"Seringkali kemudian kita memaksa dengan flexing kita bahwa yang ada di kampung perlu menjadi kota."
Ia mengingatkan bahwa mudik bukan hanya tentang pulang ke kampung halaman, tetapi juga tentang kembali ke "Tabon", tempat di mana nilai-nilai luhur ditanamkan dan disemai.
"Di sanalah semua anggota keluarga bercengkrama, dan apa pun yang kita bawa dari tempat yang jauh menjadi harmoni di satu tempat," tukas Inayah.
Selama ini, lanjut Inayah, sebagaimana halnya fenomena flexing saat mudik, seni pun seringkali menjadi ajang pamer. Seni dianggap hanya untuk kaum berada, sementara masyarakat bawah hanya menjadi objek bukan subjek.
Pameran Tabon ingin meruntuhkan tembok tersebut. Seni harus inklusif dan mampu menyentuh semua lapisan masyarakat.
Sebab itu, Tabon tidak lagi hanya merujuk pada tempat berkumpul keluarga. Kampung kita, agama kita, masyarakat kita, negara kita, semuanya adalah 'Tabon'.
Pameran Tabon yang berlangsung di gedung utama JNM dengan tiga lantai dan beberapa ruang kecil di dalamnya, menawarkan pengalaman artistik yang unik dan tak biasa.
Ketiga seniman, Alit Ambara, Faisal Kamandobat, dan Samuel Indratma, menghadirkan karya-karya mereka yang sarat pesan dan mengajak para pengunjung untuk merenung dan berefleksi.
Di lantai pertama, diisi oleh karya-karya Samuel Indratma. Ia menghadirkan masyarakat sebagai subjek utama dalam karyanya. Salah satu contohnya adalah mural yang mengajak para masyarakat untuk berpartisipasi dalam proses pembuatannya.
Lantai dua dihiasi karya-karya Faisal Kamandobat yang mengeksplorasi mitologi dan spiritualitas Islam. Salah satu karyanya yang menarik perhatian adalah Kitab Cahaya - Book of Light.
Faisal menjelaskan dalam karya tersebut cahaya dalam fisika dan ilmu alam, yang kemudian dipersepsi oleh mata sebagai sistem pantulan. Dalam tasawuf, hukum-hukum alam ini merupakan manifestasi dari nur ilahi atau cahaya ilahi. Allahu nụrus-samawati wal-arḍ.