Melampaui sejarah jauh lebih berat alih-alih mengulanginya.
Setiap kali Timnas Indonesia meraih kemenangan, nama Bung Towel atau Tommy Welly, hampir selalu menghiasi layar gawai dan explore media sosial saya.
Pengamat sepak bola ini kerap melontarkan kritik pedas terhadap Shin Tae-yong (STY), pelatih Timnas, yang memancing reaksi geram dari para netizen. Â
Terlepas dari tepat atau tidaknya kritik Bung Towel, perlu diingat bahwa ini adalah haknya sebagai warga negara. Sama seperti para pembela STY yang juga menggunakan hak mereka untuk mendukung.
Mentalitas bangsa kita memang masih terbilang belum terbiasa dengan kritik. Sehingga, ketika ada yang berbeda pendapat, mereka justru menjadi sasaran perundungan.
Fenomena ini memicu pertanyaan mendasar: Mampukah kita menerima perbedaan pendapat dengan lapang dada? Ataukah budaya cyberbullying akan terus merajalela, menggerogoti ruang diskusi yang sehat dan konstruktif?
Menurut artikel yang ditulis oleh dr. Nadia Octavia bertajuk Orang-Orang Ini Rentan Jadi Korban Bullying, salah satu faktor utama seseorang menjadi korban perundungan adalah karena memiliki "sesuatu yang berbeda" dari mayoritas.Â
Dalam konteks ini, "sesuatu yang berbeda" yang dimiliki Bung Towel adalah pendapatnya tidak sama dengan mayoritas pendukung timnas, termasuk Coach Justin atau Koci.
Mayoritas pendukung timnas, termasuk saya, merasa senang dan puas dengan performa tim nasional di bawah asuhan STY. Namun, saya juga setuju dengan posisi Bung Towel sebagai "pemantau" dan "penjaga" agar kita tidak terlalu terlena dengan euforia, sebab masih banyak PR yang harus kita garap.
Mungkin kamu sering mendengar pembelaan, kritik Bung Towel tidak membangun, ya memang!Â
Kritik memang tidak harus membangun, sebab kata "kritik" sendiri berasal dari bahasa Yunani, "krinein" yang artinya menghakimi, membandingkan, dan menimbang.
Dari kata "krinein" ini muncullah kata "kriterion" yang berarti dasar, pertimbangan, dan penghakiman. Orang yang melakukan pertimbangan dan penghakiman ini disebut "krites", yang artinya hakim.
Selain "krinein", ada satu kata Yunani lagi yang berkaitan dengan kritik, yaitu "clitikos" yang artinya ciri pembeda.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kritik didefinisikan sebagai kecaman atau tanggapan disertai uraian dan pertimbangan baik buruk terhadap suatu hasil karya, pendapat, dan sebagainya.
Singkatnya, kritik adalah pendapat yang berbeda dengan pendapat lain, berdasarkan pengamatan dan analisis yang matang. Kritik ini kemudian diinterpretasikan untuk mendukung atau menentang, setuju atau tidak setuju dengan objek yang dikritik.
Dalam program ROSI Kompas TV pada Kamis malam (25/4/2024), Bung Towel, yang kerap dianggap sebagai public enemy ini, memberikan analisis bahkan pujian tentang performa Timnas U23 Indonesia.
Salah satu pernyataan Bung Towel yang menarik untuk direnungkan adalah ketika ditanya apakah Timnas U23 layak mendapatkan pujian. Jawabannya: "Layak mendapatkan pujian, tapi secukupnya."Â
Pernyataan ini mencerminkan sikap Bung Towel yang kritis namun tetap objektif. Dia mengakui pencapaian Timnas U23 (yang berhasil lolos ke babak semifinal Piala Asia U-23 setelah mengalahkan Korea Selatan di Stadion Abdullah bin Khalifa, Doha, Qatar Jumat dini hari WIB, 26 April 2024).Â
Namun kita juga patut berkaca, Bung Towel juga mengingatkan agar kita tidak berlebihan dalam memberikan pujian.
Dia tidak hanya fokus pada performa tim di lapangan, tetapi juga memperhatikan faktor-faktor lain yang memengaruhi timnas, seperti federasi, pelatih, dan sistem pembinaan pemain muda. Hal ini seringkali luput dari perhatian para suporter seperti kita.
Bung Towel memang sudah cocok sebagai "pemantau" sebagai pengamat sepak bola yang vokal dan berani mengkritik. Posisinya ini sudah tepat, dan kita tidak perlu memintanya untuk mencari solusi.
Justru Shin Tae-yong, sebagai pelatih Timnas dengan gaji fantastis (USD 1 juta per tahun, atau setara Rp 1,1 miliar per bulan, plus tunjangan kendaraan dan apartemen), bertanggung jawab untuk mencari solusi dan membawa tim ke arah yang lebih baik.Â
Tugasnya sudah jelas, dan dia dibayar mahal untuk itu.
Indonesia memang membutuhkan lebih banyak orang seperti Shin Tae-yong dan Bung Towel (serta mungkin Coach Justin). Mereka sama-sama memiliki peran penting dalam memajukan sepak bola Indonesia.
Shin Tae-yong adalah pelatih yang memiliki visi dan misi yang jelas untuk membawa Timnas Indonesia ke level yang lebih tinggi. Bung Towel adalah pengamat sepak bola yang kritis dan objektif.Â
Dia tidak segan-segan melontarkan kritik pedas untuk membangun dan mendorong PSSI dan Shin Tae-yong untuk melakukan perbaikan.
Kedua figur ini, meskipun berbeda dalam pendekatannya, sama-sama memiliki tujuan yang sama: membawa sepak bola Indonesia ke level yang lebih tinggi.
Maka kita butuh akal sehat, fikiran yang jernih, bukan perundungan, atau fanatisme berlebihan untuk melihat keduanya. Seperti yang dikatakan Ade Armando, 'dengan akal sehat, bangsa ini akan selamat.'
Jika sudah begitu, saya meminjam filsafat dialektika Hegel untuk melihat Shin Tae-yong sebagai tesis, Bung Towel adalah antitesis, dan bangsa Indonesia dengan kehebatan sepak bolanya adalah sintesisnya.
Untuk menutup tulisan ini, saya ucapkan selamat untuk Timnas U23 Indonesia lolos ke babak semifinal atau empat besar Piala Asia U23 2024.Â
Kita telah mencetak sejarah, tugas selanjutnya seperti kata Bung Towel, kita 'enggak boleh ahistoris'. Sesungguhnya itulah pekerjaan yang paling berat [mhg].
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H