Mohon tunggu...
Mahéng
Mahéng Mohon Tunggu... Penulis - Travel Writer

Lahir di Aceh, Terinspirasi untuk Menjelajahi Indonesia dan Berbagi Cerita Melalui Karya

Selanjutnya

Tutup

Ramadan Artikel Utama

Ramadan dan Olah Rasa: Menggali Makna Puasa Lewat Sastra bersama Joni Ariadinata di Sekolah Kebon

25 Maret 2024   12:52 Diperbarui: 26 Maret 2024   05:06 941
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Suasana Ngopi Ramadan di Sekolah Kebon. Foto: Dokumentasi Ponpes Bil Qolam. Foto: Dokumentasi Ponpes Bil Qolam.

Membaca adalah menumbuhkan rasa. Puasa ialah memupuk rasa. Sastra juga menyuburkan rasa. Sebab itu, membaca sastra di bulan puasa adalah belajar menjadi manusia. 

Malam semakin kelam. Jangkrik masih bersahut-sahutan dengan riang. Di bawah temaram cahaya penerang, berbagai tanaman di sekitar Sekolah Kebon milik Joni Ariadinata, sastrawan kenamaan Indonesia, masih berdiri dengan garang.

Di antara rimbunnya bambu, asam jawa, cocor bebek, bakung lele, mengkudu, belimbing wuluh, pohon pisang, dan alang-alang, kami bertukar ide dan gagasan.

Di tepi Kali Bedog, Gamping Kidul, Ambarketawang, Yogyakarta, kami duduk berbincang, menyelami dinamika literasi di Indonesia, Prancis, hingga Vietnam. 

Obrolan mengalir begitu saja, diiringi gemericik air kali dan suara serangga memecah keheningan. Sesekali tawa kami pecah, menghangatkan suasana malam.

Meskipun ada yang berseloroh tempat ini seperti "lemah kiwa" atau "tempat jin buang anak", kami tidak acuh. Semua berhak hidup di bumi, termasuk jin makhluk Tuhan.

Tepat di belakang rumah utama, atau di sebelah timur Sekolah Kebon, berdiri dengan bagas pohon munggur, kihujan, atau yang dikenal juga sebagai pohon trembesi atau rain tree.

Pohon ini memiliki kemampuan unik, yaitu menyerap air tanah dan kemudian menyulingnya menjadi air bersih berlimpah. Alhasil, dapat memenuhi kebutuhan air rumah dan Sekolah Kebon.

Tak hanya itu, pohon trembesi juga mampu menyerap CO2 puluhan kali lebih banyak daripada pohon biasa. Satu pohon hujan, mampu menyerap 28,5 ton karbondiokasida setiap tahunnya.

Pria yang lahir pada tanggal 23 Juni 1966 ini memasang sejenis drum plastik besar untuk menampung air yang keluar dari pohon trembesi. Air tersebut kemudian disalurkan ke rumah dan bangunan Sekolah Kebon melalui pipa pralon, dan sisanya dialirkan ke Kali Bedog.

Hilir malam semakin larut. Gelas kopi kami sudah kosong beberapa kali. Lamun, kacang, dan ubi rebus yang menemani obrolan kami belum tandas. Akan tetapi, perbincangan kami harus segera diakhiri. 

Sebenarnya, saya ingin berlama-lama. Masih banyak hal yang ingin saya tanyakan kepada penulis Kali Mati ini. Tapi, waktu tak bisa dibohongi. 

Sebelum bersarak, cerpenis yang telah meraih berbagai penghargaan ini menitipkan nasihat untuk saya, "Selagi masih muda, berpikirlah jadi pengusaha."

Saya mengarifi apa yang lelaki petani kopi ini maksud. Menjadi seniman atau sastrawan termasuk pegiat literasi di Indonesia memang tidak mudah. 

Penghargaannya masih minim, sehingga banyak sastrawan yang harus berjuang keras untuk hidup dari karya mereka. 

CUACA GERAH dengan suasana berpuasa tak menyurutkan semangat saya untuk menghadiri acara Ngopi Ramadan (Ngobrol Pintar) bertajuk Dunia Sastra, Mengasah Hati, dan Menebar Kebaikan yang diinisiasi oleh Pondok Pesantren ASRI Bil Qolam di Sekolah Kebon.

"Mba, maaf aku telat setengah jam ya. Aku dari Kalasan."

"Onggih mas, acara dimulai jam 4," tukas Ai Umir Fadhilah melalui pesan singkat.

Kira-kira pukul 14.50, Minggu 24 Maret 2024, saya mulai memacu sepeda motor yang belum lunas ini. Dengan kondisi kepala nanar karena jadwal bayar indekos mendekati jatuh tempo, saya menembus Jalan Solo, menuju Jalan Laksda Adisucipto yang ramai lancar.

Melewati UIN Sunan Kalijaga, Tugu Jogja, hingga akhirnya sampai di Ambarketawang. Ribuan kendaraan memadati jalan, ada yang tertib, ada yang seenaknya sendiri. 

Berdasarkan arahan Google Maps, saya kesudahannya tiba di Jalan Kertorejo dan lantas berpapasan dengan Masjid Al-Ikhlas Gamping Kidul. Melaju sedikit ke timur, saya bertemu dengan jalan ber-paving block. Tertumbuk pandangan, destinasi yang saya tuju agak menjorok ke utara.

Sekitar pukul 15.31, saya akhirnya mendarat di lokasi. Suasana masih terlihat antap. Saya sempat ragu, hingga akhirnya beberapa santriwati Ponpes Bil Qolam tampak sedang salat asar. Sebagiannya lagi ada yang nongkrong di kursi kayu.

"Ini rumah Pak Joni?" tanya saya imbang-imbangan.
"Eh, Mas Mahéng, sendirian aja?" tukas Siva sambil melipit telekung.

Jarum jam telah menunjukkan pukul 15.59, suasana di Sekolah Kebon masih nyenyat. Hanya beberapa orang yang terlihat duduk-duduk di teras, berbincang santai.

Ketika jam menunjukkan pukul 16.15, tanda-tanda acara dimulai masih belum terlihat. Para peserta Ngopi Ramadan masih berdatangan dan mengisi ruang. 

Akhirnya, sekitar pukul 16.33, Moh. Asy'ari, moderator diskusi, baru menyalakan pengeras suara sebagai tanda acara dimulai.

SAYA TERINGAT apa yang disampaikan KH A Mustofa Bisri (Gus Mus) tentang olah dzauq (rasa), bahwa orang yang tidak punya dzauq tidak akan paham sastra. Maka, berbicara tentang sastra adalah tentang mempertajam rasa, sehingga kita tidak mudah menyakiti pe-RASA-an orang lain.

Saya sendiri tidak terlalu gemar (kadang-kadang saja) marah-marah soal ontime karena masih memikirkan perasaan mereka yang tidak bisa tepat waktu. 

Memang ada yang bilang on the way tapi ternyata masih di kasur. Tapi ada juga yang tidak bisa ontime karena pekerjaan, kuliah, atau jarak. Rasanya mungkin saja.

Kiai Muhammadun, pengasuh Ponpes Bil Qolam, dalam sambutannya saat membuka acara mengatakan, "Kita ditempa di bulan Ramadan ini oleh rasa, mulai dari niat puasa sampai menjelang buka semuanya adalah tentang rasa."

Hadits-hadits tentang puasa pun berbicara tentang rasa. "Siapa yang memberi buka orang lain (berarti) punya rasa peduli."

Sebab itu, belajar rasa, atau dalam konteks ini sastra, adalah belajar memperhalus perasaan: empati. Penting bagi kita agar mengalami Ramadan bukan sebagai rutinitas biasa, tetapi dengan 'rasa istimewa'.

Senada dengan Kiai Muhammadun, Joni Ariadinata berbenguk dengan generasi Z yang "dididik oleh mesin" atau "diasuh oleh teknologi" sehingga kehilangan "rasa". Dampaknya luar biasa.

Alumnus jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia IKIP Muhammadiyah, Yogyakarta ini mencontohkan jempol. Kita sering tidak menyadari bahwa jempol adalah anugerah atau musibah. 

Jempol bisa digunakan untuk mengetik, mengklik, like, dan berkomentar dengan kebencian kepada orang lain yang belum kita kenal sepenuhnya.

Sebab itu, untuk menumbuhkan dan memupuk "rasa" menurut Joni, dibutuhkan bacaan yang banyak. Di saat di mana tingkat baca masih relatif rendah, generasi kita terdorong beralih ke audio visual, sosial media. 

"Dan itu semacam dopamin, wujud narkoba yang membuat denyar-denyar kesenangan. Ketika dihadapkan kepada teks, ruwet itu sudah. Susah."


Sang rawi perlahan meredup, mengisyaratkan Ngobrol Pintar Ramadan harus ditutup. Bunga Kitolod yang tadinya mekar dengan anggun, kini mulai tertutup. Bunga putih dari tumbuhan babadotan pun tak lagi terlihat menjendul, sayup-sayup.

Di atas meja kayu sederhana, sudah tersaji semangka merah merekah, siap dinikmati untuk melepas dahaga dan lelah. Kacang rebus, ubi, dan gorengan, teh panas, dan kopi hitam. Suara kumandang azan magrib bergema, berirama indah diiringi gemericik air selokan dari pohon kihujan terus mengalir dengan riang.

Setelah berbuka melahap kudapan, setelah salat magrib ditunaikan, satu persatu peserta mulai berarak pulang hingga hanya saya dan Joni Ariadinata yang masih melanjutkan obrolan [mhg].

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ramadan Selengkapnya
Lihat Ramadan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun