Lebih memprihatinkan lagi, kepekaan manusia terhadap sesama pun kian melesap. Kita terbiasa dengan interaksi virtual yang minim empati dan terjebak dalam dunia digital yang penuh dengan ilusi dan manipulasi.
Menurut Prof. Dr. Paschalis Maria Laksono, M.A., Guru Besar Antropologi di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada, artifisialisasi kehidupan telah memengaruhi semua aspek diri kita, mulai dari cara berpikir, tubuh, ruh atau jiwa.
"Seluruh irama hidup kita, daging dan otot kita, menjadi bagian dari jaringan kecerdasan buatan. Otaknya bukan di kepala kita, otaknya ada di mesin, entah di Amerika sana, entah di Tiongkok, entah di mana," papar Prof. Laksono dalam Diskusi Bulanan Institut DIAN/Interfidei bertajuk Gesekan antara Agama dan Kebudayaan, di Tengah Kuatnya Arus Budaya Teknologi Media Sosial pada Rabu, 8 Mei 2024 lalu.
Dampak artifisialisasi kehidupan tak berhenti pada hilangnya kemampuan otak dan memudarnya kepekaan. Lebih parah lagi, ketergantungan berlebihan pada kecerdasan buatan telah merenggut kendali atas diri kita.Â
Setiap proses pengambilan keputusan, bahkan hal cemeh, kini tak lagi kita kuasai. Teknologi AI telah menyusup ke setiap sendi kehidupan kita dengan begitu rumit.Â
Dari bangun tidur hingga tidur lagi, hari-hari kita bergantung pada kecerdasan buatan. Algoritma merekomendasikan apa yang harus kita tonton, baca, dengarkan, bahkan beli. AI bahkan mulai berperan dalam metode reproduksi manusia.
Artifisialisasi dan Ancaman Terhadap Keberagaman
Era digital memang membawa banyak manfaat, tetapi juga menimbulkan berbagai tantangan, salah satunya adalah ancaman terhadap keberagaman.Â
Cara berpikir yang berubah dan ketergantungan pada teknologi dapat melemahkan toleransi dan mempersempit ruang untuk memahami perbedaan.Â
Di dunia maya, perdebatan dan perselisihan yang berujung pertengkaran masih marak terjadi. Identitas kita didefinisikan secara sempit oleh teknologi, melahirkan makna tunggal yang mengabaikan keragaman dan kompleksitas manusia.Â