamental mengakar kuat: kegagalan kita untuk menjadi orang biasa. Kita terobsesi untuk menjadi "luar biasa" dan mendapatkan validasi dari orang lain.

Lihat saja di Instagram, foto-foto yang diunggah selalu dipilih dengan angle terbaik, tanpa cacat. Di TikTok, filter bertebaran, memanipulasi realitas menjadi versi yang "luar biasa".

Inilah inti permasalahannya: Ketika semua orang berlomba menjadi luar biasa, makna 'luar biasa' itu sendiri menjadi kabur dan terdistorsi serta tunggal. Orang sukses, misalnya, di media sosial sering didefinisikan sebagai orang kaya raya dengan aset berlimpah.

Pemaknaan tunggal "luar biasa" ini menjadi borgol yang mengunci otak kita. Terjebak dalam pola pikir sempit, menganggap segala sesuatu yang berbeda adalah salah. Kita diciptakan bhineka, tetapi karena ingin menjadi orang luar biasa akhirnya menjadi gagal memahami kebinekaan.

Fenomena obsesi luar biasa tak hanya merajalela dalam kehidupan sosial, tapi juga menginvasi ranah agama. Kita kerap disuguhkan dengan perdebatan dan konflik antarumat beragama yang berakar dari ketidakmampuan untuk memahami dan menerima perbedaan.

Masing-masing pihak bersikukuh bahwa agama, kelompok, dan penafsiran merekalah yang paling luar biasa. Klaim-klaim seperti "agamaku lah yang paling benar", "kelompokku lah yang paling beriman", "kiaku/pendeta/banteku lah yang paling suci", dan "manhajku lah yang paling sempurna" menjadi lumrah terdengar.

Artifisialisasi Kehidupan dan Memudarnya Kepekaan

Era digital, dengan media sosial yang serba cepat dan instan, dibantu kecerdasan buatan, telah membawa dampak signifikan pada manusia, terutama dalam hal kemampuan otak dan kepekaan. Kemampuan manusia untuk menganalisis informasi semakin memudar. 

Hal ini disebabkan oleh kecenderungan untuk mengandalkan informasi instan dan siap saji yang tersedia di media sosial.

Lebih memprihatinkan lagi, kepekaan manusia terhadap sesama pun kian melesap. Kita terbiasa dengan interaksi virtual yang minim empati dan terjebak dalam dunia digital yang penuh dengan ilusi dan manipulasi.

Prof. Dr. Paschalis Maria Laksono, M.A., Guru Besar Antropologi UGM, menyampaikan materi. Foto: Dok Institut DIAN/Interfidei.
Prof. Dr. Paschalis Maria Laksono, M.A., Guru Besar Antropologi UGM, menyampaikan materi. Foto: Dok Institut DIAN/Interfidei.

Menurut Prof. Dr. Paschalis Maria Laksono, M.A., Guru Besar Antropologi di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada, artifisialisasi kehidupan telah memengaruhi semua aspek diri kita, mulai dari cara berpikir, tubuh, ruh atau jiwa.

"Seluruh irama hidup kita, daging dan otot kita, menjadi bagian dari jaringan kecerdasan buatan. Otaknya bukan di kepala kita, otaknya ada di mesin, entah di Amerika sana, entah di Tiongkok, entah di mana," papar Prof. Laksono dalam Diskusi Bulanan Institut DIAN/Interfidei bertajuk Gesekan antara Agama dan Kebudayaan, di Tengah Kuatnya Arus Budaya Teknologi Media Sosial pada Rabu, 8 Mei 2024 lalu.

Dampak artifisialisasi kehidupan tak berhenti pada hilangnya kemampuan otak dan memudarnya kepekaan. Lebih parah lagi, ketergantungan berlebihan pada kecerdasan buatan telah merenggut kendali atas diri kita. 

Setiap proses pengambilan keputusan, bahkan hal cemeh, kini tak lagi kita kuasai. Teknologi AI telah menyusup ke setiap sendi kehidupan kita dengan begitu rumit. 

Dari bangun tidur hingga tidur lagi, hari-hari kita bergantung pada kecerdasan buatan. Algoritma merekomendasikan apa yang harus kita tonton, baca, dengarkan, bahkan beli. AI bahkan mulai berperan dalam metode reproduksi manusia.

Artifisialisasi dan Ancaman Terhadap Keberagaman

Era digital memang membawa banyak manfaat, tetapi juga menimbulkan berbagai tantangan, salah satunya adalah ancaman terhadap keberagaman. 

Cara berpikir yang berubah dan ketergantungan pada teknologi dapat melemahkan toleransi dan mempersempit ruang untuk memahami perbedaan. 

Di dunia maya, perdebatan dan perselisihan yang berujung pertengkaran masih marak terjadi. Identitas kita didefinisikan secara sempit oleh teknologi, melahirkan makna tunggal yang mengabaikan keragaman dan kompleksitas manusia. 

Contohnya, beberapa pekan lalu, dua tokoh agama ternama Indonesia terlibat dalam perdebatan sengit tentang hukum musik di channel melalui media sosialnya masing-masing. Saya belum punya informasi apakah kedua tokoh ini pernah bertemu untuk berdiskusi di kehidupan nyata. 

Akan tetapi, yang saya ketahui, perdebatan ini menjadi semakin panas dan tidak sehat karena kedua belah pihak, terutama para jamaahnya, saling klaim kebenaran dan menyerang satu sama lain.

Padahal, keduanya memiliki dalil dan argumen yang valid, dan berpotensi sama-sama mendekati kebenaran. Mengapa kita harus terjebak dalam binerisme "benar" dan "salah", dan saling menyerang tanpa mencari titik temu? 

Sebab itu, ketergantungan berlebihan pada teknologi dapat melemahkan kemampuan kita untuk berempati dan memahami kompleksitas emosi dan spiritual manusia.

Algoritma media sosial yang dirancang untuk memaksimalkan engagement dan clickbait sering kali mengantarkan kita pada informasi yang sepihak dan memperkuat bias kognitif, memicu perdebatan online yang tidak sehat dan hilangnya toleransi antar individu maupun kelompok. 

Prof. Laksono menekankan pentingnya menghargai perbedaan di tengah artifisialisasi. Menyatu bukan berarti berubah, melainkan mengapresiasi, mengakui, dan menghargai perbedaan.

Kita tidak perlu mengubah keyakinan atau tradisi untuk mencintai orang lain. Yang penting adalah mencari titik temu dan membangun interaksi yang saling menghormati antar individu dan kelompok dengan latar belakang yang berbeda.

Mungkin secara fisik kita tidak bisa bersatu, tapi secara spiritual dan melalui media sosial, kita dapat bertemu [mhg]. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Artificial intelligence Selengkapnya
Lihat Artificial intelligence Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun